Seorang penjual keliling bernama Raka, yang punya jiwa petualang dan tidak takut melanggar aturan, menemukan sebuah alat kuno yang bisa membawanya ke berbagai dimensi. Tidak sengaja, ia bertemu dengan seorang putri dari dimensi sihir bernama Aluna, yang kabur dari kerajaan karena dijodohkan dengan pangeran yang tidak ia cintai.
Raka dan Aluna, dengan kepribadian yang bertolak belakang—Raka yang konyol dan selalu berpikir pendek, sementara Aluna yang cerdas namun sering gugup dalam situasi berbahaya—mulai berpetualang bersama. Mereka mencari cara untuk menghindari pengejaran dari para pemburu dimensi yang ingin menangkap mereka.
Hal tersebut membuat mereka mengalami banyak hal seperti bertemu dengan makhluk makhluk aneh dan kejadian kejadian berbahaya lainnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melacak Keberadaan Tuan Putri
Rudolf merapalkan mantra pelacak dengan tenang, energi magis berputar lembut di sekeliling tangannya. Jejak sihir Aluna, meski samar, mulai terlihat baginya seperti jalur bercahaya yang melayang di udara. Sementara itu, Pangeran Radit berdiri di sebelahnya, berusaha terlihat serius, tetapi jelas-jelas tidak sabar menunggu hasil dari sihir pelayannya.
"Berapa lama lagi, Rudolf?" tanya Radit sambil mengerutkan kening, tangan diletakkan di pinggang dengan gaya sok berwibawa. "Aku merasa kita sudah menunggu lama sekali!"
Rudolf tetap tenang, meski di dalam hatinya dia sudah terbiasa dengan keluhan tuannya. "Sabar, Yang Mulia. Sihir pelacak membutuhkan waktu untuk mendeteksi jejak magis, apalagi jika jejaknya sudah lama ditinggalkan."
Radit memutar matanya, lalu duduk di pinggir trotoar pasar sambil memainkan kerikil dengan sepatu botnya. "Ini membosankan sekali. Harusnya kita bisa menyewa detektif atau sesuatu... atau mungkin aku bisa memakai semacam alat pelacak canggih. Pasti lebih cepat."
Radit mendengus, lalu menendang kerikil kecil di depan kakinya dengan iseng. Kerikil itu mengenai kaki seorang pedagang buah yang sedang berjalan lewat, membuat buah-buahannya hampir jatuh dari keranjang.
"Eh, maaf, maaf!" seru Radit sambil melambaikan tangan dengan ekspresi canggung, mencoba menghindari pandangan marah dari pedagang tersebut. "Aku nggak sengaja!"
Rudolf menghela napas panjang. "Yang Mulia, mungkin lebih baik jika Anda tidak menarik perhatian."
Radit mendengus lagi. "Yah, aku mencoba! Tapi ini membosankan, Rudolf. Kita harus segera menemukannya, atau aku bisa gila menunggu di sini."
Rudolf tetap fokus pada mantra pelacaknya, sementara Radit mulai bangkit dari duduknya, melirik-lirik ke sekeliling pasar dengan mata penasaran. Matahari semakin tinggi, dan keramaian pasar mulai bertambah, membuat suasana semakin bising. Radit, yang sulit duduk diam dalam situasi ini, mulai memainkan peran "pedagang keliling" yang sedang menyamar.
Tanpa menunggu persetujuan Rudolf, Radit berjalan mendekati salah satu penjual kain di dekat sana dan mulai mencoba berakting seperti seorang pedagang yang tahu apa yang dia lakukan.
"Kain ini... uh, terlihat bagus," katanya sambil mengambil salah satu kain dari tumpukan dan mengamatinya dengan penuh minat yang dibuat-buat. "Berapa harganya, Pak?"
Si penjual, seorang pria tua dengan kumis tebal, memandang Radit dengan curiga. "Tiga perak, Nak. Kau mau beli?"
Radit menatap kain itu lebih lama dari yang seharusnya, lalu mengangkat bahu. "Tiga perak? Hmm, menurutku sedikit terlalu mahal, ya. Tapi... bagaimana kalau dua perak? Aku tahu kualitas kain seperti ini, percaya padaku."
Penjual itu menyipitkan matanya, merasa tidak terkesan dengan penawaran Radit. "Nak, kau bahkan tidak tahu apa yang kau pegang. Itu sutra dari dataran tinggi, jauh lebih berharga daripada yang kau kira."
Radit langsung melongo, dan mencoba menyembunyikan rasa malu. "Oh, ya? Tentu saja! Aku cuma bercanda soal harga tadi. Hehe...," jawabnya canggung, lalu mengembalikan kain itu dengan cepat, takut membuat kesalahan lebih lanjut.
Radit memang pangeran yang ceroboh dan sering bertindak tanpa berpikir, tetapi di balik semua itu, Rudolf tahu bahwa Radit memiliki niat yang baik. Sayangnya, cara tuannya mengekspresikan niat itu sering kali membuat situasi menjadi lebih rumit daripada yang seharusnya.
