Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Malaikat Kecil
Berusaha membuat dirinya hamil agar lelaki incarannya terjebak mengawininya. Ketika tidak berhasil, berbohong tentang kehamilannya, dan pura-pura keguguran.
Itu cerita basi yang dilakukan para wanita putus asa. Tetapi terkadang tetap berhasil menjerat seorang lelaki, termasuk Bernard.
Namun, rupanya niat buruk tidak mendapat restu dari Yang Maha Kuasa.
Setiap kali tamu bulanannya agak terlambat beberapa hari, dengan penuh harapan Miranti segera menampung air seni setiap pagi. Tetapi setiap kali pula ia harus kembali menelan kecewa, karena garis merah di pendeteksi kehamilan di tangannya tetap hanya satu, bukan dua.
Sampai hampir dua tahun pernikahannya, belum ada janin yang berkembang di rahim Miranti.
'Mungkin tidak ada anak yang sudi punya ibu seculas dia,' Wiratama mencibir dalam hati.
“Gua tetap harus punya anak, Wir, supaya kalau Tuan meninggal, gua masih kebagian hartanya.”
“Tuan pergi ke Cina lama sekali sekarang. Tiga bulan, Wir. Gua gak diajak.”
'Kalau gua bisa kasih anak, pasti Tuan lebih sayang sama gua dan bakal jarang balik ke Taiwan atau Cina.”
Wiratama menoleh pada Miranti di sebelahnya, yang dengan rajin mengeluh hampir setiap hari.
"Jadi Nyonya kawin sama Tuan karena cinta atau harta?” Wiratama bertanya sinis. Ia tak tahan lagi.
Itu hanya sarkasme. Ia tak butuh jawaban. Ia tahu Miranti hanya tergiur harta Bernard, berharap sebagai istri termuda, cantik dan sintal pula, Tuan akan lebih betah dengannya.
Sayang, bukan itu yang terjadi. Wiratama ingin terbahak-bahak sambil menoyor kepalanya.
"Gak ada gunanya juga ngeluh ke gua, Nyonya. Gua gak akan bersedia 'nolongin' lo untuk yang satu ini. Cari aja orang lain, kasih duit pasti ada yang bersedia." Wiratama mengingatkan Miranti, sebelum wanita itu mengulang permintaan konyolnya waktu itu.
"Iya gua udah tahu lo gak mau. Tapi lo gak usah nyuruh-nyuruh gua cari yang lain juga dong. Gua gak semurah itu. Dan lagi, gua cuma percaya sama lo."
Miranti menatap Wiratama dengan sorot sakit hati. Entah karena dinilai murah, atau karena ditolak ke sekian kali.
Namun, ia tidak kehilangan akal. Setiap kali Bernard ada di Indonesia, ia akan menangis berlinang air mata, merengek tiap malam di pangkuan Bernard dengan pilu.
Ia berperan sebagai perempuan paling malang sedunia, karena tidak mampu mempersembahkan hadiah terindah untuk sang suami. Seorang anak perempuan yang sangat Bernard dambakan.
"Laogong," Miranti berkata sambil terisak-isak. Itu adalah panggilannya setelah ia menjadi istri Bernard, yang berarti suami.
"Ayo kita memungut anak saja. Aku merasa sebagai wanita tidak berguna jika tidak bisa memberimu anak perempuan. Kata orang-orang, memungut anak bisa menjadi pancingan agar aku hamil."
Bernard hanya tertawa, "Memangnya bayi itu ikan? Harus dipancing segala..." Dia menggeleng-gelengkan kepala geli.
Hari berikutnya.
"Laogong, aku serius. Kalau kamu pergi lama, biar aku ada yang menemani. Ayolah... aku mohon... aku ingin memiliki buah cinta kita." Miranti mengalirkan air matanya lagi, membuat Bernard terharu dan memeluknya.
Lelaki setengah abad itu memang menyayangi Miranti. Apa yang dikatakan orang-orang bahwa lelaki yang jauh lebih tua itu lebih sayang istri, adalah benar adanya.
"Baiklah, kamu atur saja. Cari yang latar belakangnya baik." Akhirnya Bernard mengalah pada kegigihan istri mudanya.
"Terima kasih, Laogong. Kamu memang lelaki terbaik. Aku sangat mencintaimu." Miranti mengulurkan tangan untuk membuka kancing-kancing piama Bernard, lalu naik ke pangkuannya, dan segera menenggelamkan lelaki itu ke lautan gairah.
