Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.
Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.
Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...
Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keajaiban Malam Itu
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Malam telah jatuh ketika Elara melangkah masuk ke rumah Aiden. Namun, dia mendadak berhenti di ambang pintu ruang makan. Matanya membelalak tak percaya. Meja makan besar yang biasanya sederhana kini dipenuhi dengan hidangan mewah. Lilin-lilin indah berpendar, menciptakan suasana hangat yang tak biasa. Elara berbalik ke arah Aiden, yang berdiri di belakangnya dengan senyum tenang.
“Apa ini?” tanyanya terkejut.
Aiden menjawab singkat dengan suara lembut. “Ini kejutan. Perayaan untuk kita semua.”
Ketika Elara menoleh kembali ke meja, ia terkejut lagi melihat ayah tirinya, Nate, duduk di kursi makan dengan wajah yang penuh senyum. Wajah Nate tampak lebih segar dari sebelumnya, tanpa bekas luka atau kelemahan akibat kondisinya yang kritis beberapa hari terakhir.
“Nate!” Elara berseru sambil berlari ke arahnya.
Nate tersenyum hangat dan meraih tangan Elara. “Aku sudah baik-baik saja sekarang, Ra. Semua berkat Aiden.”
Air mata kebahagiaan membasahi pipi Elara. Dia berbalik menatap Aiden dengan penuh syukur. “Terima kasih, Aiden. Terima kasih banyak…” katanya penuh antusias.
Aiden hanya mengangguk kecil. Ia terlihat canggung dengan luapan emosi Elara. “Kamu tidak perlu berterima kasih,” ujarnya singkat, tapi nada suaranya mengisyaratkan ketulusan.
"Ayo kita rayakan..." lanjut Aiden memulai semuanya.
Hidangan untuk Semua
Mereka pun mulai menikmati hidangan yang telah disiapkan. Ada makanan khusus untuk manusia seperti Elara dan keluarganya, juga makanan istimewa untuk para vampir seperti Aiden dan Nate. Malam itu terasa begitu berbeda dari biasanya. Rumah Aiden yang dulu dingin, suram, dan hampir menyerupai makam kini dipenuhi tawa dan percakapan hangat.
Setelah beberapa saat, Nate menatap Aiden dengan serius. “Terima kasih atas semuanya. Aku berhutang banyak padamu, Aiden. Dan aku berjanji… saat perang Downfall terjadi, aku akan berada di pihakmu.”
Aiden terkejut, meski ia menyembunyikan ekspresinya. “Kenapa kau ingin membantuku, Nate? Bukankah Monvok adalah ayah kandungmu?”
Nate tersenyum pahit. “Ayahku… dia bukan seperti yang kamu bayangkan. Dulu, dia mengadu domba kami, membuatku kehilangan akal hingga… aku tak sadar telah membunuh Esta, istriku sendiri. Ibu dari Elara.” Suaranya bergetar saat menyebut nama istrinya yang telah tiada.
Ruangan seketika sunyi. Bahkan Elara, yang mendengar percakapan itu dari kejauhan, merasa dadanya sesak. Nate melanjutkan, “Ini adalah kesempatanku untuk menebus segalanya. Aku tidak akan membiarkan Monvok menang kali ini.”
Aiden memandang Nate dengan hormat. Meski ia tahu sulit mempercayai seorang vampir gelap, ia bisa melihat ketulusan di mata Nate. “Baiklah,” katanya. “Kita akan menghadapi Monvok bersama.”
Permainan Malam yang Seru
Di sisi lain ruangan, Elara, Kevin, dan Bibi Lena sedang menikmati anggur merah. Tawa mereka memenuhi sudut itu. Namun, suara tegas Nenek Mika segera memotong kesenangan Elara. “Cukup, Elara. Jangan terlalu banyak minum,” ujarnya sambil menarik lengan cucunya.
Elara tertawa kecil, merasa seperti anak kecil yang dimarahi. “Aku masih sadar, Nek. Aku tidak akan banyak meminum nya,” katanya sambil mengangguk patuh.
Namun, ia segera bangkit dan mengajak semua orang berkumpul. “Ayo, kita buat malam ini lebih seru!” serunya dengan penuh semangat.
Mereka semua duduk membentuk lingkaran di ruang tamu, mengikuti usul Elara. Permainan dimulai. Sebuah benda kecil sebuah bola kaca antik kini diedarkan dari satu orang ke yang lain sambil musik dimainkan. Ketika musik berhenti, permainan truth or dare dimulai.
