Ethan, cowok pendiam yang lebih suka ngabisin waktu sendirian dan menikmati ketenangan, gak pernah nyangka hidupnya bakal berubah total saat dia ketemu sama Zoe, cewek super extrovert yang ceria dan gemar banget nongkrong. Perbedaan mereka jelas banget Ethan lebih suka baca buku sambil ngopi di kafe, sementara Zoe selalu jadi pusat perhatian di tiap pesta dan acara sosial.
Awalnya, Ethan merasa risih sama Zoe yang selalu rame dan gak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, lama-lama dia mulai ngeh kalau di balik keceriaan Zoe, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Begitu juga Zoe, yang makin penasaran sama sifat tertutup Ethan, ngerasa ada sesuatu yang bikin dia ingin deketin Ethan lebih lagi dan ngenal siapa dia sebenarnya.
Mereka akhirnya sadar kalau, meskipun beda banget, mereka bisa saling ngelengkapin. Pertanyaannya, bisa gak Ethan keluar dari "tempurung"-nya buat Zoe? Dan, siap gak Zoe untuk ngelambat dikit dan ngertiin Ethan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Papa Koala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Langkah dan Pertanyaan
Langit malam masih terasa segar ketika Zoe dan Ethan berjalan menuruni bukit. Zoe, dengan semangat yang seakan tak pernah habis, tetap berusaha menciptakan percakapan seru, meski kali ini dengan napas yang sedikit tersengal karena jalan menurun yang curam.
“Kamu tau, Eth,” Zoe membuka obrolan sambil berhenti sebentar untuk menarik napas. “Tadi itu kan seru banget ya, liat bintang bareng. Kita kayak di film-film romantis gitu, yang biasanya ada musik piano pelan, terus tiba-tiba muncul montase momen-momen indah.”
Ethan menahan senyum sambil melangkah hati-hati di sampingnya. “Ya, tapi minus soundtrack sama gerakan lambat yang dramatis.”
Zoe tertawa kecil. “Bener juga sih, kita kurang dramatis. Harusnya aku pura-pura kesandung atau apa gitu, terus kamu heroik menangkap aku, kayak di film.”
Ethan menatap Zoe sejenak, lalu berpura-pura berpikir. “Atau, kamu bisa nggak kesandung, dan kita pulang dengan aman.”
Zoe menyeringai, lalu berusaha meniru gaya heroine dalam drama Korea yang terjatuh, tapi sayangnya justru hampir benar-benar terpeleset di bebatuan. Ethan langsung menahan lengannya sebelum dia kehilangan keseimbangan.
“Ya, seperti ini?” kata Zoe dengan senyum lebar, meskipun jantungnya sempat berdetak lebih cepat.
Ethan tertawa, kali ini lebih keras. “Jangan dipraktikkan beneran dong. Nanti kamu jatuh beneran, aku malah yang bingung.”
Zoe tersenyum puas karena berhasil membuat Ethan tertawa lepas, tapi dia juga tidak ingin membiarkan kesempatan untuk menggoda lebih lanjut lewat begitu saja. “Kalau aku jatuh beneran, kamu bakal nangis nggak?”
Ethan pura-pura berpikir lagi, lalu menjawab datar, “Mungkin aku akan nangis... karena bingung harus bawa kamu ke rumah sakit mana.”
Zoe cemberut kecil, meski matanya masih berbinar penuh tawa. “Kamu tuh ya, Eth, dingin banget kayak kulkas dua pintu.”
“Lebih hemat listrik,” Ethan menimpali, kali ini dengan nada datar khasnya, yang membuat Zoe semakin tergelak.
Perjalanan turun dari bukit itu seharusnya cepat, tapi dengan Zoe yang selalu berhenti di sana-sini untuk berkomentar tentang pemandangan, cuaca, atau bahkan tekstur jalan, semuanya jadi terasa lebih lambat. Bukan berarti Ethan keberatan; meskipun dia sering kali lebih suka hal-hal yang to the point, kebersamaannya dengan Zoe membuatnya belajar menikmati momen-momen kecil yang biasanya dia lewatkan.
“Aku suka banget tempat ini, Eth,” Zoe tiba-tiba berkata sambil menatap ke sekeliling. “Kita harus lebih sering datang ke sini.”
“Bukannya kamu tadi sempat ngeluh karena capek naik ke atas?”
Zoe menoleh cepat, wajahnya dipenuhi ekspresi dramatis. “Jangan bikin-bikin cerita, Eth. Aku nggak pernah ngeluh. Aku cuma bilang, kalau kita bisa bawa lift ke atas bukit, kenapa nggak?”
Ethan tersenyum tipis. “Kalau kita bawa lift ke atas bukit, nggak ada yang namanya hiking.”
Zoe memutar bola matanya, “Hiking tuh overrated. Bayangin kalau ada eskalator outdoor yang bawa kita ke puncak gunung. Aku yakin bakal lebih banyak orang mau hiking.”
“Kamu bilang hiking overrated, tapi kamu sendiri suka jalan-jalan di alam,” Ethan mengingatkan sambil tersenyum.
Zoe mengangkat bahu. “Suka sih, tapi aku juga nggak nolak kalau bisa nyari cara yang lebih gampang buat sampai ke tempat indah kayak tadi.”
Mereka terus berjalan, kini sudah lebih dekat ke kaki bukit. Suasana yang semakin malam membawa angin dingin, tapi Zoe sepertinya tidak terlalu peduli. Dengan sweater oversized yang dia pakai, dia terlihat seperti anak kecil yang terbungkus dalam pakaian orang dewasa.
