Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 09 - Aku Yang Tidak Pantas
Tidak ingin menunda waktu, Haura segera menelan pil pahit yang sama sekali tidak dia ingini itu. Bukan karena rasanya yang pahit, tapi alasan mengonsumsinya memang teramat pahit.
Bagaimana tidak? Seumur hidup, dia tidak pernah berencana untuk mengonsumsi pil kontra-sepsi darurat. Karena memang, sejak lama Haura selalu berandai-andai ingin memiliki banyak anak bersama Ray - sang kekasih.
Sembari memaksakan agar obat tersebut masuk dengan segera, mata Haura kembali membasah mengingat sesal dan amarah dalam dirinya.
Tidak hanya itu, di sana juga tersemat rasa sakit yang tiada tara bahkan hampir membuatnya gila. Jika saja Abimanyu tidak mendukung dan memilih marah sebagaimana perlakuan kebanyakan saudara lainnya, mungkin Haura akan semakin putus asa.
Namun, beruntungnya Abimanyu benar-benar mendukung dan berdiri tegap di belakangnya. Menjadi pembela sekaligus pelindung, juga menjaga rahasianya.
"Okay ... Calm down, Haura!! Dengan ini masalahmu akan selesai," ucap Haura meyakinkan diri sendiri.
Walau tidak menutup diri, jujur saja dari hati terdalam tetap ada ketakutan bahwa akan terjadi sesuatu padanya nanti.
Namun, Haura tidak ingin mematahkan semangatnya lagi. Dia berusaha sebisa mungkin untuk tenang dan memikirkan hal yang lebih penting.
Tidak lain dan tidak bukan, hubungannya bersama Rayyan. Untuk bagian ini, jujur saja Haura dilema.
Hendak berbohong atau jujur, dia bingung sebenarnya. Di sisi lain, dia takut kehilangan andai Ray tahu kebenarannya. Namun, andai tidak jujur Haura akan terus dihantui rasa bersalah.
"Ya Tuhan ... aku harus bagaimana?"
Tubuhnya kembali lemas dan merasa semakin sulit saja. Baru saja sedikit tenang, kini seketika gusar juga.
Cukup lama berpikir, Haura tidak menemukan jawaban dari dalam dirinya. Tak ingin semakin sakit kepala, Haura berlalu ke kamar untuk menenangkan diri sejenak.
Berharap dengan sedikit istirahat dia bisa berpikir jernih dan menata rencana ke depannya.
Haura menarik selimut untuk menutup sekujur tubuhnya. Tidak dingin, hanya sekadar merasa butuh dekapan hangat saja.
Akan tetapi, lima menit berlalu dan percobaannya untuk tidur tak berhasil juga. Tak peduli sekalipun sudah dipaksa untuk memejamkan mata, rasa kantuk itu seakan tak lagi ada.
Sebelum masalahnya tuntas, mungkin Haura tidak akan bisa tidur nyenyak. Perlahan, Haura meraih ponselnya dan bermaksud menghubungi Ray.
Ya, tidak ada pilihan lain dia harus bicara agar tenang tanpa peduli bagaimana akhirnya. Dengan jantung yang berdebar dan dada kembang kempis, untuk pertama kalinya Haura seragu itu untuk menghubungi Ray.
Bahkan, keraguan dan gugupnya mengalahkan saat pertama kali Haura menghubungi asisten kakaknya itu.
Gugupnya tak main-main, karena di sini ada ketakutan yang tidak bisa Haura definisikan juga sebenarnya. Sembari menggigit bibir, Haura menunggu dengan sabar sang kekasih yang super sibuk itu untuk menerima teleponnya.
"Ayolah angkat, Ray ..."
"The number you are call_"
"Ck, kebiasaan ... kamu kapan tidak sibuknya?" Haura berdecak sebal tatkala mendapati Ray yang lagi-lagi sulit dihubungi.
Maklum saja, tanggung jawab Ray sebagai asisten sang kakak memang cukup kompleks. Bisa dikatakan, Ray tak hanya tangan kanan, tapi jelmaan Hudzai yang membuatnya harus lebih banyak turun ke lapangan dibanding bosnya sendiri.
Cukup lama Haura menunggu, dan dia juga tetap sabar untuk mencoba. Sampai akhirnya, di percobaan ke-enam barulah membuahkan hasil dan suara yang dia rindukan itu terdengar di balik telepon.
"Hallo, Sayang ... maaf lama, tadi_"
"Aku tahu, kamu pasti sibuk 'kan?" Haura tersenyum getir.
Bukan kecewa, hanya saja kasihan karena setelah ini Ray mungkin akan mendengar sesuatu yang membuatnya menyesal selalu mengutamakan pekerjaan.
"Maaf, Ra."
"It's fine, aku paham."
"Suaramu kenapa? Sakit?"
Haura menggeleng, seakan tidak sadar jika tengah menelpon sang kekasih.
