Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERBAWA ARUS
Regita tertawa saat membawa Amelia ke UKS. Sepanjang perjalanan menuju UKS tadi, Amelia sudah merutuki kebodohannya dengan mimisan dan hampir pingsan dihadapan Aksa.
“Pak Aksa bakal ilfill gak ya sama gue?” tanyanya dengan wajah memelas pada Regita.
Regita menahan tawa sambil mengusap bahu Amelia, mencoba menenangkan temannya. "Ya ampun, Mel, kamu masih mikirin itu di saat kayak gini?" katanya dengan senyum lebar. "Aksa itu bukan tipe yang gampang ilfeel, apalagi cuma gara-gara kamu mimisan. Tenang aja, siapa tahu malah bikin dia makin perhatian."
Amelia menghela napas panjang, sedikit tenang namun masih khawatir. "Iya sih, tapi... duh, malu banget!"
Regita tertawa lagi sambil mengedipkan mata. "Santai, Mel. Mungkin ini justru bikin dia makin tertarik. Siapa tahu, habis ini kamu punya alasan buat ngobrol sama dia lagi."
Amelia menatap Regita bak dewa penolongnya. Dia menggenggam tangan Regita dengan mata berkaca-kaca, "Lo mau kan bantuin gue?" pintanya penuh harap.
Regita tersenyum lembut, melihat betapa seriusnya Amelia dalam hal ini. "Tenang aja, Mel, gue di sini buat bantuin lo," katanya sambil mengeratkan genggamannya. "Pokoknya gue bakal support lo, dari mimisan sampai akhirnya dapet perhatian Pak Aksa."
Amelia tersenyum lega, seolah beban beratnya sedikit terangkat. "Thanks, Git... Gue gak tahu harus gimana tanpa lo."
Regita tertawa kecil, menepuk bahu Amelia. "Udah, yang penting sekarang lo tenang. Percaya aja, semua bakal baik-baik aja."
Nyatanya, Regita sendiri tidak bisa benar-benar tenang. Bayangan Aksa terus menghantui pikirannya, pesona kakak tirinya itu perlahan mengusik hatinya. Dia mulai memikirkan hal-hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—tertarik untuk mengenalnya lebih dalam.
Saat membantu Amelia mengejar perhatian Aksa, justru Regita merasa dirinya ingin tahu lebih banyak tentang pria itu. Diam-diam, ia memperhatikan gerak-geriknya, mendengar setiap kata yang diucapkannya, berharap menemukan jawaban atas rasa penasaran yang terus tumbuh di hatinya.
"Kenapa sih, malah jadi gue yang penasaran?" gumamnya pelan, merasa bingung dengan perasaannya sendiri.
•••
Malam itu setelah makan malam, Regita sibuk mencuci piring sambil melamun. Pikirannya dipenuhi dengan ide-ide bagaimana mendekatkan Aksa pada Amelia. Namun, di tengah lamunannya, ia merasakan kehadiran seseorang di dekatnya.
Tiba-tiba, suara Aksa berbisik lembut di telinganya, "Melamun apa, Git?"
Regita tersentak, hampir menjatuhkan piring yang ia pegang. Jarak Aksa yang begitu dekat membuatnya gugup seketika, jantungnya berdegup kencang. Piring di tangannya mulai terlepas, namun dalam gerakan cepat, Aksa menangkapnya sebelum pecah.
Aksa tersenyum tipis, matanya menatap Regita dengan penuh arti. "Hati-hati, nanti pecah."
Regita mencoba menormalkan napasnya yang sempat tertahan, wajahnya memerah. "Ma-maaf... gue gak sadar..." ucapnya terbata-bata, berusaha menghindari tatapan Aksa.
Aksa menatapnya dengan lembut dan berkata, "Kalau butuh bantuan, bilang aja."
Regita hanya mengangguk, mencoba meredakan kegugupannya sambil kembali melanjutkan mencuci piring. Namun, bayangan wajah Aksa yang begitu dekat tadi terus menghantui pikirannya, membuatnya sulit untuk tenang.
Regita masih menenangkan dirinya sambil melanjutkan mencuci piring, tapi pikirannya sudah jauh dari piring yang ada di tangannya. Tatapan dan senyuman Aksa tadi begitu lekat, sulit ia lupakan.
Aksa, yang rupanya belum beranjak dari dekatnya, menyadari Regita masih terlihat gugup. Ia tersenyum tipis sambil bersandar di meja, memandang Regita dengan pandangan yang seolah menyelidik. “Kamu biasanya gak seceroboh ini, Git. Lagi ada yang dipikirin, ya?”
Regita berusaha tersenyum, meski tak bisa menutupi rona di pipinya. “Iya, cuma… ya, pikiran aja.”
Aksa mendekat lagi, membuat Regita menahan napas. "Boleh dong, aku tahu apa yang bikin kamu sampai segugup ini?" tanyanya dengan suara rendah, seolah mendesak tapi tetap lembut.
