"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANGAN IMAJINASI IBU
Malam semakin larut saat Zilfi dan Ayahnya terus melaju di jalan yang gelap. Lampu-lampu jalan tampak berpendar kabur, dan suara mesin mobil terdengar semakin mencekam di telinga Zilfi. Pikiran tentang bayangan yang ia lihat di rumah terus menghantui, meski ia tidak berani mengutarakannya lebih jauh. Ayah mungkin benarbmungkin itu hanya imajinasi. Tapi mengapa bayangan itu terasa begitu nyata?
“Ayah, apa Ibu selalu seperti itu? Maksudku, selalu merasa ada yang memburu kita?” Zilfi mencoba menggali lebih dalam, meski hatinya tak sepenuhnya siap mendengar jawabannya.
Ayah menghela napas berat lagi, kali ini terdengar lebih letih. “Tidak, Zilfi. Dulu, Ibumu tidak seperti itu. Ia ceria, penuh tawa. Tapi semuanya berubah ketika kamu mulai dewasa. Dia merasa seolah ada sesuatu yang berubah di dalam dirimu, dan sejak saat itu, ketakutannya semakin menjadi-jadi.”
“Apa maksud Ayah dengan ‘sesuatu yang berubah di dalam diriku’?” Zilfi bertanya, perasaan khawatir semakin menguat.
Ayah terdiam beberapa saat, seakan berpikir apakah ia harus menjawab pertanyaan itu atau tidak. “Mungkin hanya perasaan Ibumu saja. Kamu baik-baik saja, Zilfi. Tidak ada yang salah denganmu.”
Namun, jawaban itu tidak memuaskan Zilfi. Ia bisa merasakan ada lebih banyak yang tersembunyi, sesuatu yang tidak dikatakan Ayah. Sebelum Zilfi bisa bertanya lebih jauh, tiba-tiba lampu mobil berkedip-kedip, dan mesin mobil mendadak berhenti.
Mobil berhenti di tengah jalan yang sepi, diapit oleh pepohonan yang tinggi dan rimbun. Suasana langsung berubah mencekam. Ayah mencoba menyalakan mesin lagi, tapi tidak ada respon.
“Apa yang terjadi?” tanya Zilfi, suaranya sedikit gemetar.
“Ayah tidak tahu,” jawab Ayah cepat, meski terlihat ada kecemasan di wajahnya. “Mesinnya tiba-tiba mati.”
Ayah keluar dari mobil, mencoba memeriksa mesin di bawah kap. Zilfi tetap di dalam, menatap sekeliling dengan perasaan tak nyaman. Jalanan yang tadinya tampak tenang kini terasa mengancam, dan udara di sekitar terasa semakin dingin.
Saat Zilfi menoleh ke luar jendela, sebuah bayangan lagi muncul di tepi jalan, jauh di antara pepohonan. Jantung Zilfi berdegup kencang. Bayangan itu tampak seperti sosok yang samar-samar, bergerak perlahan ke arah mobil.
“Ayah!” Zilfi memanggil dengan nada panik. “Ada sesuatu di luar sana!”
Ayah menoleh, tapi tidak melihat apa-apa. “Apa maksudmu? Tidak ada siapa-siapa di sini, Zilfi. Jangan biarkan pikiran Ibumu mempengaruhimu.”
Zilfi mencoba menenangkan diri, meyakinkan bahwa mungkin Ayah benar. Namun, saat Ayah kembali mencoba menyalakan mesin, bayangan itu semakin mendekat. Kali ini, Zilfi bisa melihatnya lebih jelas. Sosok itu tinggi, dengan mata yang memancarkan cahaya redup, seperti menatap langsung ke arahnya.
Ketakutan menyelubungi Zilfi. Ia mencengkram kursi dengan kuat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanya imajinasi. Tapi sosok itu nyata, dan semakin dekat.
“Ayah, kita harus pergi dari sini!” Zilfi berteriak, hampir menangis.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakang mobil. Ayah berhenti memutar kunci, wajahnya berubah pucat. Ia mendengar sesuatu—bukan hanya Zilfi yang panik.
“Ayah... itu benar-benar ada,” Zilfi berbisik, air matanya mulai jatuh.
Ayah menatap Zilfi dengan tatapan yang sulit dibaca. Ia mengangguk perlahan, lalu dengan cepat berlari kembali ke dalam mobil. Ia mencoba menyalakan mesin sekali lagi, dan kali ini, mesin menderu hidup. Tanpa berkata apa-apa, Ayah menginjak pedal gas dengan cepat, membawa mereka melesat meninggalkan tempat itu.
Saat mobil melaju, Zilfi menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya. Bayangan itu masih berdiri di sana, menatap mereka pergi, dengan mata yang bersinar dalam gelap.
Perasaan tak terucapkan menggantung di udara. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang sedang terjadi, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Dan Zilfi tahu, apapun yang baru saja mereka hadapi, itu baru permulaan.