Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 : Pria yang Sama
Raisha melangkah cepat keluar dari lobi NIMBIS, mengenakan hoodie pink yang membuatnya terlihat seperti gadis biasa yang sedang bersiap liburan. Tapi di balik penampilan santainya, kepala Raisha penuh dengan berbagai pertanyaan.
Dia kembali menyapa sang penjaga keamanan lalu segera bergerak menuju area parkir. Di sana hanya tersisa beberapa mobil. Hampir semua agen sudah pergi memburu tugas masing-masing.
Udara ruang rahasia NIMBIS yang dingin menyentuh kulitnya, sedikit mengurangi ketegangan yang sempat menggelayut di tubuhnya. Ia mendekati mobil hitamnya, sebuah kendaraan yang tampak biasa di luar, tapi di dalamnya terisi teknologi yang bahkan James Bond mungkin akan iri.
Setelah pintu mobil otomatis terbuka dengan sensor gerak, Raisha duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin. Layar hologram langsung muncul di depannya, menampilkan tampilan panel transparan yang melayang di udara. Mobil itu lebih dari sekadar alat transportasi, melainkan perpaduan sempurna antara kenyamanan, teknologi, dan keamanan.
Dengan satu sentuhan di layar, ia mengaktifkan sistem AI yang akan memantau keselamatan dan kendali mobil.
"Baik, arahkan ke alamat ini," katanya sambil mengetikkan sebuah alamat, disusul munculnya sebuah koordinat di layar hologram.
Raisha sempat memeriksa informasi yang mungkin sudah tiba dari Greg. Tapi, belum ada notifikasi apa-apa dari Greg.
Mobil melaju keluar dari pintu baja, menelusuri area parkir kemudian turun dengan mulus ke jalan raya. Setelah itu Raisha menekan gas sedikit lebih dalam. Sebuah senyuman tipis terbentuk di wajahnya saat kecepatan mobil mulai naik. 100 km/jam, 120 km/jam, hingga mencapai hampir 200 km/jam.
Raisha menurunkan sedikit kecepatan, lalu kecerdasan buatan mobilnya menuntun untuk berbelok menuju jalan tol yang lengang membuatnya merasa diarahkan ke atas rel kereta cepat.
Gadis itu kembali menaikan kecepatan, melampaui 200 km/jam. Angin yang berdesir lewat jendela seolah mengisi telinga dengan suara deru yang menenangkan. Namun meski begitu otaknya terus memikirkan teka-teki pada cap yang dilihatnya di dada sosok mayat tadi.
Raisha mengemudikan mobilnya dengan kecepatan mendebarkan. Jalan tol seolah menjadi arena balapan pribadi baginya. Segala sesuatu tampak menjadi kabur di kiri dan kanannya, tapi pandangannya tetap fokus pada jalan.
Mobilnya, sebuah kendaraan canggih dengan kecerdasan buatan, mengambil alih kontrol bila terjadi bahaya. Meski melesat melebihi 200 km per jam, Raisha tahu ia dalam kendali penuh.
Tangannya dengan cekatan memeriksa lagi informasi dari Greg pada layar hologram transparan yang kembali muncul di hadapannya, melayang di udara, namun tetap menjaga visibilitasnya pada jalan di depan. Data mulai terpampang, namun masih belum ada informasi dari Greg mengenai siapa sebenarnya orang yang harus ia lindungi. Saat itu, pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan yang menggantung.
“Ayolah Greg, siapa ahli kriptografi ini? Dan kenapa hubunganmu dan orang ini tidak baik-baik saja?” gumam Raisha.
Mobil meluncur kencang melewati jalan yang sedikit melengkung, Raisha mengenali jalur yang ditempuh. Jalur ini adalah rute yang sama seperti saat ia pertama kali menuju markas.
Kali ini ia kembali ke tempat yang sama, tetapi membawa misi yang sama sekali tidak jelas. Tidak ada nama, tidak ada institusi. Hanya sebuah alamat berupa nama jalan dan nomor jalan.