“Kamu suka nggak, Eth, jalan-jalan kayak gini? Maksudku, bukan karena aku yang ngajak, tapi kamu beneran menikmati?” Zoe tiba-tiba bertanya dengan nada serius yang jarang dia tunjukkan.
Ethan terdiam sebentar, memikirkan pertanyaan itu. “Ya... mungkin. Aku lebih suka suasananya. Nggak terlalu ramai, nggak terlalu ribut. Cuma kita, alam, dan suara angin.”
Zoe tersenyum, meski Ethan tidak melihatnya. “Aku juga, Eth. Kadang, aku suka ngerasa kayak kita berdua ini aneh, kamu terlalu diam, aku terlalu berisik. Tapi, entah kenapa, kita selalu bisa nemuin titik tengah.”
Ethan menoleh, menatap Zoe yang kini terlihat lebih tenang. “Mungkin karena kita saling melengkapi. Kamu butuh orang yang bisa ngedengerin, aku butuh orang yang bikin aku ngobrol.”
Zoe mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil. “Ya, mungkin juga. Tapi jangan kepedean ya, aku nggak selalu butuh kamu buat dengerin ocehanku.”
Ethan tersenyum tipis, tahu bahwa Zoe tidak pernah benar-benar serius saat mencoba menggodanya seperti itu.
Setelah beberapa saat, Zoe berhenti lagi, kali ini di dekat sebuah pohon besar yang berada tepat di ujung jalur mereka. “Kamu tau nggak, Eth, pohon ini kelihatan biasa aja, tapi aku suka banget sama tempat ini. Kayaknya ini tempat yang bagus buat duduk-duduk kalau kita bawa makanan. Kita bisa piknik lagi nanti.”
Ethan menatap pohon itu sebentar. “Piknik di bawah pohon ini? Sepertinya menarik, tapi dengan catatan kamu nggak lupa bawa makanan.”
Zoe tertawa kecil. “Iya, iya, aku nggak bakal lupa bawa makanan lagi. Janji deh. Nanti aku bikin checklist buat persiapan.”
Ethan menggelengkan kepala, meski senyum kecil tetap di bibirnya. “Kamu dan checklist, kayaknya nggak pernah cocok.”
“Tapi setidaknya aku berusaha, kan?” Zoe menjawab dengan penuh semangat.
Mereka berdua tertawa kecil lagi, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Perjalanan pulang terasa lebih tenang dibandingkan ketika mereka naik bukit tadi. Zoe lebih banyak diam, menikmati suasana, sementara Ethan terus menatap ke depan, tapi sesekali melirik Zoe yang berjalan di sampingnya.
Sampai di parkiran, Zoe langsung membuka pintu mobil dengan antusias. “Aku capek banget, tapi seneng! Ini malam yang keren, Eth. Kamu setuju kan?”
Ethan hanya mengangguk sambil membuka pintu mobilnya sendiri. "Ya, lumayan keren."
Zoe mendengus. "Lumayan? C'mon, Eth, ini kan epic!"
"Ya, ya, epic," Ethan akhirnya menyerah dengan sedikit senyuman.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil dan Zoe langsung memasang playlist favoritnya, yang tak pernah jauh dari lagu-lagu pop hits terbaru. Ethan tidak protes, meskipun itu bukan jenis musik yang biasa dia dengarkan. Entah kenapa, saat bersamanya, semuanya jadi lebih mudah diterima. Termasuk playlist yang kadang terlalu ceria untuk suasana hati Ethan.
Dalam perjalanan pulang, Zoe mulai bercerita tentang hal-hal acak seperti biasa, tentang ide-ide untuk petualangan mereka berikutnya, tentang drama Korea yang sedang dia tonton, dan tentang betapa dia yakin bahwa mereka harus mencoba memulai vlog petualangan bersama.
“Kita bakal jadi duo keren yang eksplorasi tempat-tempat keren,” Zoe berkata dengan penuh semangat. “Dan kamu yang bikin review serius tentang tempat-tempat itu, sementara aku yang nambahin bumbu drama dan lucunya.”
Ethan tertawa kecil. “Nggak yakin ada yang mau nonton aku ngomong serius tentang hiking trails.”
“Siapa bilang? Kamu punya kharisma diam-diam, Eth. Orang bakal suka kamu,” Zoe bersikeras, membuat Ethan tersenyum lebar di balik roda kemudi.
Perjalanan itu dipenuhi tawa dan obrolan ringan, sampai akhirnya mereka tiba di rumah Zoe. Zoe turun dari mobil sambil tersenyum lebar. "Thanks ya, Eth. Ini malam yang super seru!"
Ethan hanya mengangguk. "Sama-sama, Zo. Sampai besok."
Zoe melambaikan tangan, lalu berbalik dan masuk ke rumahnya. Ethan duduk di dalam mobil, menatap pintu rumah yang tertutup dengan perasaan tenang yang aneh. Meskipun mereka sudah menghabiskan waktu seharian bersama, ada sesuatu yang terus menariknya kembali ke Zoe, sesuatu yang dia belum sepenuhnya pahami.
Setelah beberapa detik, Ethan menyalakan mesin mobil dan mulai melaju pulang, meninggalkan rumah Zoe dengan pikiran yang mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan baru tentang perasaan yang tak terduga ini.