Anindya, seorang Ibu dengan 1 anak yang merasa sakit hati atas perlakuan suaminya, memilih untuk
bercerai dan mencari pelampiasan. Siapa sangka jika pelampiasannya berakhir dengan obsesi Andra, seorang berondong yang merupakan teman satu perusahaan mantan suaminya.
“Maukah kamu menikah denganku?” Andra.
“Lupakan saja! Aku tidak akan menikah denganmu!” Anindya.
“Jauhi Andra! Sadarlah jika kamu itu janda anak satu dan Andra 8 tahun lebih muda darimu!” Rima.
Bagaimana Anindya menghadapi obsesi Andra? Apakah Anindya akan menerima Andra pada akhirnya?
.
.
.
Note: Cerita ini diadaptasi dari kisah nyata yang disamarkan! Jika ada kesamaan nama tokoh dan cerita, semuanya murni
kebetulan. Mohon bijak dalam membaca! Terima kasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Mengantar Ardio
"Kenapa kamu mau di kamar Andra?" tanya Faris saat sudah di dalam rumah.
"Aku tak mengenal siapa pun di sana, Mas! Apa salahnya menerima tawarannya, Ardio sudah rewel. Apa kamu mau aku membuka auratmu didepan banyak orang?" jawab Anindya sambil merebahkan perlahan Ardio.
"Kenapa tidak memanggilku?"
"Kamu tidak ada untukku, Mas! Bahkan ponselmu kamu silent!" keluh Anindya.
Faris menepuk dahinya. Benar, ia mengheningkan ponselnya.
"Maafkan, aku." Faris mendekati Anindya.
Anindya hanya diam. Tetapi ketika Faris ingin memeluknya, ia menggeser duduknya dan mengatakan akan membuat makanan untuk mereka. Tentu saja hal tersebut membuat Faris tersulut.
"Mengapa kamu tak pernah mau aku sentuh? Apakah kamu sudah bermain dengan Andra hingga kamu tak menginginkanku lagi?" tuduh Faris yang seketika menghentikan langkah Anindya.
Sakit. Hati Anindya terasa sakit dengan tuduhan suaminya. Siapa yang bermain dengan siapa?
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Mas! Kamu sudah bermain dengan siapa?" Anindya akhirnya meluapkan apa yang menjadi tanda tanya selama ini.
"Apa maksud kamu?" tanya Faris mengernyit.
"Kamu menuduhku dengan Andra, sedangkan kamu bersama perempuan lain pun aku tak mengatakan apa-apa!"
"Plak!" Faris spontan menampar Anindya.
Merasa sakit hati, Anindya berlari masuk kedalam kamar mandi melampiaskan tangisannya. Sedangkan Faris merutuki dirinya yang terbawa emosi. Bagaimana bisa Anindya mengatakan hal itu, apakah istrinya mengetahui keberadaan Rani? Dari siapa? Dan bagaimana Anindya tahu?
Pertanyaan demi pertanyaan pun memenuhi kepala Faris. Ia pun menyadari jika Anindya belum keluar dari kamar mandi. Ia mencoba mengetuk pintu kamar mandi tetapi tak kunjung dibuka. Yang ia dengar hanyalah isakan tangis Anindya. Faris duduk bersandar di pintu kamar mandi.
"Maafkan, aku. Aku tak sengaja melakukannya. Balaslah aku jika itu bisa menebusnya!" Anindya masih menangis dibalik pintu.
"Kamu istriku, aku tak suka jika kamu dekat dengan laki-laki lain. Maafkan aku yang telah menuduh mu!"
Anindya membuka pintu kamar mandi, ia telah menumpahkan tangisnya. Tapi bukan berarti ia telah memaafkan Faris. Faris segera berdiri dan ingin menyambut istrinya, tetapi Anindya menghindar dan berjalan melewatinya.
Sejak saat itu, hubungan Anindya dan Faris semakin merenggang. Anindya hanya diam, Faris bingung harus memulai seperti apa. Sampai suatu hari, Faris menerima telepon Rani tanpa tahu jika ada Anindya.
"Ada apa, Ran?" tanya Faris tak sabar.
Anindya sedang keluar ke rumah pemilik rumah untuk membayar kontrakan dan bisa kembali kapan saja.
"Aku perlu uang, Mas. Arka masuk rumah sakit karena kejang!"
"Bukankah aku sudah mengirimnya kemarin?"
"Tidak cukup, Mas. Yang kemarin sudah aku belikan susu dan kebutuhan lain."
"Astaga! Aku sudah tidak lagi pegang uang, Ran!"
"Bukankah gaji kamu baru saja masuk 3 hari yang lalu, Mas?"
"Iya, tapi sudah aku berikan kepada Anindya." Faris mengusap kasar wajahnya tanpa tahu, Anindya ada dibalik pintu belakang.
Anindya telah kembali dari rumah pemilik. Ia memutar ke belakang untuk mengambil daun pandan di belakang rumah. Ia tak menyangka akan mendengar suaminya menyebut nama perempuan lain.