Saat Raisha mendekati tujuan, suara notifikasi terdengar dari layar hologram. Greg akhirnya mengirimkan informasi yang ia tunggu-tunggu. Layar komputer mulai menampilkan data tentang orang yang harus ia lindungi. Foto seorang pria muda muncul, sedikit samar. Nama dan identitas singkat terpampang di bawah foto itu:
Arya Pratama Widjaya
Pekerjaan: Pegawai Asuransi
Posisi: Marketing
Raisha mengernyitkan kening, membaca informasi itu dengan tak percaya. "Pegawai asuransi? Marketing?" gumamnya dengan nada skeptis.
Raisha mencoba mencari informasi tambahan, tapi Greg hanya mengirimnya informasi itu. Raisha tahu, itu berarti sisanya menjadi tugasnya.
Tentu saja Greg tak akan memanjakan agen terbaik seperti dirinya. Greg pasti tahu, bahwa Raisha akan melakukan pelacakan sendiri jika membutuh informasi tambahan.
Raisha menghembuskan napas. Merasakan keheranan menyergap pikirannya. Raisha tahu, rekan-rekannya sesama agen rahasia menerima tugas melindungi tokoh-tokoh penting seperti pejabat negara, ilmuwan terkemuka, atau bahkan orang yang berkaitan dengan intelijen dan militer. Sementara dia sendiri, ditugaskan untuk melindungi seorang pria biasa yang bekerja di bidang asuransi bagian marketing? Ini terasa aneh.
"Apa Greg sedang bercanda?" Raisha berbicara pada dirinya sendiri. Otaknya mulai memutar-mutar berbagai kemungkinan.
Bukankah Greg tadi menyebut ahli kriptografi? pikir Raisha, heran.
Raisha menekan gas sedikit lebih keras, mencoba melawan pikiran yang bertentangan. Greg bukan tipe orang yang asal memberi tugas, apalagi bercanda tentang hal sepenting ini. Pasti ada alasan yang kuat mengapa dia dikirim untuk melindungi Arya. Tapi apa? Raisha tidak tahu, dan ketidaktahuan itu membuatnya semakin cemas.
Mobilnya melambat saat dia mendekati gedung yang dimaksud. Sebuah bangunan perkantoran besar, dengan lampu masih menyala di beberapa lantai meskipun malam sudah larut.
"Ini tempatnya," gumam Raisha, sambil merapatkan mobil ke tepi jalan. Tangannya dengan lincah mengetik pesan balasan kepada Greg di ponselnya, memastikan bahwa ia telah sampai di lokasi.
Ketika matanya kembali tertuju pada layar hologram, pandangan Raisha jatuh pada wajah Arya. Ada sesuatu di mata pria itu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Gadis itu ragu, namun ia merasa mengenal wajah itu meski terpampang dalam foto dengan resolusi yang tidak terlalu tinggi.
Raisha mematikan mesin mobil dan menghela napas panjang. Tugas ini mungkin terlihat sederhana, tapi ia tahu bahwa apa pun yang berhubungan dengan Greg, pasti sesuatu yang sangat penting.
Walau bagaimana pun ini tugas perlindungan dan... tentang bagaimana membujuk seseorang! pikir Raisha.
Dengan cepat, Raisha meraih tasnya dan memeriksa peralatan yang dibawanya. Pisau lipat tersembunyi di lengan hoodie pink-nya, dan pistol di bagian punggung, tersimpan rapi. Ia harus siap untuk segala kemungkinan.
"Baiklah, Arya Pratama Widjaya," gumam Raisha, sambil membiarkan pintu mobil terbuka. "Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, tapi sudah tugasku untuk melindungimu, bahkan mungkin... secepatnya membawamu bergabung ke misi ini."
Raisha menatap gedung kantor yang menjulang tinggi di depannya. Sudah pukul sembilan pagi. Cahaya matahari menciptakan bayang-bayang tiang dan pepohonan di sepanjang pelataran gedung.
Raisha segera berlajan cepat.
Ia melangkah ke dalam lobi gedung dengan langkah cepat namun waspada. Lantai marmer yang dingin dan mengkilap menambah kesan formalitas bangunan tersebut.
