Nia tak pernah menduga jika ia akan menikah di usia 20 tahun. Menikah dengan seorang duda yang usianya 2 kali lipat darinya, 40 tahun.
Namun, ia tak bisa menolak saat sang ayah tiri sudah menerima lamaran dari kedua orang tua pria tersebut.
Seperti apa wajahnya? Siapa pria yang akan dinikahi? Nia sama sekali tak tahu, ia hanya pasrah dan menuruti apa yang diinginkan oleh sang ayah tiri.
Mengapa aku yang harus menikah? Mengapa bukan kakak tirinya yang usianya sudah 27 tahun? Pertanyaan itu yang ada di pikiran Nia. Namun, sedikit pun ia tak berani melontarkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon m anha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Kesayangan
Pagi hari semua berkumpul bersama di meja makan, Nia sarapan seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa. Tapi, tidak dengan yang lainnya, semua merasa sangat tegang dan canggung.
Jika biasa mereka makan dan akan izin pada kakek satu persatu, tapi tidak dengan kali ini. Kakek yang biasanya paling terakhir makan, kali ini kakek lah yang lebih dulu meninggalkan meja makan, disusul oleh nenek kemudian Pak Septian sendiri.
Sementara itu, Faris yang sudah selesai makan tetap duduk di tempatnya, ia menunggu Nia yang masih terlihat lahap menghabiskan makanannya.
"Faris, apa kamu masih marah pada anak-anak?" tanya Tari memulai pembicaraan, walau bagaimanapun keputusan Faris membekukan rekening anak-anak mereka itu tentu saja berdampak pada pengeluarannya. Ia harus mengeluarkan lebih banyak untuk membiayai anak-anak mereka nantinya, begitupun dengan Indira.
"Untuk apa aku marah pada mereka?" tanya Faris bersikap biasa saja, seolah ia tak marah pada mereka semua.
Para anak-anak itu hanya terus menunduk, tak ada yang berani berbicara.
"Ibu sudah selesai makan," ucap Agatha. Ia juga tak ingin ikut campur tentang masalah yang dibuat anak-anak kemarin, ia juga ikut kesal dengan tindakan mereka yang hanya dimintai membeli es krim saja mereka tak ada yang mau.
Nia yang merasa curiga dengan sikap mereka, melihat Tita dan seolah bertanya ada apa dengan tatapannya. Namun Tita hanya menggeleng samar.
Nia beralih melihat ke arah Faris, "Ada apa?" tanya Nia setengan berbisik. Nia bisa merasakan ketegangan yang terjadi di meja makan.
"Udah nggak papa, makanlah. Setelahnya kita langsung ke rumah sakit, hari ini pemeriksaan bayi kita kan?" ucap Faris mengusap perut Nia membuat Nia hanya menggangguk dan kembali menghabiskan makanannya.
Faris dengan telaten memberikan susu sebagai penutup sarapan istrinya itu, Nia dengan patuh meminum kemudian mereka pun pamit untuk rumah sakit, meninggalkan meja makan dengan anak-anak yang masih lengkap di sana.
"Kenapa kalian tak ada yang berani berbicara? Ini kan salah kalian," ucap Tari melihat semua anak-anak itu. Namun, mereka kompak menggeleng, tak ada yang berani berbicara mengenai kartu mereka yang dibekukan.
"Iqbal, kamu anak laki-laki, seharusnya kamu yang mewakili mereka untuk berbicara," ucap Tari membuat Iqbal menunduk.
"Aku tak berani, Mah," jawabnya pelan, kemudian melihat ke arah Farah. Farah juga menggeleng.
"Ya sudah, jika kalian tak ada yang mau berani berbicara lebih dulu, kami juga tak bisa membantu. Toh kartu itu juga kalian yang menggunakan, mulai sekarang jika kalian hanya mengandalkan uang dari kami bersiap-siaplah berhemat, kami tak mampu membiayai kehidupan kalian seperti yang Faris lakukan," ucapnya.
Mereka semua pun saling melihat dan saling meminta untuk berbicara lebih dulu.
"Farah, kamu kan lebih dekat dengan ayahmu, kamu saja yang berbicara padanya, nanti kami juga ikut berbicara," ucap Iqbal membuat Farah menggeleng.
"Aku tak berani, kamu saja. Walaupun aku dengan dekat dengan ayah, aku tak berani, selama ini ayah tak pernah marah," ucap Farah membuat mereka kembali saling melihat, menentukan siapa yang harus memulai lebih dulu. Mereka bahkan melakukan suit dan tetap Iqbal yang kalah.
"Baiklah, nanti aku yang mulai. Tapi, kalian juga ikut bicara ya, ini semua salah kita," ucapin Iqbal membuat mereka pun menggangguku.
Sementara itu, Faris sudah melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit. Nia yang masih penasaran dengan apa yang terjadi di meja makan tadi, kembali mengungkitnya.
"Mas, sebenarnya apa sih yang terjadi? Mengapa sikap anak-anak aneh?" tanya Nia yang sama sekali tak mengetahui masalah kemarin dan juga pembekuan kartu mereka.