Butir-butir air mata yang tadi mengalir bagai rangkaian mutiara lepas, telah kering sejak tadi.
***
Wiratama menatap gadis kecil di pangkuan Miranti.
Dia sangat menggemaskan, mata sipit dibingkai bulu mata lentik, bibir mungil dan hidung mencuat bangir. Rambutnya yang lurus tebal diikat seperti air mancur di puncak kepalanya.
Kulitnya sangat putih dan bersih. Tubuhnya tidak gemuk, bahkan cenderung kurus, tapi pipinya gembil dengan rona kemerahan, mengundang tangan siapa pun untuk menjawilnya.
Bagi Wiratama, gadis kecil itu seperti malaikat kecil dengan sayap yang belum tumbuh, sedang digendong iblis wanita.
Mata sipit itu balas menatapnya dengan berani. Keningnya agak berkerut, seolah bertanya tanpa kata, "Siapa kamu?"
Wiratama tersenyum, mengulurkan tangan, menggenggam tangan mungilnya dan menggoyang-goyangkannya. "Halo, aku Pak Wira. Anak cantik ini siapa namanya yaaa?"
Bernard mengelus kepala anak itu. Sementara Miranti menoleh dan mencium pipi halusnya. "Aku Qing Yun, Pak Wira," suaranya menirukan suara anak kecil. "Kata Papa, Qing Yun artinya awan murni yang bersih."
"Qing Yun. Awan murni yang bersih." Wiratama bergumam mengulangi informasi itu, dan mengangguk-angguk, "Cocok. Sangat cocok."
"Panggil dia Qing Qing saja." Bernard mengelus kuncir rambut Qing Qing.
"Oh, baiklah. Umur berapa dia, Tuan? Anak siapa?" Wiratama mengalihkan perhatian pada Bernard.
"Dapat dari panti asuhan. Mereka juga gak yakin dia umur berapa, tapi dari kemampuan motoriknya, mungkin sekitar satu setengah tahun. Dia ditinggalkan di depan pintu waktu masih bayi merah, delapan belas bulan yang lalu. Gak ada keterangan apa-apa. Jadi gak tahu ini anak siapa."
Anak secantik ini ditinggalkan begitu saja? Sungguh tega orang yang membuangnya.
"Mungkin hasil hubungan gelap. Atau dilahirkan anak remaja yang bingung harus bagaimana. Banyak kemungkinan. Tapi biarlah, mulai hari ini, dia jadi anak kami. Mir sudah suka dari pertama melihatnya." Bernard tersenyum dengan mata berbinar, tampak jelas dia juga menyukai anak itu. Atau mungkin karena dia juga berpikir, istrinya tidak akan mengeluh dan menangis lagi.
"Bantuin gua ngasuh dia ya Wir?" Tiba-tiba Miranti berkata.
"Eh?" Wiratama agak tertegun, "Gak cari baby sitter aja, Nya?"
"Gak ah. Gua mau urus sendiri, biar kerasa jadi seorang ibu. Dan biar pancingannya cepat kena. Tuan juga udah setuju."
"Pancingan apa maksudnya?" Wiratama tidak mengerti. Sebagai laki-laki muda yang jarang bergaul dengan para wanita yang sudah menikah, wajar jika ia tidak mengetahui ada kepercayaan seperti itu.
"Pancingan buat gua hamil lah. Kata orang, mungut anak bisa mancing kehamilan."
Wiratama agak terpana. Memandang Miranti dan Bernard bergantian.
"Gak apa-apa kalau kamu gak bisa hamil, Mir. Qing Qing sudah cukup. Aku sudah punya anak perempuan."
"Laogong, aku tetap pengen punya darah daging sendiri." Miranti merajuk sambil menghentakkan kaki.
"Iya... Iya..." Dengan sabar, Bernard mengelus kepala Miranti.
Namun... darah Wiratama bagai diletakkan di atas bara api, menggelegak mendidih.
Ia menatap Qing Qing yang juga sedang menatapnya. Seolah telah memutuskan bahwa lelaki di depannya bukan makhluk berbahaya, Qing Qing tersenyum.
'Jadi... malaikat kecil secantik dan semurni Qing Qing ini, hanya dijadikan alat oleh Miranti?' Wiratama menggeram dalam hati.
Sungguh wanita keji!
yang masih jadi pertanyaan di benakku adalah, asal usul Damar.
keren abis
penulisan biar alur maju mundur tapi runtut
semoga banyak yg baca dan suka Thor semangat
sehat selalu author