DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM33
Bima mengetatkan rahangnya kala bulek melemparkan uang padanya. Anggi menatap nanar ke arah bulek. Pengunjung yang lain ada yang cuma melongo, ada yang geleng-geleng melihat kelakuan bulek Darmi dan ada juga mengarahkan ponselnya ke mereka.
"Itu bayaran untuk makanan gak enak ini!" hina Bulek.
Terdengar gumaman dari tamu-tamu yang lain.
"Astaga ...."
"Sudah tua, kenapa begitu kelakuannya ya?"
"Gak enak kok habis."
"Tadi katanya punya kakaknya, sekarang menghina."
"Lagian tinggal bayar aja kenapa Buuuu ...." seru salah 1 tamu.
Bulek Darmi menatap tajam ke arah Bima.
"Dasar, Pelayan Rendahan! Sombong sekali kamu sampai mau bersedekah kepada kami. Kamu tidak tahu siapa kami, hah?!"
"Iya, apa kamu tidak tahu kami ini siapa?!"
"Jangan sombong kamu anak muda!" seru para teman Bulek.
"Tau, saya tau siapa anda-anda ini. Anda-anda semua ini merupakan orang yang ingin numpang makan gratis dengan cara menukar hak milik seseorang, kan? Mengaku-ngaku milik kakaknya." Adikku tersenyum jahil, sedangkan Bulek sudah mendelik tak terima.
"Maaf, Bu. Anda ini terlihat terhormat, tapi, tidak tercermin dari kelakuan anda. Silahkan diambil lagi uang-uang anda. Kalau anda tidak mau bayar tagihannya, biar nanti saya saja yang bayar pakai uang gaji saya. Kapan lagi punya kesempatan bersedekah kepada orang kaya, ya kan, Bu? -- Maaf ibu-ibu semua, mohon dibawa pergi temannya ini, jangan lupa uangnya silahkan diambil kembali ya." Bima memberi tanda dengan tangannya kepada rombongan ibu-ibu tersebut.
Teman-teman bulek yang tadi bersahut-sahutan jadi terdiam.
"Silahkan diambil kembali uangnya, Bu ...," ulang Bima lagi dengan datar.
Dan apa yang terjadi kemudian membuatku melongo.
Bulek Darmi dengan tidak tahu malunya memunguti uangnya lagi. "Ibu-ibu, mari kita pergi dari sini. Lain kali tidak usah makan di restoran yang tidak enak ini. Gak enak, mahal lagi."
Dan mereka semua berjalan ke arah pintu keluar.
"Gak enak tapi habeeess ...." Ada suara yang berseru, membuat mereka menghentikan jalannya dan menengok ke arah suara tersebut.
"Mahal katanya. Wong gratis gitu kok mahal!" Suara lain lagi menyaut.
"Belagak kaya lu Bu-ibu, baru harga segini aja udah pada bilang mahal. Mahal apa gak punya duit? Huuuuuuuu!"
"HUUUUUUUUU!" Yang lain ikut menyorak.
Ibu-ibu itupun melanjutkan langkahnya dengan lebih cepat. Salah satu dari mereka bahkan sampai menutupi wajahnya.
Saat rombongan bulek sudah keluar, Bima menghadap kepada pengunjung yang lain, sambil menangkupkan tangannya di dada.
"Mohon maaf atas ketidaknyamanannya Bapak Ibu. Silahkan dilanjutkan santapannya."
Para pelayan keluar dari arah dapur dan membagikan jus alpukat untuk para pengunjung yang tersisa. Tadi ku orderkan jus sebagai kompensasi atas keributan yang terjadi.
Bima menatapku. Ku beri isyarat bahwa jus tadi inisiatifku.
"Bapak Ibu sekalian, mohon di nikmati jus alpukat untuk mendinginkan suasana akibat ketidaknyamanan tadi. Silahkan."
"Terima kasih ya, Mas."
"Makasih, Mas. Yang sabar ya, Mas."
Banyak terdengar ucapan terima kasih dari para tamu. Bima hanya tersenyum sambil menangkupkan tangannya di depan dada.
"Sabar ya, Anggi ...," kata Bima ke Anggi.
"Iya, Mas. Semoga gak ada lagi yang begitu ya, Mas."
"Kita hanya bisa berharap, Anggi." Rian hanya menyunggingkan senyuman tipis.
Anggi membereskan meja rombongan Bulek Darmi dengan cepat.
"Kok bisa ya Mas Rama yang baik, punya bibi kayak begitu, Mbak?" tanya Bima ketika menghampiri ku.
