Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
Baru beberapa hari di rumah, Juna seakan terhipnotis oleh sosok Yura yang sangat tidak ia sukai, namun akhir-akhir ini sering muncul tiba-tiba dalam pikirannya. Tepatnya setelah mamahnya meminta dirinya untuk menikahi wanita itu.
Memang selama ini, dia selalu acuh pada Yura, di tambah aktivitasnya yang padat, membuat keduanya jarang sekali berinteraksi.
Tinggal satu atap, tapi tak pernah akrab.
Akan tetapi, ia yang sedang menikmati masa cuti setelah mengikuti beberapa tes seleksi hingga pendidikan dokmil, seakan urusannya selalu di libatkan dengan sang adik.
Alhasil rasa benci yang mendarah daging sebelumnya, kini perlahan menghilang, berubah menjadi rasa kasihan, iba atau entahlah..
Sementara Yura merasa heran, sebab sang kakak yang selalu membuat rusuh, mendadak kalem dan bersikap sedikit manis padanya.
Tentu saja Yura berfikir jika perubahan Juna karena dirinya tak lama lagi akan menikah dan pasti akan keluar dari rumahnya. So membuat pria itu lega yang artinya sudah tidak memiliki saingan lagi.
Ibarat kepergian Yura adalah kemenangan bagi Juna.
Begitulah persepsi Yura terhadap Juna saat ini, tidak mungkin sikap manis Juna karena ingin berdamai dengannya.
Imposible..
Menarik napas panjang, Yura mengeluarkannya perlahan sambil menggebungkan mulutnya.
Berusaha mengusir rasa gugup yang terus merongrong sejak pagi. Tersisip juga rasa khawatir kalau-kalau pria yang akan ta'aruf dengannya justru menolak dirinya.
Melangkahkan kaki memasuki gerbang rumah ustadz Zaki, sepasang matanya langsung melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat. Bisa di pastikan kalau pemilik mobil itu adalah Malik, pria yang ingin ia temui.
Semakin dekat ke arah pintu utama yang terbuka lebar, jantungnya malah makin bergetar hebat seiring dengan keringat yang mendadak merembes.
Ia menghela napas sebelum kemudian mengucap salam.
"Assalamu'alaikum!"
Semua orang yang ada di ruang tamu, spontan menoleh ke arah pintu seraya menjawab salam Yura.
"Silakan masuk, Yura!" Sambung Khadijah.
Sejenak, Yura sedikit tercenung.
Bukan hanya ustad Zaki, Khadijah, serta Malik yang duduk di tempat duduk, Azizah, sahabat baik Yura yang saat ini mengajar di ponpes milik ustad Zaki pun duduk di sana.
Sedang apa Zizah ada di sini?
Yura membatin dengan beberapa pertanyaan dalam benaknya. Ia lantas mengangguk di iringi senyum tipis dari sudut bibirnya.
Wanita itu mengambil posisi duduk di single sofa yang ada di sebelah Zizah.
"Bagaimana keadaanmu, Ra?" Tanya Khadijah, sesaat setelah Yura berhasil mendudukkan dirinya. "Bu Jazil bilang kamu sedang tidak enak badan"
"Alhamdulillah sudah membaik ummah"
"Syukurlah" Balas wanita yang seusia dengan mamahnya.
"Nak Malik, ini nak Yura, putrinya pak Ar'Rafiq Irfan dan bu Jazil, salah satu pendiri ponpes ini" Ustad Zaki bersuara. Dan Malik meresponnya dengan senyum serta anggukan kepala.
Yura sendiri menunduk tak berani mempertemukan netranya pada pria tampan di hadapannya.
"Nak Yura, ini nak Malik, lelaki yang nak Yura kirimi CV"
"Assalamu'alaikum, ukhti?" Sapa Malik. Suaranya terdengar merdu di telinga Yura.
"Wa'alaikumsalam, akhi"
"Sebelumnya saya minta maaf, ukhti Yura"
Yura bingung begitu mendengar kalimat Malik. Ada apakah gerangan? kenapa pria itu malah meminta maaf?
Yura ingin sekali tahu apa penyebabnya.
"Saya juga menerima CV dari ukhti Zizah, dan karena waktu saya sangat terbatas, jadi sekalian saya merencanakan pertemuan dengan ukhti Zizah. Mohon maaf bila tidak berkenan di hati ukhti Yura dan ukhti Zizah" Malik berusaha jujur meski ada perasaan tak enak.
Deg... Yura menoleh ke kiri di mana sahabatnya tengah duduk menunduk. Entah apa yang ada dalam pikiran Zizah saat ini, tapi yang pasti perasaannya mungkin saja kecewa, sama seperti dirinya.
