Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Where Is He
---- Saras POV ----
Pada akhirnya, aku pergi bersama Dany dan mengantarnya ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa ia tidak mengalami cidera parah atau luka dalam. Ia seperti sengaja dipukul di bagian-bagian yang tidak vital sehingga tidak membahayakan keselamatannya.
Meski ia dipukul di bagian yang tidak vital, aku tetap sangat kesal dengan si kambing Radit. Kelakuannya benar-benar seperti orang hutan yang tidak memiliki etika dan sopan santun.
Pada akhirnya, aku tidak pulang ke apartemen dan menginap di rumah Dany. Orang tuanya menyuruhku untuk tinggal karena hari sudah malam dan menurut mereka, tidak baik jika perempuan berkeliaran sendiri di malam hari. Karena aku merasa lelah dan belum ingin menemui Sanu jika aku pulang ke apartemen, aku memutuskan untuk tinggal di sana.
Keesokan harinya aku kembali ke apartemen dan tidak menjumpai Sanu di sana. Kupikir, ia mungkin juga sedang ingin menenangkan pikirannya di tempat lain. Wajar saja jika dia marah atau muak kepadaku. Apa yang kukatakan kepadanya malam itu mungkin terdengar sangat jahat untuknya. Sejujurnya aku menyesali mengatakan hal itu, tidak seharusnya aku mengatakan hal seperti itu kepada Sanu. Selama ini ia sudah selalu baik padaku, ia bahkan merawatku selama aku sakit.
Seharusnya aku bisa lebih tau diri untuk tidak menghardiknya di depan banyak orang dan di depan sahabat-sahabatnya.
Meski terdengar aneh, aku berharap ia segera kembali dan memarahiku agar aku merasa lega. Setidaknya aku tidak harus terus merasa bersalah dan memikirkan bagaimana perasaannya saat ini. Terlebih setelah mendengar Radit si kambing mengatakan bahwa Sanu mencintaiku. Entah itu adalah hal yang benar atau hanya bualan si Radit, yang pasti aku tidak bisa mempercayai hal itu begitu saja. Mana mungkin aku mempercayai Radit si bodoh yang menghajar Dany hingga nyaris mati?
Aku mencoba mengingat kembali apa yang terjadi malam itu. Segalanya terjadi dengan begitu cepat hingga aku tidak mengetahui apa yang membuat Radit tiba-tiba bertindak kesetanan bahkan setelah mengetahui bahwa Sanu memenangkan pertandingan melawan Dany.
---
Saat itu, aku masih bertukar tatap dengan Sanu. Aku masih memandanginya dengan senyum yang tanpa sadar merekah di bibirku saat Dania menarik tanganku untuk duduk. Queency, Stefi, dan Dania sudah mengepalkan tangannya masing-masing dan nampak sangat siap untuk segera menonjokku.
Aku hanya menyengir menanggapi ekspresi kesal mereka. Tak ada yang bisa kulakukan untuk itu kan?
"Kau memang brengsek Saras. Kau selalu bersikap seolah sikap kami yang mengaguminya adahal hal menjijikan tapi kau justru menikahinya. Kau memang brengsek!" Stefi nyaris menonjokku dengan kepalan tangannya saat Dania menghentikan tangannya hingga tak sampai menghantamku.
Aku mendengus kaget dan menatap mereka bertiga bergantian, "Aku tidak punya pilihan. Itu keputusan orang tuaku dan orang tuanya." aku berkata lirih.
Queency memandangku seraya menghela napas panjang, "Walaupun begitu setidaknya kau bisa mengatakannya kepada kami. Kami bahkan tidak sempat hadir dan menjadi bridesmaid mu bodoh!"
"Betapa kurang ajarnya anak ini. Kau selama ini mempermainkan kami! Pasti senang ya melihat kami mengagumi seseorang yang ternyata sudah kau miliki?!" Dania berganti menatapku dengan tajam. Aku terkekeh mendengarnya. Sejujurnya benar adanya jika aku sesekali menertawakan mereka dalam hati karena mereka sangat lucu!
"Ya... Kalian lucu sih.." Aku tertawa pelan. Stefi yang nampak berang melihat ekspresiku sudah nyaris menggunakan kuku palsunya untuk mencakarku jika saja Queency tidak menghentikannya dan menunjuk ke arah ring.
"Ada apa lagi itu?" Queency berbisik pelan. Kami berempat melihat ke arah tiang ring basket, di sana aku dapat melihat Sanu yang sedang bersandar ke tiang ring sembari menyaksikan Radit yang sedang memukuli Dany di hadapannya, dan ia tidak melakukan apa-apa.
Dengan cepat aku berlari ke arah mereka dan mencoba menghentikan Radit. "Hentikan idiot! Kau bisa membunuhnya!" Aku memekik kencang sembari menarik Radit untuk menjauhi Dany. Ia mendorongku dengan kuat hingga aku terhuyung.
"Beraninya kau menyakiti sahabatku! Kau benar-benar akan kubunuh!" Radit memekik keras seraya terus melayangkan pukulan ke arah Dany.