"Kalau gak gitu, gak akan ada Mas Rama yang seperti sekarang, Bim. Lagian Mbak gak nyangka lho kalau bakal dipungut lagi."
"Lah itu dia, Mbak. Kalau misal kami sepantaran, bakalan banyak tuh cacian dan hinaan yang akan ku keluarkan dari mulut ini, Mbak. Untung aja orang tua. Dan lebih untung lagi, bulek gak ingat kalau aku iparnya Mas Rama. Gimana kalau sampai dikait-kaitkan sama Mas Rama coba."
"Mbak kasihan ibu mertua sih, Bim. Udah selama ini diadu domba sama anak sendiri, sekarang namanya disangkut-sangkutkan kayak tadi gitu. Kalau nanti ada yang kenal Bulek dan Ibu tahu peristiwa tadi, Mbak takutnya jadi bahan adu domba lagi."
"Kan ada cctv, Mbak. Kalau dibuat ribut sama Bulek Darmi, tinggal Mbak kasih tunjuk yang sebenarnya aja, biar mereka tahu kelakuan Bulek gimana. Selama ini kan, Bu Tini tidak melihat langsung kelakuan adiknya."
Aku manggut-manggut. "Ya udah, yang penting kita tidak salah. Kamu juga tidak kurang ajar atau kasar kok tadi. Ayo kita selesaikan ini semua. Mbak pingin cepat pulang mau main sama anak-anak."
"Ah iya, Mbak. Memang anak-anak bisa menetralisir hawa jahat kok hahaha."
...****************...
Malam saat kami mau tidur seperti malam-malam biasanya, aku mengobrol dulu dengan Mas Rama. Kuceritakan kerusuhan yang disebabkan oleh Bulek Darmi tadi siang.
Mulut suamiku sampai menganga sangking tercengang.
"Masa sih, Yank? Kepikiran dari mana ya Bulek itu, sampai mengira restoran itu milik Ibu?"
"Gak tahu, Mas. Alana gak percaya kalau Ibu yang ngarang kebohongan ke Bulek. Pasti dia tahu kalau itu restoran kita, tapi, gak mau mengakuinya. Jadi ... yang dia sebut nama Ibu. Sekalian mau buat Ibu merasa bersalah, seperti soal penyebab kematian kakek."
Mas Rama geleng-geleng kepala. "Tapi, tadi Mas lihat wajah Bima biasa aja, ya."
"Ya memang biasa, kan resiko berurusan ama orang banyak ya begitu, Mas. Pasti ada resiko, ada yang bikin onar. Itulah gunanya ada cctv. Meski karyawan juga gak tahu posisinya, yang pasti aku tidak mau kalau ada masalah di resto dan toko, kita ada di pihak lemah karena tidak ada bukti. -- Mas mau lihat rekamannya? Alana sengaja siapkan buat jaga-jaga. Kita tidak tahu nanti Bulek akan berbuat apa lagi ke Ibu. Aku kasihan aja sama Ibu, Mas."
"Mana, Yank? Kayak gimana coba Bulek Darmi tadi?"
Aku mengeluarkan ponsel dan membuka rekaman cctv tadi. Kami lekas menonton bersama.
"Wow!" sorak Mas Rama. "Gak nyangka, Bulek sampai begitu. Ceritamu tadi sudah banyak diperhalus, Yank."
Aku terkekeh."Alana mana lah bisa cerita dengan meniru gaya Bulek, Mas."
"Itu lho, sampe munguti duit yang dibuang! Ya ampun Bulek-bulek ...."
"Di bagian itu, aku juga melongo di sana, Mas. Ku pikir Bulek akan menjaga gengsinya. Eh, tahunya diambilin dong. Untung Bima bisa mengambil sikap dengan bijaksana, tidak dikuasai emosi."
"Iya, untung Bima tidak emosi."
"Terus Alana bagi-bagi jus alpukat ke semua pengunjung yang ada, setelah Bulek pergi. Ya, itung-itung buang sial atas kedatangan rombongan huru hara itu."
"Berwarna sekali harimu ya, Yank. Gak kayak Mas. Seharian ini urusannya sama mesin dan barang-barang produksi. Rusuhnya, palingan mesin rusak atau barang cacat."
"Biar imbang, Mas. Kalau berwarna semua, dan dicampur malah jadinya hitam kan." Aku terkekeh.
"Ayok tidur, Mas. Jangan dipikirin yang tadi, biar tidak mimpi buruk."