"Lalu aku harus bagaimana, Mas?"
"Pakai saja kartu jaminan masyarakat."
"Mana bisa, Mas? Aku membawanya ke klinik swasta yang penanganannya cepat."
Faris tak tahu lagi harus bagaimana lagi. Terpaksa ia menghubungi orang tuanya setelah mematikan sambungannya dengan Rani.
"Bu, tolong bayarkan dulu biaya pengobatan Arka. Nanti akau akan menggantinya."
"Bukan Ibu tidak mau, Ibu malas bertemu Rani!" jawab Ibu Faris kesal.
"Ayolah, Bu. Dia juga cucu Ibu."
"Baiklah." kata Ibu Faris mengalah.
"Terima kasih, Bu."
Anindya menahan tangisnya. Suaminya memiliki perempuan lain yang bahkan mertuanya mengetahuinya. Ia yang masih berharap Faris meminta maaf kepadanya dengan menjelaskan semuanya, meremas dadanya. Sakit. Benar-benar sakit.
Sejak saat itu, Anindya lebih banyak menyibukkan diri di Puskesmas dengan alasan akreditasi. Sampai 2 bulan kemudian, Faris kembali cuti bertepatan dengan Anindya yang berangkat diklat prajabatan. Pelaksanaan diklat selama sebulan membuat Anindya harus merelakan berjauhan dengan Ardio yang kini sudah berumur 6 bulan.
"Ardio akan aku bawa ke Jawa untuk titip ke Ibu sementara. Nanti aku kembali untuk menemanimu." kata Faris.
"Iya, Mas. Aku titip Ardio." kata Anindya yang menyerahkan Ardio kepada Faris.
Tega dan tidak tega. Pelaksanaan diklat yang tidak dekat membuatnya tidak bisa membawa Ardio bersamanya. Beruntung Ardio sangat pintar bersama Faris ke Jawa. Bahkan saat sampai di Jawa pun Ardio tak rewel meski tak ada Anindya disampingnya.
Awal kedatangan, Ardio tinggal bersama Ibu Faris dan Ayah Faris. Rani yang mengetahui hal tersebut pun tidak terima dan mendatangi rumah Faris.
"Aku tidak setuju, Mas!"
"Aku tidak butuh persetujuan kamu!"
"Kenapa tidak kamu berikan kepada Neneknya sendiri!"
"Eh, Ran! Ardio ini cucuku, aku sanggup merawatnya!" sela Ibu Faris tidak Terima.
"Tapi aku keberatan, Ibu saja tidak pernah memegang Arka. Sekarang Ibu mengasuh anak Anindya!" Rani mulai kesal.
"Kamu pilih Ardio disini atau ikut neneknya sendiri? Tapi jangan salahkan aku akan mengadu kepada Ibu Anindya jika kamu memiliki dua istri!" imbuh Rani dengan ancaman.
"Gila kamu, Ran!" seru Faris yang pusing dengan sikap Rani yang semakin hari semakin menuntut ini itu.
"Terserah kamu, Mas. Aku juga istrimu, jangan lupa itu!" Rani pun pergi meninggalkan rumah Faris.
Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya Faris mengantarkan Ardio ke rumah Ibu Anindya dihari berikutnya dengan alasan Ibu Faris yang memiliki asam urat tak bisa menggendong Ardio terlalu lama. Tentu saja Ibu Anindya dengan senang hati menerima Ardio karena sebelumnya Anindya sudah mengabarkan jika Ardio pulang bersama Faris. Hanya saja beliau menahan diri untuk tidak menemui Faris di rumah besan, takut menyinggung.
Setelah mengantarkan Ardio, Faris kembali ke rumah disambut Rani dan Arka. Arka yang sudah hafal dengan wajah Faris pun segera memeluk sang ayah dan memintanya untuk menemaninya berenang. Entah atas kemauan Arka sendiri atau Rani, Faris pun menurutinya.
Mereka pergi ke kolam renang yang sepi dan sekiranya tidak ada yang mengenali mereka. Setelah berenang, Arka meminta pergi ke toko mainan karena sang ibu mengatakan jika ayahnya pulang baru boleh membeli mainan. Faris menurutinya lagi yang secara tak langsung membuat Rani girang.
"Arka? Jadi mau mainan yang mana?" tanya Faris kepada Arka yang duduk di troli.
Tak ada jawaban, Faris melihat jika Arka tertidur. Ia pun mengangkat tubuh Arka dan mendorong troli dengan satu tangan. Ia mengambil mainan excavator untuk Arka dan membayarnya. Rani yang sebelumnya ke kamar mandi bergabung dan mengambil alih Arka. Mereka pun kembali ke rumah.
Aku ingin lihat rumah tangga penghianat ama pelakor ..
orang macam faris itu sembuhnya kl jd gembel atau penyakitan
kl pintar pasti cari bukti bawa ke pengadilan biar kena hukuman tu si Faris.