Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terakhir Kalinya
"Kak, bisa minta tolong, tidak?" tanya Lalita kemudian pada Larisa.
"Apa?"
"Tolong katakan pada Erick untuk meng-handle pestanya sampai selesai. Badanku tiba-tiba saja terasa semakin tidak enak. Aku mau langsung beristirahat di rumah saja," ujar Lalita.
"Kamu mau pulang?" ulang Larisa sedikit terkejut.
"Iya. Aku kurang nyaman beristirahat di sini, mau langsung tidur di kamarku saja," sahut Lalita.
"Astaga, Lita. Bisa-bisanya kamu mau pulang dan tidur nyaman di kamarmu? Pesta ulang tahun pernikahanmu baru saja dimulai. Sekarang saja banyak yang menanyakan keberadaanmu. Apa kata orang-orang nanti kalau mereka tahu kamu ternyata pulang lebih dulu." Larisa kembali menggerutu.
"Aku benar-benar butuh istirahat, Kak. Tolong beritahu Erick. Biasanya dia akan langsung menerima, kan, kalau Kakak yang memberitahu," ujar Lalita lagi.
Larisa terdiam sejenak, merasa ada yang berbeda dari nada bicara Lalita saat ini.
"Apa maksudmu bilang begitu? Dia itu kan suamimu," ujar Larisa. Dia tak tahu jika di ujung telepon saat ini, Lalita kembali tersenyum miris untuk ke sekian kalinya.
"Pokoknya beritahu saja Erick. Katakan aku tidak bisa kembali ke pesta dan akan langsung pulang ke rumah. Nanti aku akan menghubungi Mama dan Papa juga," putus Lalita.
"Kamu ini benar-benar, ya. Tempo hari sibuk sendiri menyiapkan pesta sampai tidak ingat makan. Sekarang malah tidak semangat," omel Larisa.
"Maaf merepotkan Kakak," ujar Lalita sebelum akhirnya memutus panggilan telepon kakaknya itu.
Larisa kembali menghubungi, tapi Lalita tak menghiraukannya. Dia malah mengetik sebuah pesan yang memberitahukan jika dirinya tak bisa kembali ke pesta, lalu dikirimnya pesan tersebut kepada mama dan papanya.
Setelah itu, Lalita pun beranjak dari atas tempat tidur. Dimasukkannya kembali ponselnya ke dalam tas tangan yang dia bawa, lalu ditinggalkannya kamar hotel itu begitu saja. Dengan sangat hati-hati, dia menyelinap ke lobi hotel agar jangan sampai berpapasan dengan orang yang dikenalnya. Setelah itu, barulah dia memesan sebuah taksi online.
Tak menunggu lama, taksi yang dipesan oleh Lalita pun tiba. Perempuan itu akhirnya meninggalan hotel tersebut menuju ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, sesekali dia menghela nafas dalam, berusaha untuk meredam gemuruh di dadanya yang sejak tadi tak juga mau mereda.
Siapa sangka, Lalita akan pergi meninggalkan pesta yang telah dia persiapkan sendiri dengan sepenuh hati. Pesta yang awalnya penuh dengan kebahagiaan, namun berubah menjadi teramat penyakitkan. Sudah pasti setelah ini Lalita akan trauma dengan yang namanya ulang tahun pernikahan. Rasa sakit itu tentu akan terus menghantui setiap kali perempuan itu bersinggungan dengan setiap hal yang berhubungan dengan anniversary.
Lalita akhirnya tiba di rumah setelah menempuh perjalanan selama beberapa saat. Segera dia memasuki rumah yang selama dua tahun ini menjadi tempat tinggalnya bersama Erick itu. Rumah yang diberikan oleh Arfan sebagai hadiah pernikahan mereka.
Sejenak Lalita berdiri di aula rumah. Baru dia sadari juga suasana rumah tersebut begitu sepi dan hampa. Entah selama ini pikirannya yang terlampau positif atau dirinya yang sudah terlalu dibutakan oleh cinta, bisa-bisanya dia merasa bahagia menjalani kehidupan rumah tangga yang tak bisa disebut hangat itu. Ah, benar yang dikatakan oleh orang-orang jika terlalu cinta itu membuat seseorang menjadi bodoh.