"Ra? Sayang? Hei ... kamu dengar aku?"
"Hah? I-iya dengar, aku dengar, suaramu jelas kok," jawab Haura yang mulai sedikit melenceng dari pertanyaan.
Sudah tentu yang mendengar dapat memahami hal itu. "Kamu dimana? Rumah?"
"Ehm, aku di rumah."
"Tunggu aku, aku kesana sekarang."
"Eh jangan!!" Mata Haura membulat sempurna begitu mendengar Rayyan hendak menemuinya.
Sungguh dia tidak siap jika harus ditemui di rumah. Mustahil yang melihat tidak akan curiga, karena mustahil membawa Ray ke kamar hanya untuk bicara empat mata.
"Kenapa jangan?"
"Biar aku yang menemuimu di tempat biasa, bisa?"
"Bisa, mau dijemput?" tanya Ray sekali lagi dan tentu saja Haura tolak mentah-mentah.
"Tidak, aku bisa sendiri ... kamu tunggu saja."
"Baiklah, kamu mau dipesankan apa nanti? Supaya tidak begitu lama menunggu?"
"Apa saja, aku tidak tahu ingin apa sekarang," jawab Haura susah payah menahan tangis demi tidak membuat Ray semakin curiga.
"Okay ... hati-hati, see you, My Sunshine." Dengan suara yang begitu hangat, Ray mengucapkan kata-kata indah dan sekarang justru terdengar menyakitkan.
Tanpa menjawab, Haura mengakhiri panggilan tersebut. Sungguh, dia tak kuasa untuk berbicara lebih lama lagi.
.
.
"Heum, aku sudah cukup cantik, 'kan?" Haura memastikan kembali penampilannya di cermin sebelum turun dan menghampiri Ray.
Setelah menempuh perjalanan beberapa waktu lalu dengan mata berair, begitu tiba Haura menyempatkan diri untuk kembali memoles riasan wajahnya agar tidak terlihat begitu menyedihkan.
Nyatanya, walau sudah memutuskan untuk berani menemui Ray, tetap saja perasaannya tak karu-karuan. Perlahan, Haura turun dengan langkah gontainya.
Begitu masuk, dia sudah disambut sang pemilik wajah tampan dan senyum teduh itu. Di atas meja sudah ada bunga mawar merah yang Haura yakini sebagai hadiah untuknya.
"Hai, Sayang ... bagaimana perjalanannya? Macet kah sampai selama ini?" tanya Ray seraya menarik kursi untuk Haura dan mempersilakan wanita duduk segera.
Pertanyaan bermaksud sarkas itu berhasil membuat senyum Haura terukir tipis. Tipis sekali, bahkan nyaris tidak terlihat.
Jika biasanya dia bahkan bisa mencubit lantaran salah tingkah, kali ini Haura terlihat berbeda sampai Ray sangat sadar akan perubahannya.
"Kenapa mukanya begitu? Kamu benar-benar sakit ya?" Sembari memastikan suhu tubuh Haura, Ray melontarkan pertanyaan karena memang curiga sejak tadi.
Haura menggeleng. "Bukan, aku tidak sakit dan aku_"
"Apa? Kangen aku?" tanya Ray tersenyum tipis.
Kembali Haura tersenyum tipis menanggapi candaan kekasihnya.
"Ditanya malah senyum, jawab dong."
"Tanpa kujawab harusnya tahu ... aku merindukanmu setiap waktu, Rayyanza," tutur Haura seketika membuat mata Ray mengerjap pelan.
"Tiba-tiba sekali manggil nama lengkap, kamu kenapa? Sedih? Atau ada mas_"
"Kita putus saja."
"What? Haura kamu?" Ray menganga dan seakan tidak percaya dengan ucapan sang kekasih. "Kamu bercanda?" lanjutnya lagi.
"Tidak, aku tidak bercanda ... kita putus saja."
Sontak Ray tertawa hambar, antara percaya dan tidak dia merasa Haura aneh saja. "Kamu kenapa sebenarnya? Jika ingin bercanda jangan yang begini, aku malas, Ra."
"Sudah kukatakan aku tidak bercanda, Ray."
"Apa alasannya tiba-tiba minta putus? Aku tidak pantas untukmu ya, Ra?" tanya Ray melemah, detik ini sungguh dia sadar akan posisinya.
Haura menggeleng, pertanyaan Ray sama sekali tidak benar tentu saja. "Tidak ... akulah tidak pantas untuk laki-laki baik sepertimu."
"Maksudmu apa sebenarnya, Ra? Apa kamu harus jadi kriminal? Hah?" tanya Ray sampai gusar karena sikap Haura saat ini teramat membingungkan.
"Bukan begitu, Ray!!"
"Lalu apa?"
"Aku tidak suci lagi."
Deg
.
.
- To Be Continued -
dan Sukses selalu thor....