Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Matahari pagi bersinar terang, seolah ikut merayakan momen penting ini. Radit, pria yang telah lama mencuri hati Amara, bersiap untuk melamarnya. Di sampingnya, berdiri dua istrinya, Dewi dan Yuni, wajah mereka dihiasi senyum tipis yang menyimpan rahasia di baliknya.
Mereka bertiga, bersama keluarga besar Radit, melangkah memasuki rumah Amara. Suasana hangat dan penuh keakraban menyambut mereka. Keluarga Amara, yang telah lama mengenal Radit, menyambut mereka dengan tangan terbuka.
"Selamat datang, Radit," sapa Pak Haris, ayah Amara, dengan suara yang sedikit serak. "Kami sudah menantikan kedatanganmu."
Radit tersenyum, matanya tertuju pada Amara yang berdiri di samping ibunya. Amara tampak cantik dengan kebaya sederhana berwarna biru muda. Rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya memancarkan keceriaan yang tulus.
"Terima kasih, Pak Haris," jawab Radit. "Saya sangat senang bisa berada di sini."
Acara lamaran berlangsung dengan khidmat. Radit, dengan penuh keyakinan, menyatakan perasaannya kepada Amara. Ia berjanji akan mencintai dan menghormati Amara seumur hidupnya. Amara, dengan air mata haru, menerima lamaran Radit.
Namun, di balik kegembiraan itu, tersembunyi bayangan gelap. Dewi dan Yuni, yang berdiri di belakang Radit, saling berbisik dengan nada sinis.
"Lihatlah, Amara. Dia sangat sederhana," bisik Dewi, matanya menyipit tajam. "Apakah dia akan bisa hidup mewah seperti kita?"
Yuni menyeringai, "Tentu saja tidak. Dia hanya gadis kampung yang naif. Radit pasti akan bosan dengannya."
Mereka berdua saling bertukar pandang, matanya penuh dengan kebencian. Mereka takut kepada Radit, namun mereka tidak akan membiarkan Amara masuk ke dalam kehidupan mereka dengan mudah.
Amara, yang tidak menyadari bisikan jahat Dewi dan Yuni, terharu melihat kedua orang tuanya. Ayahnya, yang duduk di kursi roda, tersenyum bangga melihat putrinya bahagia. Ibunya, dengan mata berkaca-kaca, memeluk erat Amara.
"Mama, Papa, Amara sangat bahagia," bisik Amara, suaranya bergetar. "Amara akan selalu mencintai kalian berdua."
Amara memeluk kedua orang tuanya, merasakan kasih sayang yang tak ternilai. Ia bersyukur memiliki keluarga yang penuh cinta dan mendukungnya.
Di sudut ruangan, Mira, adik Amara, mengamati dengan penuh harap. Ia tersenyum lebar, matanya berbinar-binar.
"Kak Amara akan menjadi istri seorang pria kaya," gumamnya dalam hati. "Nanti aku akan meminta uang setiap hari padanya."
Mira, yang selalu bermimpi tentang kehidupan mewah, melihat kesempatan ini sebagai jalan menuju kehidupannya yang lebih baik. Ia tidak peduli dengan perasaan kakaknya, yang sedang bahagia dengan lamaran Radit. Baginya, yang penting adalah mendapatkan keuntungan dari pernikahan kakaknya.
Acara lamaran berakhir dengan penuh kebahagiaan. Radit dan Amara saling bertukar cincin, simbol janji suci mereka untuk selamanya. Namun, di balik kegembiraan itu, tersembunyi bayangan gelap yang mengancam kebahagiaan mereka. Dewi dan Yuni, dengan dendam yang membara, siap untuk menghancurkan kebahagiaan Amara.
Mira, dengan ambisinya yang tak terpuaskan, siap untuk memanfaatkan pernikahan kakaknya untuk keuntungan pribadinya.
********
Acara lamaran berakhir dengan penuh suka cita. Kedua keluarga, keluarga Radit dan keluarga Amara, sepakat untuk melangsungkan pernikahan minggu depan. Suasana hangat dan penuh kebahagiaan menyelimuti ruang tamu rumah Amara.
"Minggu depan, ya?" tanya Pak Haris, ayah Amara, dengan senyum lebar. "Waktu yang tepat."
Radit mengangguk, "Ya, Pak. Saya sudah menyiapkan semuanya."
Namun, di balik senyum Radit, tersembunyi kekecewaan Dewi. Ia merasa pernikahan ini terlalu cepat, seolah-olah Radit tidak memberikannya waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi kehadiran Amara dalam hidupnya.
"Terlalu cepat, Radit," gumam Dewi, suaranya terdengar pelan, namun cukup keras untuk didengar oleh Radit. "Apakah kamu yakin dengan keputusanmu?"
Radit menatap Dewi, matanya memancarkan rasa sayang dan pengertian. "Dewi, ini adalah keputusan yang sudah kupikirkan dengan matang. Aku mencintai Amara, dan aku ingin segera menikahi dia."
Dewi terdiam, matanya berkilat tajam. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa jengkelnya. Dalam hati, ia berkata, "Jika kau dan Amara sudah menikah, aku akan menjadikan dia sebagai pembantu. Dia lebih cocok menjadi pembantu."