Bergegas Lalita naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya. Dia langsung mengganti gaun pesta yang dikenakannya saat ini dengan pakaian yang lebih nyaman. Setelah itu, Lalita pun duduk di depan meja rias, menghapus make up yang melekat di wajahnya sembari kembali tenggelam dalam kesedihan yang seakan hendak menelannya bulat-bulat.
Brak! Pintu kamar Lalita tiba-tiba saja terbuka dengan kasar, membuat perempuan itu menoleh sembari memperlihatkan raut terkejut. Sesosok lelaki tampak berdiri di ambang pintu sembari menatap Lalita dengan nyalang. Siapa lagi kalau bukan Erick
"Apa yang kamu lakukan di sini? Tidak bisakah kamu berhenti bertindak semaunya saja?" tanya lelaki itu dengan nafas yang agak memburu.
Lalita tertegun sejenak. Dibandingkan dengan menanggapi ekspresi marah Erick saat ini, dia lebih merasa penasaran kenapa lelaki itu bisa berada di sini juga. Apakah Erick langsung menyusulnya pulang setelah Larisa memberitahukan prihal kepulangannya?
"Kenapa kamu di sini?" tanya Lalita.
"Kenapa aku di sini?" Erick mengulang pertanyaan istrinya itu.
"Maksudku, harusnya sekarang kamu tetap berada di pesta." Lalita bergumam.
"Kamu sendiri yang bersikeras untuk mengadakan pesta mewah itu. Harusnya kamu yang berada di sana, bukannya aku. Bisa-bisanya kamu meninggalkan pesta begitu saja dengan alasan tidak enak badan dan butuh istirahat. Apa kamu pikir semua hal di dunia ini bisa kamu anggap sebagai mainan?" tanya Erick tajam.
Lalita tak menjawab. Dia hanya menatap Erick dengan mulut terkunci. Sorot matanya terlihat begitu sendu dan penuh luka, tapi tentu saja hal itu bukanlah sesuatu yang perlu Erick khawatirkan.
Setelah dua tahun menikah, inilah kali pertama Erick berbicara cukup banyak pada Lalita. Namun sayangnya, kata-kata yang diucapkan lelaki itu bukanlah ucapan lembut yang menyejukkan, melainkan sebuah sindiran tajam yang begitu menusuk di hati. Kata-kata yang membuat Lalita semakin yakin jika memang tak pernah ada cinta untuknya selama ini.
"Aku memang tiba-tiba tidak enak badan, makanya langsung pulang," sahut Lalita akhirnya dengan nada datar.
"Dengan membuat orang tuamu panik dan berpikir yang tidak-tidak?" tanya Erick lagi.
Lalita tak langsung menjawab. Ditatapnya sekali lagi wajah Erick yang saat ini jelas terlihat sangat marah. Tak ada kekhawatiran yang Lalita lihat, yang ada malah ekspresi kesal. Mata lelaki itu bahkan memperlihatkan sorot kebencian yang selama ini tak pernah Lalita sadari sebelumnya.
"Kamu marah karena aku meninggalkan pesta atau karena Mama dan Papa memaksamu menyusulku kemari?" Lalita lalu melontarkan pertanyaan yang sarkas.
Kali ini Erick yang terdiam.
"Aku bilang kalau aku tiba-tiba tidak enak badan, tapi kamu tidak terlihat mengkhawatirkanku sedikit pun. Apa menurutmu, aku bersusah payah mempersiapkan sebuah pesta hanya untuk aku tinggalkan begitu saja, Erick?" tanya Lalita lagi.
Lagi-lagi Erick tak menjawab. Hanya matanya saja yang masih lurus menatap ke arah Lalita.
"Jika aku sampai pergi, itu artinya ada yang terjadi padaku dan aku sedang tidak baik-baik saja. Tapi kamu sepertinya benar-benar tidak mau tahu." Lalita menipiskan bibirnya dan tersenyum pahit.
"Aku tahu, ada banyak hal yang membuatmu tidak puas terhadapku. Tapi aku sungguh tidak menyangka kalau kamu tidak sedikit pun peduli padaku, Erick," ujar Lalita dengan mata yang kembali mengembun.
"Jangan khawatir, ini terakhir kalinya aku merepotkanmu. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Setelah ini, tidak akan mengusikmu lagi." Lalita bangkit dari duduknya, kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan Erick yang tampak masih termangu di tempatnya.
Bersambung ....