Regita mengalihkan pandangannya ke arah piring di tangannya. "Enggak, cuma... aku lagi kepikiran teman aja. Temanku, Amelia, dia suka sama orang, dan aku lagi mikirin cara bantu dia."
Aksa mengangkat alis, lalu menahan senyum. "Teman kamu ya... yang suka sama orang. Emang siapa cowoknya?"
Regita sedikit gugup menjawab, tapi akhirnya berkata jujur, "Kamu."
Aksa tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya tak menunjukkan rasa canggung. Malah, ia tersenyum lembut sambil menatap Regita dalam-dalam. "Git, kalau kamu ingin aku mendekati temanmu itu, bilang saja. Tapi…" Aksa terdiam sebentar, menatapnya lekat, “Apa itu benar-benar yang kamu inginkan?”
Regita terdiam, tak menyangka pertanyaan itu akan dilontarkan Aksa. Pertanyaan itu menggantung di udara, dan dalam diamnya, Regita merasa seolah sedang diselidiki. "Aku... aku nggak tahu," jawabnya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh gemericik air.
Aksa tersenyum tipis, seolah sudah mendapat jawaban yang ia cari. "Oke," katanya pendek, lalu menepuk bahu Regita pelan sebelum beranjak pergi. "Kalau nanti kamu sudah tahu jawabannya, bilang aku, ya."
Saat Aksa meninggalkan dapur, Regita berdiri terpaku, menyadari bahwa mungkin, perasaannya jauh lebih rumit daripada sekadar keinginan membantu Amelia.
Regita masih berdiri terpaku di depan wastafel, pikirannya berkecamuk hebat. Kata-kata Aksa barusan terus terngiang di kepalanya, terutama nada lembut tapi tegas saat ia meminta jawaban. Tidak hanya itu, tatapan intens yang diberikan Aksa membuatnya sulit bernapas. Ia memejamkan mata, mencoba mengendalikan detak jantung yang berdebar tak karuan.
Namun, sebelum Regita bisa benar-benar menenangkan diri, suara langkah kaki mendekat lagi. Regita langsung merapikan diri, berpikir itu mungkin hanya bayangannya saja. Tapi, ternyata, Aksa kembali masuk ke dapur, berdiri di belakangnya dengan jarak yang cukup dekat.
“Git…” Suara Aksa terdengar rendah dan dalam, membuat Regita merasa jantungnya kembali berdebar kencang. Ia memberanikan diri untuk menoleh dan menatapnya.
“Ada apa lagi?” gumam Regita, berusaha terdengar tenang meski wajahnya mulai memerah.
Aksa tersenyum tipis, sorot matanya penuh arti. "Aku masih penasaran sama jawabanmu, Git."
Regita terdiam, bingung harus menjawab apa. Ia tahu betul bahwa perasaannya semakin berantakan. Akhirnya, dengan suara nyaris berbisik, ia bertanya, "Kenapa kamu harus tahu?"
Aksa menatapnya lebih intens. “Karena kamu berbeda, Git. Aku ingin tahu... apakah perasaan yang aku punya cuma ada di pihakku?”
Regita menelan ludah, hatinya bergetar. Ia berusaha mengalihkan pandangannya, tapi Aksa meletakkan tangan di bahunya, mencegahnya untuk menghindar. Sentuhan itu terasa begitu hangat dan menenangkan, tetapi juga membuatnya semakin gugup.
“Aku… nggak tahu, Kak,” jawab Regita, suaranya serak. “Sekarang ini aku cuma fokus bantu Amelia…”
Aksa tertawa kecil, lalu mendekatkan wajahnya sedikit, menatapnya dengan pandangan tajam. “Apa kamu benar-benar hanya ingin membantu Amelia? Atau sebenarnya kamu ingin aku lebih sering di dekatmu?”
Perasaan Regita semakin kalut mendengar pertanyaan itu, terutama saat jarak antara mereka semakin sempit. Nafasnya nyaris tertahan, dan hanya mampu menjawab dengan berbisik, "Aku... aku juga nggak tahu."
Aksa mengangguk pelan, seolah memahami kebingungannya. "Aku nggak akan memaksa kamu buat jawab sekarang," ucapnya lembut, “Tapi… kalau kamu tahu perasaanmu nanti, aku harap jawabannya bukan sekadar untuk membantu teman.”
Regita menunduk, tak mampu menatapnya lagi. Ketika ia mencoba mengambil nafas untuk mengucapkan sesuatu, tiba-tiba Aksa mengangkat tangannya, mengusap lembut rambutnya yang sedikit berantakan. “Tenang aja, Git. Nggak perlu terburu-buru.”
Dengan penuh kehati-hatian, Aksa menurunkan tangannya dari bahu Regita dan memberinya ruang untuk bernapas. Sebelum benar-benar meninggalkan dapur, ia menatapnya sekali lagi dan berbisik, “Sampai kapan pun, aku akan menunggu jawabanmu.”
Begitu Aksa pergi, Regita jatuh terduduk di lantai, mencoba meredakan debaran di dadanya. Malam itu, ia sadar bahwa hatinya telah mulai terbawa arus yang lebih dalam dari yang ia duga.