Seorang petugas gedung berdiri di belakang meja resepsionis, menatap layar monitor tanpa terlalu memperhatikan siapa yang baru saja masuk. Raisha menghampirinya.
“Maaf, saya ingin menanyakan kantor asuransi di gedung ini. Saya ada urusan penting,” kata Raisha dengan nada tegas namun sopan.
Petugas itu menoleh perlahan, matanya menatap Raisha dari atas ke bawah. Pakaian Raisha yang kasual: hoodie pink dan jeans longgar, jelas terlihat kontras dengan suasana profesional gedung itu. Namun, dia tidak berkata apa-apa, hanya menggerakkan tangan ke arah lift sambil berkata, “Lantai 15.”
Raisha mengangguk cepat dan segera menuju lift. Suara lembut mesin lift yang bergerak naik terasa mencekam di telinganya. Ia sudah menduga, kantor asuransi itu mungkin sedang libur karena ini akhir pekan. Namun, ia harus mencoba. Setidaknya, ia bisa mencari tahu sesuatu tentang Arya setiba di sana.
Ketika pintu lift terbuka di lantai 15, suasana sunyi menyambutnya. Kantor besar dengan deretan meja kerja tampak kosong, hanya ada beberapa pegawai yang duduk di depan telepon hotline darurat. Mereka berbicara pelan, jelas menangani panggilan pelanggan dalam situasi mendesak.
Seorang satpam berdiri di dekat pintu keluar darurat, menatap Raisha sejenak sebelum kembali memeriksa layar monitornya.
Raisha masuk dan mendekati salah satu pegawai, yang terlihat sedang menutup telepon. “Maaf, saya mencari PAk Arya Pratama Widjaya. Dia bekerja di sini, kan?”
Pegawai itu memandang Raisha dengan tatapan penuh tanya. “Pak Arya? Iya, beliau pegawai di sini, tapi… sekarang akhir pekan. Beliau sedang libur, mungkin sekarang di rumahnya.”
Raisha menghela napas dalam hati. Ia sudah menduga ini akan terjadi, meski hatinya tetap berharap akan bertemu dengan orang yang dia cari di kantor megah ini sekalipun di akhir pekan, atau jika tidak, informasi mengenainya.
“Bisa Anda beritahu di mana rumahnya? Saya… temannya,” ucap Raisha dengan nada yakin, berharap pengakuan itu cukup untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkannya.
Namun, pegawai itu tampak ragu. “Teman? Hmm… maaf, tapi saya nggak bisa memberikan informasi pribadi begitu saja.”
Saat itulah satpam yang tadi diam saja mendekat, matanya menyipit curiga. “Ada apa ini? Siapa perempuan ini?” katanya dengan nada tegas, seolah sedang menghadapi ancaman. Raisha tahu ia harus cepat berpikir.
“Saya teman Pak Arya, Pak,” kata Raisha, menatap tajam ke arah satpam tersebut. “Saya punya urusan penting dengannya, tapi dia mungkin... memang orang yang suka bermain rahasia, bisa-bisanya dia tak memberitahu temannya sendiri di mana alamat rumahnya,” ucap Raisha mencoba bersandiwara.
Tatapan curiga sang satpam membuat suasana makin tegang. Raisha bisa merasakan tatapan pegawai lain yang mulai melirik ke arah mereka. Namun, dengan sedikit kelihaian diplomasi dan senyum yang tak terlalu dipaksakan Raisha akhirnya berhasil mendapatkan alamat rumah Arya.
"Baiklah," kata salah satu pegawai sambil menyerahkan secarik kertas dengan alamat yang tertera. “Tolong tetap bersikap baik pada rekan kami.”
Raisha berkernyit heran, apakah penampilannya begitu aneh di matanya, sehingga pegawai itu harus berbicara begitu padanya. Namun gadis itu tak peduli. Akhirnya dia mengangguk, mengucapkan terima kasih dan segera bergegas menuju lift untuk meninggalkan gedung. Namun, saat hendak masuk ke dalam lift, tanpa sengaja ia menabrak seorang pria yang baru saja keluar.