"Entahlah, sepertinya mereka melakukan kesalahan. Kita lihat saja bagaimana cara mereka mengatasi masalah yang mereka buat, biarkan mereka belajar untuk menangani masalah mereka, tak meminta bantuan orang tua mereka dan bagaimanapun selama ini mereka seperti terlalu dimanja, harus diberi pelajaran sesekali," ucap Faris membuat Nia hanya memiringkan kepalanya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh suaminya .
"Sudah, jika kamu tak mengerti jangan bertanya lagi, fokus aja padanya bayi kita dan ingat, jika kamu ingin sesuatu jangan minta pada yang lain, minta saja padaku. Walau aku sedang sibuk, aku akan pasti nomor satukan mu," ucap Faris lagi membuat Nia masih yang tak mengerti arah maksud dari perkataan suaminya itu tetap menggangguk menyiakan apa perintah suami nya.
Saat sampai di rumah sakit, mereka langsung menuju ke ruangan dokter yang telah menunggu mereka. Nia langsung melakukan pemeriksaan, dokter mengatakan semua berjalan dengan lancar, bayi yang dikandung Nia juga berjenis kelamin perempuan, semua sehat dan usianya sudah memasuki 9 bulan. Mereka hanya tinggal menunggu 1 bulan lagi untuk bertemu dengan putri mereka.
Mendengar itu, Faris sangat senang. Ia sudah tak sabar ingin bertemu dengan putrinya, Faris mengusap perut Nia kemudian mengecupnya.
"Ayah akan selalu menjagamu," ucap Faris sambil mengelus perut buncit sang istri.
Setelah melakukan pemeriksaan, Faris membawa Nia ke kantor, ada hal penting yang harus dilakukannya.
"Kamu nggak masalah kan menunggu di kantor?" tanya Faris saat mulai melajukan mobilnya menuju ke kantor.
"Iya, Mas. Aku juga bosan di rumah terus. Sepertinya di kantor jauh lebih baik," jawab Nia membuat Faris pun mengecup punggung tangan Nia yang setiap hari digenggamnya, dengan satu tangan masih fokus memegang setir mobil.
Begitu sampai di kantor, Nia lagi-lagi mendapat perlakuan istimewa dengan cara para karyawan menyambut kedatangan mereka. Semua karyawan yang mereka lewati membungkuk hormat dan terlihat sangat mengistimewakan mereka.
Faris terlihat biasa saja, ia segera masuk ke dalam ruangannya.
Di dalam ruangan itu, terdapat ruangan lain, ruangan tempat biasanya Faris beristirahat. Nia pun memilih untuk beristirahat di sana.
"Kamu istirahatlah di sini dulu, ya. Aku selesaikan dulu rapatnya. Nggak lama kok, paling cuman satu jam," ucap Faris membuat Nia pun mengangguk.
"Iya, aku baik-baik saja kok di sini. Aku mau nonton saja, jadi Mas rapatnya nggak usah buru-buru juga," ucap Nia mengerti jika suaminya sangatlah sibuk.
"Ya, sudah. Mas rapat dulu," ucap Faris, kemudian ia pun berjalan keluar meninggalkan Nia di kamar itu. Nia melihat ke arah suaminya, betapa beruntungnya dia mendapatkan suami seperti Faris. Ia yang awalnya sangat takut dan ragu dengan pernikahan itu, kini merasa sangat bersyukur telah menjadi jodoh dari pria yang bernama Faris. Duda tampan dan tajir.
Nia yang tadinya ingin menonton drama Korea di ponselnya, jadi teringat akan kejadian saat sarapan tadi. Ia pun menelpon Tita.
"Halo, Tita. Mama boleh nanya sesuatu nggak?" tanya Nia.
"Iya, Mah. Ada apa?" tanya Tita terdengar lesuh dari nada suaranya.
"Saat sarapan kalian kenapa?" tanya Nia langsung pada apa yang ingin ditanyakannya.
Terdengar helah nafas dari seberang telepon, kemudian telepon pun beralih diambil oleh Farah. Farah pun mulai menceritakan apa yang terjadi saat kemarin, Nia sangat terkejut ternyata kedatangan Faris kemarin ke toko es krim itu bukanlah sebuah kebetulan, tapi karena mencarinya. Ia tak menduga jika Faris akan semarah itu sampai membekukan kartu mereka.
"Maaf ya, Mama nggak bisa bantu untuk kali ini," ucap Nia tak ingin ikut campur, dia akan patuh dengan apa yang dikatakan oleh Faris tadi, untuk fokus pada bayi mereka.
"Iya, Mah. Kami akan usahakan minta maaf sendiri pada ayah. Mah, maaf kan Farah, Farah salah sama Mama, nggak seharusnya Farah bersikap seperti itu," ucap Farah.
"Tita juga, Mah," ucap Tita. Sepertinya mereka mengaktifkan alat pengeras suara saat Tita mengangkat panggilannya tadi.
"Iya, tentu saja. Mama nggak marah kok, Mama juga minta maaf, karena Mama kalian semua menjadi dapat masalah, tapi maaf sekali lagi, Mama nggak bisa bantu," ucap Nia membuat mereka pun mengakhiri panggilan mereka.
sukses selalu author