Dan kalian tahu apa yang terjadi setelahnya.
Sejujurnya aku tidak tahu pasti apa alasan Radit tiba-tiba menghajar Dany seperti itu, yang pasti ia menyinggung bahwa Dany menyakiti sahabatnya. Apakah Dany menyakiti Sanu? Karena apa? Apa karena Dany menciumku?
Aku terus memikirkan hal itu sepanjang hari hingga tanpa sadar mendapati Sanu belum juga kembali. Seharian ini aku sama sekali tak melihatnya. Aku duduk sepanjang hari di depan televisi, berharap menjumpainya saat masuk dan membuka pintu. Tetapi, ia tidak kembali.
Selama berhari-hari aku terus memikirkannya. Ia benar-benar pergi tanpa kabar sama sekali. Apa dia mengikuti kompetisi bisnis lagi? Aku benar-benar tidak tenang dibuatnya.
Sepanjang hari aku hanya melamun di depan televisi, berharap mendengar suara pintu itu terbuka dan melihat dia kembali dengan membawa oleh-oleh seperti yang terakhir kali. Tapi pada kenyataannya, ia benar-benar tak terlihat lagi.
Menit berganti jam, jam berganti hari, dan hari berganti minggu. Sudah hampir tiga Minggu aku menunggunya seperti orang gila. Apa dia ingin menghukumku? Apa dia sengaja tidak pulang karena dia kesal atas apa yang kukatakan? Jika iya, harusnya dia memarahiku saja! Jika dia benci aku, seharusnya dia memarahiku dan membentakku sepuasnya. Aku bahkan tidak akan keberatan jika dia memukuliku sebagaimana ayah menyiksaku selama ini. Aku tidak akan keberatan jika dia melakukan hal buruk kepadaku, karena dengan begitu, aku tidak akan menderita karena rasa bersalah seperti ini.
Teganya ia melakukan ini padaku. Teganya ia pergi dariku tanpa kabar dan menghilang selama hampir tiga Minggu. Tak ada satupun hari yang kulewati tanpa memikirkannya. Tak ada satu detikpun kulalui tanpa mengharapkan agar aku segera bisa melihat wajahnya. Wajahnya yang tenang dan rupawan itu.
Aku meringkuk di kasurku dengan air mata berlinang. Rasanya sakit sekali, rasanya sepi sekali. Jika memang benar ini cara ia membalas ku, sungguh kejam sekali hatinya. Aku tak tahan sendirian dan menghabiskan waktu di apartment ini tanpa dia. Bahkan, kini aku selalu kesulitan tidur di malam hari. Insomniaku kembali dan bahkan jika aku berhasil tidur, mimpi buruk itu datang lagi.
Apakah selama ini aku selalu bisa tertidur nyenyak tanpa mimpi buruk adalah karena kehadiran kamu? Apakah selama ini aku merasa seperti manusia normal karena keberadaan kamu di sekitarku?
Aku tidak pernah bisa bersentuhan dengan laki-laki tanpa gemetar dan menangis selain dengan Dany. Tak pernah ada laki-laki yang membuatku merasa nyaman di dekatnya selain Dany. Selama ini, tak pernah ada orang yang kuizinkan menyentuhku selain Dany. Dan bahkan jika aku mengizinkannya, terkadang hal itu membuatku merasa jijik dengan diriku. Terkadang hal itu mengingatkanku pada bagaimana ayah memperlakukanku. Terkadang pada akhirnya, aku juga menarik diriku dari Dany. Namun, apakah itu adalah cinta?
Ataukah cinta adalah apa yang kurasakan kepada kamu saat ini? Aku tidak gemetar dan takut saat bersentuhan denganmu. Aku merasa nyaman dan aman saat ada di dekatmu, bahkan hanya dengan melihatmu, aku merasa aman. Aku mengizinkanmu menyentuhku, tetapi bahkan kamu membatasi dirimu dan tidak melakukan hal-hal yang membuatku merasa jijik pada diriku. Semua perlakuanmu, tak pernah mengingatkanku pada ayahku. Semua yang kamu lakukan untukku, justru membuatku semakin lupa dengan ketakutanku pada ayah dan ketakutanku pada diriku sendiri. Kamu mengajari aku bagaimana rasanya bahagia, bahkan hanya dari hal-hal terkecil yang kutemui di setiap hariku.
Jika boleh aku jujur, aku merindukan sosoknya yang selalu duduk di ujung seberang kasur ini dengan buku di tangannya. Aku merindukan sosoknya yang duduk di di sudut sofa yang jauh dariku dan betah berlama-lama di sana untuk sekedar menonton televisi bersamaku. Aku merindukan perhatiannya, tutur katanya yang lemah lembut, dan kesabarannya dalam menghadapiku. Aku merindukan masakannya yang selalu terasa lezat di lidahku. Aku merindukan tatapannya yang selalu melihatku dengan cara yang berbeda dari bagaimana orang lain melihat diriku.
Aku merindukanmu, Sanu. Aku merindukanmu.