Bagaimana mungkin mereka mengirimkan CV pada pria yang sama?
Yura tercenung dalam kondisi batin yang terasa bimbang. Ada banyak prasangka yang terus bergulir.
Apakah pria itu hanya ingin membandingkan dirinya dengan sahabatnya? Siapa yang lebih baik maka dialah yang terpilih.
Tidak... Dua wanita itu sama-sama cantik, sama-sama mengerti ilmu agama, juga sama-sama memiliki kelebihan serta kekurangan masing-masing. Yura pandai di bidang akademik, sementara Zizah pandai bersosialisi dan berkomunikasi dengan baik.
Keduanya sama-sama istimewa, apalagi dengan pakaian yang menutupi aurat mereka.
Jelas itu adalah nilai plus yang di miliki dua wanita tersebut di mata Malik.
Tabayyun Yura, Tabayyun!
Hati Yura berbisik.
Sudah dia katakan kalau dia sangat sibuk, apa salahnya jika menemui dua wanita sekaligus dalam satu kesempatan. Lagi pula ini hanya perkenalan di awal, belum bisa di pastikan untuk lanjut ke sesi berikutnya. Bisa jadi aku dan Zizah sama-sama tidak di pilih.
Lantas, apa yang Zizah rasakan, kecewa, patah hati, atau minder?
Ah, apakah kita sedang bersaing?
Untuk hal apapun, kami tidak pernah bersaing, yang terjadi justru saling mendukung.
Suasana menjadi hening, ada rasa canggung yang menyelimuti situasi di sebuah ruang tamu.
Terutama untuk ustad Zaki. Dia merasa tak enak hati pada dua anak gadis kesayangannya karena waktu pertemuannya bertabrakan. Padahal sudah di rencakan kalau pertemuan Yura pukul dua, dan Zizah pukul tiga, tapi karena Yura terjebak macet, dan Zizah datang sebelum jamnya, jadilah tak sengaja ta'aruf ini terjadi secara bersamaan.
Nasi sudah menjadi bubur? Bukan, jika menjadi bubur masih bisa di makan, tapi bagaimana kalau sudah basi?
Untuk sesaat Yura menyesali pertemuan ini. Andai dia tahu kalau sahabatnya juga mengirim CV pada pria bernama Malik, tentu saja dia akan memilih pria lain untuk di ajak ta'aruf.
Sampai satu jam lebih mereka saling berkenalan, bertanya serta menjawab satu sama lain, akhirnya pertemuan di tutup oleh ustad Zaki.
Yura sedikit lega karena dia bisa menjawab semua pertanyaan Malik dengan bijaksana.
Dari pernyataan Malik yang menginginkan istrinya kelak hanya akan tinggal di rumah mengurus anak-anaknya, seakan sangat berlawanan dengan Yura yang malah ingin bekerja setelah menikah.
Dia berpegang teguh akan tetap melakukan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, meskipun dia juga sibuk bekerja.
Sedangkan Zizah justru sangat setuju jika seorang istri harus tetap di rumah saja. Karena kewajiban mencari nafkah sepenuhnya adalah milik suami.
"Maaf Ra, aku tidak tahu kalau kamu juga mengirim data pribadimu ke Malik" Kata Zizah memulai percakapan.
Yura tersenyum tipis. Sama seperti dirinya yang juga tak tahu mengenai lamaran Zizah ke pria tampan itu.
"Ini sebuah kebetulan, Zah. Jika saja aku tahu kamu mengirim CV ke dia, aku tidak akan mengirim CV ku" Yura membolak-balikkan ponsel yang ada di tangannya.
Setelah kepergian Malik, Yura dan Zizah duduk berhadapan di sebuah gazebo samping rumah ustadz Zaki, dan sekarang mereka tengah mengobrol membahas pertemuan beberapa saat lalu.
"Aku akan mundur!" Celetuk Zizah, membuat Yura memindai wajah sahabatnya.
"Mundur?" Gumam Yura yang langsung di jawab dengan anggukan kepala.
"Tidak, Zah. Aku saja yang mundur"
"Aku sudah terlanjur pesimis, Malik pasti memilihmu, Ra"
"Belum tentu" Jawab Yura,
Zizah yang tadinya menunduk, kini kepalanya terangkat dan langsung memusatkan perhatian pada wajah Yura yang tengah menatapnya sendu.
