NovelToon NovelToon
Darknight In Jakarta

Darknight In Jakarta

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Zombie / Horror Thriller-Horror / Persahabatan
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 13

Terjebak dalam gedung yang gelap, suara rintihan angin yang menyusup dari jendela pecah membuat suasana semakin menegangkan. Queensha berdiri di sudut, punggungnya menempel erat pada dinding dingin yang retak. Kegelapan menyelimuti setiap sudut ruangan, sementara suara langkah kaki mendekat dengan perlahan, mengiris ketenangan yang rapuh. Jantungnya berdegup kencang, berirama dengan ketakutan yang menggeliat di dalam dirinya.

"Siapa di sana?" bisik Queensha dengan suara serak, matanya terus menatap lurus ke depan. Di tangan kirinya, sebuah batang besi bekas konstruksi ia genggam erat, satu-satunya senjata yang ia punya. Napasnya terengah-engah, ia mencoba menenangkan dirinya, namun setiap langkah yang mendekat membuat tubuhnya semakin tegang.

Langkah-langkah berat itu mendekat, lalu tiba-tiba berhenti. Suasana sunyi menggantung di udara, menyisakan ketidakpastian. Dalam benaknya, Queensha bertanya-tanya, "Apakah ini akhirnya? Apakah aku akan mati sekarang?"

Tiba-tiba, dari balik kegelapan, seorang gadis muncul, tubuhnya ramping namun tampak tangguh, mengenakan gamis yang terlihat serasi dengan tatanan hijabnya. Tatapan matanya tajam, tapi bukan tatapan zombie yang haus darah. Ia menatap Queensha dengan waspada, tetapi juga penuh rasa ingin tahu.

Queensha mengangkat batang besi lebih tinggi, suaranya menggigil dengan amarah dan ketakutan. "Mundur, atau-atau aku tidak akan ragu untuk memukulmu!"

Gadis itu mengangkat kedua tangannya perlahan, menunjukkan bahwa dia tidak membawa senjata. "Tenang... aku bukan musuh." Suaranya tenang namun penuh kendali, seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi situasi gawat.

Queensha memperhatikan setiap gerakannya dengan saksama. "Bukan zombie... tapi apakah dia bisa dipercaya?" pikirnya. "Siapa kau?" tanyanya, masih menggenggam batang besi erat, otot-ototnya terasa tegang.

Gadis itu menurunkan tangannya perlahan, seolah tak ingin memprovokasi lebih lanjut. "Namaku Nada" katanya singkat. "Aku sudah tinggal di gedung ini sejak semua ini dimulai. Aku melihatmu masuk tadi. Kau beruntung zombie tidak mengikuti jejakmu."

Queensha mengerutkan kening, tidak yakin apakah ia bisa mempercayainya. "Nada? Bagaimana kau bisa selamat selama ini?"

Nada tersenyum tipis, matanya gelap namun tidak sepenuhnya kosong. "Dengan tetap bergerak, tidak tinggal di satu tempat terlalu lama." Dia menunjuk ke luar jendela yang pecah, asap tipis dari kejauhan tampak menyelimuti sebagian kota. "Kota ini sudah dikuasai mereka. Tidak ada yang aman di sini, terutama di pusat kota. Jika kau terus di sini, kau akan berakhir seperti mereka."

Queensha merasakan dadanya sesak. "Kau pikir... kita bisa lari ke mana? Seluruh kota penuh dengan mereka." Dia menunduk sebentar, seolah mencoba menenangkan pikirannya. Dalam benaknya, suara-suara masa lalu bergema- orang-orang yang ia cintai, keluarganya yang ia tinggalkan di balik pintu terkunci.

"Aku tahu satu tempat. Lebih aman, jauh dari sini," kata Nada dengan suara yang penuh keyakinan. "Tapi kita harus pergi sekarang, sebelum lebih banyak dari mereka datang."

Queensha menggigit bibir bawahnya, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. "Apakah aku benar-benar bisa mempercayainya?" pikirnya. "Dia mungkin tulus, tapi bagaimana jika ini hanya jebakan? Aku bahkan tidak tahu siapa dia sebenarnya."