Dewi membenci Amara. Ia merasa terancam dengan kehadiran Amara, yang menurutnya tidak pantas untuk menjadi istri Radit. Ia bertekad untuk membuat hidup Amara sengsara.
Keluarga Radit pun pamit pulang, meninggalkan keluarga Amara yang masih larut dalam kebahagiaan. Radit, sebelum berpamitan, memeluk Amara erat-erat. Amara tersenyum bahagia, matanya berbinar-binar.
"Aku mencintaimu, Amara," bisik Radit, suaranya lembut.
Amara membalas pelukan Radit, "Aku mencintaimu juga, Radit."
Mereka berdua saling menatap, matanya penuh dengan cinta dan harapan. Namun, di balik kebahagiaan mereka, tersembunyi ancaman yang mengintai. Dewi, dengan dendam yang membara, siap untuk menghancurkan kebahagiaan mereka.
*******
Setelah keluarga Radit berpamitan, suasana di rumah Amara kembali tenang. Namun, ketenangan itu seketika sirna ketika Mira, adik Amara, mengeluarkan unek-uneknya.
"Kenapa pernikahannya masih minggu depan? Kenapa bukan minggu ini saja?" tanya Mira dengan nada kesal. "Kan sudah siap semua, kenapa harus nunggu lama?"
Pak Haris, yang sedang duduk di kursi rodanya, menatap Mira dengan sorot mata yang tajam. "Mira, jangan bicara seperti itu. Ini bukan urusanmu."
Mira mencebik, matanya berkaca-kaca. Ia merasa kesal karena tidak bisa ikut campur dalam urusan pernikahan kakaknya. Ia berbalik dan masuk ke kamar, membanting pintu dengan keras.
Amara, yang melihat kejadian itu, merasa sedih. Ia menghampiri ayahnya dan memeluknya erat.
"Papa, Amara akan sangat merindukan Papa," bisik Amara, suaranya bergetar. "Nanti, ketika Amara sudah menjadi istri Radit, Amara tidak bisa tinggal di sini lagi."
Pak Haris mengelus rambut Amara dengan lembut. "Jangan khawatir, Amara. Papa akan selalu ada untukmu, meskipun kamu sudah menikah. Papa akan selalu mencintaimu."
Amara mengangguk, matanya berkaca-kaca. Ia tahu bahwa ayahnya sangat mencintainya, dan ia akan selalu merindukan kasih sayang ayahnya.
Amara terdiam, merenungkan pernikahannya yang semakin dekat. Ia bahagia karena akan menikah dengan pria yang dicintainya, namun ia juga sedih karena harus meninggalkan keluarga yang telah membesarkannya.
Di tengah kebahagiaan dan kesedihan, Amara menyadari bahwa pernikahannya akan membawa perubahan besar dalam hidupnya. Ia harus siap menghadapi tantangan baru, dan ia harus tetap teguh dalam cintanya kepada Radit.
Amara berdoa agar pernikahannya membawa kebahagiaan, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarganya. Ia berharap semua orang yang ia cintai akan selalu bahagia.
*****
Saat malam tiba, Amara bersiap untuk tidur. Ia merasa lelah setelah seharian beraktivitas, namun kebahagiaan pernikahannya membuatnya sulit untuk terlelap. Ketika ia berbaring di tempat tidur, tiba-tiba ponselnya berbunyi, memecah keheningan malam.
Dengan rasa penasaran, Amara meraih ponselnya. Saat membuka layar, ia terkejut melihat banyak pesan ucapan selamat dari teman-temannya. Wajahnya berbinar-binar saat membaca satu per satu pesan yang masuk.
"Selamat ya, Amara! Akhirnya kamu akan menikah!" tulis Lani, sahabatnya sejak kecil.
"Sungguh berita yang membahagiakan! Semoga pernikahanmu penuh cinta," pesan dari Rina, teman kuliahnya.
Amara tersenyum, merasa hangat di hatinya. Namun, satu pesan yang menarik perhatiannya adalah dari Albert, teman laki-lakinya dari klub Kupu Kupu.
"Amara, selamat atas lamaranmu! Aku yakin kamu akan jadi pengantin yang cantik. Jangan lupa ajak aku ke pesta!" tulis Albert, diakhiri dengan emotikon senyum.
Amara merasa sedikit canggung membaca pesan dari Albert. Mereka berdua pernah berbagi momen menyenangkan di klub, namun tidak lebih dari itu. Meskipun begitu, dukungan dari teman-teman membuatnya merasa lebih bersemangat.
Setelah membalas pesan-pesan tersebut, Amara meletakkan ponselnya di samping tempat tidur. Ia merasa beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padanya. Namun, di dalam hati, ia juga merasakan sedikit keraguan.
"Apakah aku sudah siap untuk semua ini?" pikirnya.
Dengan pikiran yang melayang, Amara akhirnya menutup mata. Ia berharap pernikahan ini akan membawa kebahagiaan yang berkelanjutan dan bukan hanya sekadar momen euforia. Dalam kegelapan malam, ia berdoa agar cinta dan dukungan dari orang-orang terkasih selalu menyertainya dalam setiap langkah hidupnya yang baru.