"Iya, Mas sudah ngantuk juga. Selamat tidur, Istriku." Mas Rama mengecup kening dan bibirku.
"Selamat tidur, Suamiku." Aku memejamkan mata sambil tersenyum.
...****************...
Esoknya, kami beraktifitas seperti biasa. Bima pun sudah ke resto lebih pagi karena ada pesanan ruang meeting hari ini.
"Mas Zaki, nanti sekolah mau?" Ku tanya Zaki saat aku menemani anak-anakku bermain.
"Memangnya boleh, Bunda?" Zaki balik bertanya.
"Boleh dong. Malah harus sekolah setinggi-tingginya. Biar Mas Zaki jadi orang hebat."
"Mau, Bunda. Zaki mau sekolah. Tapi ...," air muka Zaki tiba-tiba sedih.
"Tapi kenapa? Kok Mas Zaki jadi sedih?"
"Kalau Mas Zaki sekolah, terus Dek Kia gimana, Bunda?" tanya Zaki dengan suara pelan.
Bian hanya melihat kami ganti-gantian. Bu Karto tersenyum sedih mendengar pertanyaan Zaki.
"Ya Dek Kia menunggu di rumah dong. Mana boleh Dek Kia ikut masuk kelasnya Mas Zaki."
"Apa gak kenapa-kenapa kalau Dek Kia di rumah sendirian? Kan, nanti gak ada Zaki yang bantu Bunda dan Nek Karto menjaga Dek Kia."
Ya ampun. Trauma Zaki yang ditinggalkan ibunya ini, masih ada rupanya. Aku lalai tidak konsultasi ke dokter mengenai ini.
"Ya gak apa-apa, Mas. Bunda dan Nek Karto tidak dibantu Mas Zaki, juga tidak apa-apa kok. Nanti kalau Mas Bian juga sekolah, Dek Kia main sama Bunda dan Nek Karto sendirian tidak apa-apa. Apa Mas Zaki tidak percaya sama Bunda dan Nek Karto, kalau kami sayang Dek Kia juga, hmm?" Ku tanya Zaki dengan lembut, sambil mengelus kepalanya.
Zaki langsung memelukku. "Maafkan Zaki, Bunda. Bukan tidak percaya. Cuma ... Zaki takut Bunda repot, nanti Zaki dan Dek Kia ditinggal lagi di taman ...."
Nah kan benar. Bu Karto tersenyum padaku.
"Mas Zaki tenang, ya. Bunda kan sudah menganggap Mas Zaki dan Dek Kia sebagai anak. Sama seperti Bian. Sekarang Bian jadi punya kakak dan adek. Iya kan, Bian ?" kata Bu Karto.
"Iya, Nek." Bian menganggukkan kepala. Entah dia paham atau tidak maksud kami.
Kia mengulurkan tangannya minta ku peluk seperti kakaknya. "Nda, peyuk, Nda."
"Bian juga."
"Ayo sini kita berpelukan," ajakku.
Zaki mengendurkan pelukannya dan menolehkan kepalanya ke arah Bian dan Kia. Akhirnya kami berpelukan berempat.
Saat kami berpelukan, terdengar suara ketukan pintu. Berakhirlah acara pelukan kami.
Bu karto lekas membukakan pintu.
"Na, sedang apa?"
"Eh, Mbak Raya. Tumben, Mbak. Ini sedang main peluk-pelukan sama anak-anak."
"Halo keponakan-keponakan Bude." Mbak Raya bergabung duduk di karpet bersama kami.
Anak-anak menghampirinya dan mencium punggung tangannya bergantian. Baru kali ini Mbak Raya ketemu langsung dengan Zaki dan Kia. Sebelumnya aku memperkenalkan mereka melalui video call saja.
"Gak kerja, Mbak? Kok tumben jam segini tidak di sekolahan."
"Ini baru balik dari sekolah. Langsung Mbak ke sini. Kan tidak kerja full, karena murid-murid habis terima rapor."
"Oh iya ya. Anak-anak belum ada yang sekolah sih. Jadinya aku gak tahu lagi musim apa di sekolahan." Aku terkekeh.
"Minggu kumpul di rumah Bapak yuk, Na. Kan ada Mas Raga juga sekarang. Lebih lengkap."
"Siap. Bawa seperti biasa ya?"
"Ho'oh. Palingan lebih banyak aja porsinya."
"Beres, Mbak."
"Na, restomu makin terkenal lho." Mbak Raya tersenyum penuh arti.
*
*
Bersambung .......
akhirnya ya rama 😭