Dia melirik ke luar jendela, melihat bayangan-bayangan bergerak di kejauhan. Geraman zombie yang tak henti-henti mulai terdengar lebih dekat. "Namun... aku juga tidak bisa bertahan sendirian di sini. Gedung ini tidak akan lama lagi menjadi kuburanku jika aku tetap diam."

Queensha menatap Nada dengan tatapan penuh keraguan. "Kenapa aku harus mempercayaimu?" tanyanya, nada suaranya tetap tajam meski ada rasa putus asa yang merayapi dirinya.

Nada menatap balik, matanya penuh ketulusan yang sulit diabaikan. "Karena kalau kau tidak ikut, kau akan mati di sini," jawabnya tegas. "Aku juga tidak ingin mati di tempat ini."

Detik-detik berlalu dalam kebisuan, suara geraman zombie semakin mendekat, menggetarkan udara di sekitar mereka. Queensha merasakan ketegangan yang mencekamnya-ini adalah keputusan hidup dan mati.

"Terserah padamu," ujar Nada, sebelum berbalik, mulai berjalan menuju pintu keluar. "Aku akan pergi sekarang."

Queensha merasakan dunia seakan terbelah di depan matanya. "Jika aku tidak ikut, ini mungkin kesempatan terakhirku untuk keluar dari sini..."

Namun, sebelum ia bisa memutuskan, suara keras dari belakangnya-sebuah pintu yang terbuka secara paksa-membuat tubuhnya membeku. Bayangan gelap melintas di sudut pandangnya.

"Apa itu?" bisiknya, tapi sebelum dia bisa bergerak, sebuah sosok muncul dari kegelapan, mematahkan kesunyian dengan raungan mengerikan. Zombie itu menerjang dengan kecepatan yang mengejutkan.

"Lari!" teriak Nada sambil berbalik, mata mereka bertemu dalam kepanikan yang sama.

Queensha terpaku sejenak, lalu tanpa berpikir lebih jauh, ia melempar batang besi itu ke arah zombie dan berlari mengikuti Nada- tanpa ada waktu lagi untuk meragukan keputusannya.

*****

Suara angin mendesis di sela-sela reruntuhan gedung tua tempat mereka terperangkap. Aisyah dan Delisha duduk bersandar di dinding yang penuh lumut dan retakan. Kegelapan menguasai ruangan, hanya tersisa sedikit cahaya yang menyelinap melalui celah-celah jendela yang pecah. Bau apek dan debu menusuk hidung, membuat napas mereka terasa berat.

"Kita harus keluar dari sini," bisik Aisyah, menggigit bibirnya dengan gugup. Matanya gelisah, terus berpindah-pindah, seakan menunggu sesuatu yang mengerikan datang dari balik kegelapan. Kakinya yang lelah ia tekuk rapat, bersiap jika harus lari kapan saja. "Kenapa tempat ini begitu sunyi?" pikirnya, merasakan ketakutan perlahan merayap di kulitnya. Suasana hening ini terlalu janggal, seolah ada yang mempermainkan mereka dengan sunyi sebelum badai datang.

Sementara itu, Delisha berjongkok di lantai, kedua tangannya gemetar saat ia memegang sebuah ponsel usang yang entah bagaimana masih berfungsi. "Aku menemukannya di bawah meja ini," ucapnya dengan suara serak. Matanya berbinar sejenak, seolah menemukan secercah harapan di tengah keputusasaan.

Delisha menatap layar ponsel, jari-jarinya bergerak cepat mencoba menelpon nomor temannya. Namun, setiap kali suara nada sibuk terdengar, wajahnya semakin murung. "Kenapa tidak bisa tersambung?" gumamnya, frustrasi. "Ayo dong, tersambunglah..."

Aisyah mencondongkan tubuhnya mendekati Delisha, jantungnya berdegup lebih kencang. "Coba lagi, mungkin sinyalnya jelek," katanya, mencoba menyembunyikan kepanikan dalam suaranya. "Kalau kita tidak bisa menghubungi mereka... kita akan terjebak di sini."

Delisha menggertakkan giginya, lalu mencoba sekali lagi, kali ini lebih lama menunggu. "Ayo... ayo...," bisiknya dengan nada tegang. Tiba-tiba, suara dering sambungan terdengar dari ponsel, mengejutkan keduanya. Delisha menatap layar dengan mata melebar, dan dengan tangan gemetar, dia menekan tombol jawab.