Kevin terkena giliran pertama. Wajahnya langsung memerah. “Baiklah, aku pilih truth,” katanya dengan ragu.
Bibi Lena langsung tersenyum nakal. “Kevin, siapa orang yang diam-diam kamu sukai ?"
Semua orang tertawa riuh. Kevin memikirkan Queensera mitra kerja dari perusahaan Ethan, dan wajahnya semakin merah. Namun, ia tak menjawab dan hanya menggeleng malu.
Permainan terus berlanjut hingga semua orang tertawa sampai puas. Setelahnya, mereka memutuskan untuk berdansa. Musik lembut mengalun di ruangan itu, dan Aiden, yang biasanya enggan terlibat dalam acara semacam ini, akhirnya berdansa dengan Elara.
Dansanya Mereka
Saat tangan Aiden menyentuh pinggang Elara, dan tangan Elara bertumpu di pundak Aiden, keduanya saling bertukar pandang. Tidak ada kata-kata yang terucap, tetapi sesuatu di antara mereka terasa berbeda.
“Aiden,” Elara berbisik, nyaris tak terdengar.
“Ada apa?” tanya Aiden, suaranya serak.
“Terima kasih untuk semua ini,” jawab Elara sambil tersenyum. “Aku tidak pernah berpikir malam di rumah ini bisa sehangat ini.”
Aiden tak menjawab, hanya memandangnya dengan intens. Ia menyadari bahwa perasaannya terhadap Elara semakin kuat, meski ia berusaha menyangkalnya.
Malam semakin larut, dan tarian pun berakhir. Elara membantu Nenek Mika ke kamar sebelum beranjak ke kamarnya sendiri.
Anggur Merah dan Rahasia di Malam Hari
Namun, di tengah perjalanan, Elara melihat Kevin masih menikmati anggur merah di ruang makan. “Hei, kamu belum tidur?” tanyanya sambil duduk di sebelah Kevin.
“Aku tidak terlalu mengantuk,” jawab Kevin sambil tersenyum. “Kamu mau minum lagi?”
Elara mengangguk, dan mereka melanjutkan obrolan sambil meneguk anggur merah. Tanpa sadar, Elara mulai merasa kepalanya ringan. Gelak tawa mereka yang sebelumnya ceria kini mulai pelan. Hingga akhirnya Elara tak sadarkan diri.
Aiden, yang baru saja turun dari kamarnya, menemukan mereka berdua di ruang makan. Kevin tampak panik. “Dia mabuk,” katanya buru-buru.
Aiden mendekati Elara, yang sudah tak sanggup berdiri sendiri. Ia mengangkat tubuhnya dengan mudah. “Kau harus lebih bertanggung jawab, Kevin,” ucapnya dengan nada dingin sebelum pergi membawa Elara ke kamarnya.
Pengakuan Tak Terduga
Di dalam kamar, Aiden membaringkan Elara dengan hati-hati di tempat tidurnya. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang mungil. Namun, saat Aiden hendak pergi, tangan Elara tiba-tiba meraih lengannya.
“Aiden…” gumamnya dengan suara lemah.
Aiden menoleh. “Kau baik-baik saja?”
Elara tersenyum, matanya setengah terbuka. “Kau… sangat tampan.”
Aiden terpaku di tempat. Kata-kata itu sederhana, tetapi membawa efek besar pada dirinya.
“Dan… menggoda,” lanjut Elara sambil mengangkat tangannya dan menyentuh bibir Aiden dengan lembut.
Aiden merasa jantungnya berdebar, meski ia tahu seharusnya ia tak merasakan hal itu. Keheningan malam yang sepi seolah mendukung momen itu, membungkus mereka dalam keintiman yang tak terduga. Kehadiran Elara begitu memikat, aroma manis bercampur dengan hangatnya nafas yang perlahan mengisi udara di antara mereka.
Tangan Elara yang dingin masih menyentuh bibir Aiden dengan lembut, membuat pikirannya kabur antara logika dan keinginan yang tak terjelaskan. Dalam sekejap, ia menunduk, menyerah pada dorongan yang tak mampu ia lawan, dan mencium bibir Elara.
Saat bibir mereka bersentuhan, waktu seolah berhenti. Ciuman itu lembut, penuh kehangatan dan rasa yang asing bagi Aiden, seorang vampir yang telah lama terkunci dalam dinginnya kehampaan. Namun, di balik kesederhanaan itu, ada gelombang perasaan yang begitu kuat mengalir melalui dirinya.