Tabrakan itu menyebabkan tas pria tersebut terbuka, dan beberapa lembar brosur jatuh berhamburan ke lantai. Raisha cepat-cepat membantu memungutnya.
"Brosur asuransi..." gumam Raisha pelan, melihat logo yang familiar di atas kertas-kertas itu. Kantor tadi.
Pria itu menunduk untuk memungut sisa brosurnya, dan saat Raisha memperhatikan lebih dekat, ada sesuatu yang familiar dari wajah pria itu, namun Raisha masih ragu.
Ketika pria itu berdiri dan melirik ke arahnya, perasaan tak menentu menyelimuti Raisha. Tak salah lagi. Ini dia, pria yang ada di foto! Wajahnya, postur tubuhnya, semuanya cocok. Raisha segera berbalik dan mengejarnya.
“Tunggu! Apa kamu Arya?” seru Raisha dengan napas sedikit terengah-engah.
Pria itu berhenti, menoleh, tampak terkejut. "Kamu siapa? Kenapa kamu tahu namaku?" tanyanya dengan nada bingung. Dia mendekat, memperhatikan Raisha lebih seksama. Ada keheranan dalam tatapannya.
Raisha merasa semakin yakin, namun sebelum ia sempat berkata lebih jauh, pria itu mengerutkan dahi. "Kamu lagi? Kenapa kamu tahu namaku? Dan… kenapa kamu menyusulku?" tanyanya, matanya membulat.
Raisha mendadak teringat kejadian sebelumnya di minimarket. Wajah itu, ya Tuhan! batin Raisha. Ini pria yang sama, yang pernah dia pelintir tangannya hanya gara-gara sebungkus cokelat.
“Kamu?” Raisha tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Pria itu melipat tangan di dadanya, jelas merasa aneh. “Kenapa kamu menyusulku sampai ke sini?” tanya pria itu sekali lagi. “Dan bagaimana kamu tahu namaku?” sambungnya.
Raisha menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. “Kamu benar Arya?” tanyanya lagi, mencoba memastikan.
Pria itu menatapnya beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. “Ya, aku Arya Pratama Widjaya. Apa kamu sengaja mencariku?”
Raisha kembali terkejut, namun sekaligus lega. Tapi sebelum ia bisa menjelaskan lebih jauh, Arya bicara lagi, “Dan kalau soal cokelat, bukankah sudah kubilang itu punyaku?”
Raisha tersenyum kaku, berusaha keras menahan rasa malu yang tiba-tiba menyerang. “Bukan, bukan soal itu. Aku di sini karena... karena ada keperluan lain.”
Arya mengangkat alis, wajahnya penuh ketidakpercayaan. “Keperluan lain? Keperluan apa?”
Raisha tahu, dengan penampilannya, hoodie pink, celana jeans longgar dan sepatu kets, tak sedikit pun menunjukkan bahwa ia memiliki urusan penting di gedung itu. Namun, dia tak punya waktu untuk menjelaskan semuanya sekarang.
“Aku akan jelaskan nanti, kamu bisa selesaikan urusanmu dulu!” ucap Raisha, tegas.
Wajah Arya berubah menjadi waswas. Arya menatap Raisha dengan pandangan skeptis. “Baik, tunggu sebentar,” ucap Arya ragu sambil melangkah ke pintu masuk kantor.
Raisha menghela napas panjang. Seorang pegawai marketing perusahaan asuransi? Gadis itu menggeleng lalu kembali mencermati foto yang dikirim Greg di ponselnya. Setelah itu Raisha yakin, dia tidak salah orang.
Siapa kamu sebenarnya? batin Raisha. Gadis itu berdiri di sisi koridor. Dia mengoperasikan sesuatu melalui ponselnya dan mulai melakukan langkah peretasan kecil. Raisha ingin tahu siapa Arya sebenarnya. "Aku tak melihat bahwa orang ini ahli dalam bidang kriptografi..." gumam Raisha sambil terus mengoperasikan sesuatu di ponselnya.