Rudolf akhirnya membuka matanya, tanda bahwa mantra pelacak sudah selesai bekerja. "Yang Mulia, saya telah menemukan jejak magis Aluna."
Radit, yang baru saja mencoba memeriksa barang-barang di kios lain, langsung berbalik dengan penuh semangat. "Kau berhasil? Di mana dia?!"
Rudolf menunjuk ke arah barat, di mana jejak energi magis Aluna tampak seperti garis cahaya yang melayang, hanya terlihat oleh mata penyihir seperti Rudolf. "Jejak sihirnya menuju ke arah hutan di luar desa. Mungkin dia meninggalkan jejak ini ketika melarikan diri."
Radit tersenyum lebar, merasa bahwa petualangan yang sesungguhnya baru saja dimulai. "Bagus! Ayo kita ikuti jejak itu! Akhirnya ada yang seru!"
Rudolf tersenyum tipis. "Ingat, Yang Mulia, meskipun ini menarik bagi Anda, kita masih harus berhati-hati. Jejak ini bisa membawa kita ke tempat yang berbahaya."
Radit mengangguk, meskipun jelas terlihat bahwa dia tidak terlalu memikirkan potensi bahaya. "Iya, iya, aku tahu. Tapi mari kita pergi secepatnya! Semakin cepat kita menemukan Aluna, semakin cepat aku bisa menyelamatkan hari!"
Rudolf hanya bisa menggelengkan kepala, namun dia tetap mengikuti tuannya dengan setia. Mereka berdua meninggalkan pasar dan mulai mengikuti jejak magis yang mengarah ke luar desa, menuju hutan di batas wilayah Kerajaan Eldar. Radit tampak sangat antusias, matanya bersinar penuh harapan, meskipun di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini adalah misi besar yang belum tentu berhasil dengan mudah.
"Kalau aku berhasil menemukan Aluna, Ayah pasti akan bangga padaku!" kata Radit sambil berjalan dengan langkah cepat. "Aku bisa bayangkan, akhirnya dia akan memuji usahaku. Mungkin dia bahkan akan memberiku tugas penting di kerajaan. Mungkin... jadi kepala pasukan! Atau... mungkin dia akan memberi aku kastil pribadi!"
Rudolf, yang berjalan di samping Radit dengan tenang, hanya tersenyum kecil mendengar fantasi tuannya. "Tentu, Yang Mulia. Itu mungkin saja."
Namun, di balik sikap tenang Rudolf, dia tahu bahwa mereka masih jauh dari tujuan. Jejak magis yang mereka ikuti bisa membawa mereka ke mana saja, dan tidak ada jaminan bahwa Aluna bisa ditemukan dengan mudah. Namun, seperti biasa, Rudolf siap menghadapi apapun yang akan terjadi—dan dia akan melakukan apa pun untuk menjaga Radit tetap aman, meskipun tuannya sendiri sering kali tidak menyadari bahaya yang mengintai.
Ketika mereka akhirnya mencapai tepi hutan, Radit berhenti sejenak, menatap pepohonan yang menjulang tinggi dengan penuh rasa ingin tahu. "Hutan ini... terlihat menyeramkan. Kau yakin jejaknya masuk ke sini?"
Rudolf mengangguk. "Ya, Yang Mulia. Jejaknya jelas mengarah ke dalam hutan ini. Kita harus berhati-hati."
Radit memandang hutan itu dengan ragu, tetapi akhirnya mengangkat bahu. "Yah, apa pun yang terjadi, kita harus menemukannya. Ayo, Rudolf! Mari kita lanjutkan!"
Dengan semangat yang berapi-api, Radit melangkah masuk ke dalam hutan, sementara Rudolf mengikutinya dari belakang, tetap tenang dan waspada. Petualangan baru telah dimulai, dan meskipun Radit penuh semangat seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru, Rudolf tahu bahwa apa pun yang mereka hadapi di depan, mereka harus siap menghadapi bahaya.
---
Di dimensi lain, Raka dan Aluna duduk bersandar di pohon besar, menikmati sejenak ketenangan di hutan magis tempat mereka berada. Meskipun mereka baru saja melarikan diri dari markas Penjaga Keseimbangan Dimensi, mereka tahu bahwa bahaya masih mengintai di setiap sudut.
"Jadi, apa langkah selanjutnya?" tanya Raka sambil menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang aneh berwarna kehijauan. "Kita nggak bisa terus bersembunyi selamanya."
Aluna menatap alat dimensi di tangan Raka. "Kita harus belajar lebih banyak tentang Kunci Dimensi ini. Sekarang kita tahu kekuatannya, kita harus tahu bagaimana cara mengendalikannya dengan benar. Dan yang lebih penting, kita harus memastikan alat ini tidak jatuh ke tangan yang salah."
Raka mengangguk, meski wajahnya masih menunjukkan keraguan. "Kedengarannya... rumit. Tapi aku percaya padamu, Aluna. Kau yang paling tahu soal ini."