"Halo? Nafisah?!" Delisha berteriak, suaranya nyaris pecah. "Kau di mana?!"

Di seberang, suara Nafisah terdengar—lemah, terputus-putus. "Aku... aku di luar gedung tua... Kami juga terjebak... zombie... di mana kalian?"

Aisyah dan Delisha saling berpandangan sejenak, mata mereka penuh harapan dan ketakutan bercampur jadi satu. Delisha menggenggam ponsel lebih erat, mencoba menenangkan dirinya. "Kami di gedung tua dekat pusat kota," jawabnya cepat. "Kita harus bertemu di tempat aman. Apakah kau tahu tempatnya?"

Suara Nafisah terdengar tegang. "Ada... ada titik pertemuan di utara, di bawah jembatan tua... Tapi hati-hati, banyak zombie di jalan. Kita harus bergerak cepat."

Aisyah mengangguk, wajahnya tegang. "Kita tidak punya banyak waktu," katanya kepada Delisha, lalu mengambil napas dalam-dalam. "Ayo, kita harus ke sana sebelum mereka mendekat."

Delisha menggigit bibirnya, lalu menatap Aisyah. "Kau yakin ini aman? Kalau kita bergerak sekarang... zombie bisa saja mengepung kita."

"Kita terjebak dalam mimpi buruk ini. Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang benar..." pikir Delisha, perutnya terasa mual karena ketakutan. Namun, di dalam kepanikan itu, ia tahu satu hal. "Tapi kalau kita tidak bergerak, kita pasti akan mati di sini."

"Aku tahu," kata Aisyah, merasakan ketakutan Delisha. "Tapi kita harus ambil risiko. Di sini juga tidak aman."

Delisha menggenggam ponsel dengan lebih erat, menatap Aisyah dengan tekad di matanya. "Baiklah. Kita pergi sekarang."

Mereka bersiap-siap, merapikan barang-barang yang bisa dibawa, dan perlahan mulai bergerak menuju pintu keluar gedung. Suara derak lantai yang retak terdengar setiap kali mereka melangkah, membuat keduanya semakin berhati-hati. Udara malam yang dingin merasuki mereka, dan setiap sudut tampak seperti bisa menyembunyikan bahaya.

Namun, saat mereka mendekati pintu, suara keras tiba-tiba memecah keheningan. Pintu di belakang mereka berderit keras, terbuka perlahan seolah disentak oleh tangan yang tak terlihat.

Aisyah dan Delisha berhenti seketika, tubuh mereka membeku. Napas mereka tertahan, ketakutan menyelimuti ruangan. Aisyah merasakan darahnya membeku, seketika tahu apa yang mungkin terjadi.

Delisha berbisik, hampir tidak bisa terdengar, "Jangan bilang... itu..."

Sebuah bayangan besar muncul di balik pintu. Sosok zombie yang menyeramkan dengan tubuh membungkuk dan mata kosong menatap lurus ke arah mereka, dengusan napasnya berat dan penuh kemarahan.

Aisyah menarik napas tajam, tangannya bergerak cepat meraih sesuatu di dekatnya untuk dijadikan senjata. "Delisha... kita harus lari... sekarang!"

1
Kardi Kardi
runnnnnn, girlssss. runnnn
Kardi Kardi
interesting building/Frown/
Kardi Kardi: hmmm. maybe/Slight/
total 1 replies
Kardi Kardi
come on teamsss
Kardi Kardi: yeach. come on🍄
total 1 replies
Kardi Kardi
wake up team
Kardi Kardi: yeachhh
total 1 replies
Kardi Kardi
COME ONNNN
Kardi Kardi: yeach fastttt
total 1 replies
Kardi Kardi
never give up teams🍄
Kardi Kardi: yeach. give uppp/Smile/
total 1 replies
Kardi Kardi
NEVER GIVE UPPP
Kardi Kardi
good work. never give up😎😇💞yeyyy
Edana
Memukau dan mencerahkan
Mehayo official
Lucu dan menghibur.
Laura Barón
Waktu baca jadi cepat berlalu, keren abis!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!