"Aku merasa jawaban kamu real, sesuai dengan apa yang ada di hati kamu. Beda denganku yang hanya ingin mendapat penilaian bagus dari Malik" Aku wanita di depan Yura. "Aku hanya ingin di pandang baik oleh Malik, jadi aku selalu sependapat dengannya, tapi feelingku, dia sepertinya lebih suka tantangan, dan tantangan itu ada di diri kamu"
"Tapi dia menginginkan istri yang tetap di rumah, mengurus rumah serta anak-anaknya, bukan aku yang tetap ingin bekerja, dan semua itu ada di dalam diri kamu, Zah"
"Sudah ku bilang aku terpaksa menjawab begitu karena hanya ingin di nilai baik olehnya. Yang sebenarnya akupun sama sepertimu. Aku ingin tetap bekerja setelah menikah, tentu jika di perbolehkan"
"Tapi jika tidak di izinkan, kamu tetap akan menurut apa kata suami, bukan?" Tanya Yura, menatap serius wajah Zizah.
"Tentu saja, Ra"
"Dan aku tidak, Zah. mungkin aku akan menjadi istri pembangkang jika aku terpilih olehnya"
Sebenarnya tidak. Itu hanya alasan Yura untuk menghibur Zizah agar tetap merasa optimis.
Karena Malik adalah calon suami ideal yang sangat Yura inginkan, tapi demi menjaga hubungan tetap baik dengan sahabatnya, ia memilih mundur. Lagi pula pasti akan ada lelaki baik lainnya yang sudah Allah tentukan untuknya.
"Kamu yakin dengan keputusanmu, Ra. Bisa jadi kamu yang di pilih oleh Malik, kan?"
"Enggak, Zah. Aku nggak akan mau jika dia memilihku, ada wanita yang lebih tepat untuknya, yaitu kamu"
"Tapi belum tentu juga dia akan milih salah satu di antara kita, bisa saja kita berdua tidak terpilih"
"Apapun keputusan dia, kita harus ikhlas, tapi jika dia memilihku, aku akan menolaknya" Ujar Yura menggenggam erat tangan Zizah.
"Kamu serius, Ra? Dia pria idamanmu, loh"
"Tapi dia tidak sepemikiran denganku"
Ya, setiap argumen Malik, memang selalu di sanggah oleh Yura tadi. Itu terjadi secara spontan, sebab dia sudah kadung kecewa. Kecewa karena dengan begitu entengnya pria itu melakukan ta'aruf bersama dua wanita sekaligus dalam waktu bersamaan.
Memangnya ini ajang pencarian bakat? Saling beradu kebolehan supaya bisa terpilih.
Dua wanita di sandingkan untuk satu pria? Apa jadinya jika ini terjadi di pelaminan.
Yura tak akan sanggup membayangkannya.
"Aku berharap nggak ada yang di pilih, Ra" Ujar Zizah.
"Kenapa? Padahal bagus kalau dia memilihmu, Zah. Kamu cantik, dia tampan, kamu pintar dia mapan. Malik lebih cocok denganmu yang hamble, bukan denganku yang cuek, dan cenderung pendiam"
"Entahlah" Zizah menumpukkan tangan pada genggaman mereka "Jika dia memilihmu, kalian juga sangat cocok"
"Tidak, dia lebih cocok denganmu"
"Tapi apapun itu, jangan sampai persahabatan kita rusak"
"Kamu benar, Zah. Jangan sampai hubungan kita menjadi renggang hanya karena satu pria. Pokoknya aku akan senang jika dia memilihmu"
"Akupun akan senang jika dia memilihmu, Ra!"
Keduanya saling berbalas senyum. Sekian detik berlalu mereka berpelukkan untuk sekedar saling menguatkan.
Maaf, Ra. Sebenarnya aku tahu kamu mengirimkan lamaran itu pada Malik, aku tahu karena tanpa sengaja membuka CV mu yang akan abah serahkan ke Malik. Sehari setelah kamu mengirimnya, aku juga mengirim email berisi CV pribadiku ke dia. Dia pria tampan, mapan dari segi usia juga finansial. Yang paling utama, dia pria religius yang masuk dalam kriteria calon suami yang aku impikan.
Sekali lagi maaf, Ra. Aku pasti akan iri padamu jika kamu sampai menikah dengannya, itu sebabnya aku menikungmu. [ Hasya An Nur Azizah ]
Bersambung
Malik ntar poligami
tp sy msh gregetan sm yura yg ga peka sm keinginan orang tuay dan juna jg ga trs terang sm yura klu dia suka...klu yura sdh tunangan sdh ga ada harapan buat juna...s.g aja ga jd khitbahy
ayo Thor lanjut lagi
ntar lama2 jd cinta..
lanjut mbak ane
yura kurang peka terhadap keinginan jazil, kurang peka dg perubahan juna dan kurang peka sama perasaan sendiri
yuk kak lanjut lagi
thanks author semangat ya berkarya