🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#10
#10
Sejalan dengan puncak kesakitan Aldy, di sebuah Rumah Sakit Kota Yogyakarta, tangis putra pertama Hilda nyaring terdengar, lantunan rasa syukur Bu Ratih panjatkan, manakala menimang bayi tampan Hilda.
Rasa bungah bahagia seperti sedang menimang cucu sendiri.
“Cah bagus … Alhamdulillah … kenalkan ini Eyang Putri, jadilah anak yang sholeh, santun budi pekerti, sehat jiwa raga, serta anak yang membanggakan, kelak sayangi Ibumu, kasihi dia sepanjang hidupnya, dia sudah berjuang dan berusaha keras agar kamu bisa hadir dan terlahir di dunia dengan selamat.” Bisikan doa dan harapan itu, tulus terucap dari bibir Bu Ratih. Air matanya mengalir ketika memeluk bayi mungil tersebut.
Sementara Irfan? Ia hanya bisa terpaku menatap adegan haru yang tengah dimainkan oleh sang Ibunda, rasanya tak bisa mendefinisikan bagaimana perasaan hatinya.
Walau bukan terlahir dari anak kandung Bu Ratih, namun wanita tersebut langsung merasakan kasih sayang yang teramat sangat pada bayi mungil tersebut.
“Bapak, bayinya mau di perdengarkan adzan sekarang?” Tanya salah seorang bidan, mengira bahwa Irfan adalah Ayah kandung sang bayi.
“Eh … tapi … sa … saya …” Jawab Irfan gugup, ia bukan Ayah biologis bayi itu, bagaimana mungkin menjadi orang yang pertama yang mengumandangkan adzan di telinga bayi tersebut.
Di tengah kebingungan Irfan, Bu Ratih justru segera memindahkan bayi Hilda ke pelukan Irfan, “Bu …” Ucap Irfan memprotes perbuatan Ibunya.
“Biar cepet nular … ayo cepet, keburu bayinya menggigil.” Ujar Bu Ratih tanpa beban, seakan akan, bayi itu adalah cucu kandungnya, anak dari Irfan putra tunggalnya.
Mau atau tidak, akhirnya Irfan menatap wajah bayi mungil yang kini mencari kehangatan dalam dekapannya, kedua matanya yang bening, seakan menyeret dan membius Irfan, bayi itu begitu rapuh, bahkan tidak bisa merasakan pelukan Ayahnya, karena kedua orang tuanya telah berpisah.
Allahuakbar… Allahuakbar…
Allahuakbar… Allahuakbar…
Lantunan kalimat indah itu merdu mengalun pelan di telinga sang Bayi, keindahan kalimatnya mengalahkan kidung paling merdu di dunia.
Mendadak perasaan Irfan mulai mengharu biru, begitu hangat ketika telapak tangan mungil itu menyentuh pipinya, sementara telapak yang satunya menggenggam erat jari telunjuknya.
Rasa kasih sayang mendadak hadir, tak tahu darimana datangnya.
Gelombang dan dorongan untuk memeluk serta menjadi pelindung, tiba-tiba tertanam kuat dalam relung hatinya.
Mungkinkah ini jawaban dari doa-doa ibunya, yang menginginkan Hilda kembali menemukan pria baik yang akan menyayangi dan melindunginya?
.
.
Widya memandang wajah tenang Aldy yang kini sudah terpejam, setelah beberapa jam menahan rasa sakit.
Ia baru saja membersihkan handuk dan perlengkapan kompres suaminya, bahkan Aldy berkali kali mengganti pakaian, karena tubuhnya merasa tak nyaman.
“Ada apa denganmu, Mas?” Ujarnya lirih.
“Hilda!! … Hilda!! … Tunggu !!!” teriak Aldy dalam tidur nyenyaknya, ia menangis di sela nafasnya yang kian memburu, dan lagi-lagi tubuhnya berkeringat.
Melihat sang suami meneriakkan nama mantan istrinya, membuat Widya kesal, ia berlalu pergi meninggalkan kamar, hatinya sakit seperti kena tikaman sembilu, ia pikir Aldy sudah benar-benar melupakan mantan istrinya, tapi nyatanya … Aldy bahkan masih meneriakkan nama Hilda dalam tidurnya.
Banyak tanya berkeliaran dalam benaknya, apakah kesakitan Aldy tadi ada kaitannya dengan mantan istrinya, atau apakah benar Aldy hanya kebetulan sakit?
Sungguh tak bisa dibiarkan.
Merasa kini dialah satu-satunya yang harus Aldy cintai, membuat Widya tanpa sadar bersikap semakin tamak dari hari ke hari, apalagi sebentar lagi ada anak didalam pernikahannya. “Aku akan benar-benar menyingkirkan wanita mandul itu dari kehidupan kamu, Mas,” Gumam Widya yang kini mula mencari kontak seseorang dalam layar ponselnya.
.
.
Karena bayi Hilda lahir lebih awal dari waktu yang telah diperkirakan, maka dokter yang memeriksa kondisi bayi Hilda, menyarankan bayi tersebut untuk diawasi selama 3 x 24 jam di ruang intensif.
Bagi Hilda tak masalah, karena kini bayinya dinyatakan sehat, dan sudah diizinkan meninggalkan Rumah Sakit.
Hilda sangat bersyukur, karena selama menjalani perawatan pasca melahirkan, Bu Ratih tak pernah meninggalkannya. Wanita baik tersebut, bahkan merawatnya selayaknya anak kandung, membuat Hilda merasa tak enak dan serba salah.
Bahkan pada Irfan pun, Hilda merasa gak enak, putra Bu Ratih itu siap sedia seperti suami siaga bagi Hilda dan putranya. Membeli makan, membawakan baju ganti dari rumah, bahkan sesekali tampak tersenyum bahagia tatkala menimang putra Hilda. Namun ia pun tetap tahu posisinya, tak pernah berlama lama di ruang perawatan Hilda.
Sejumput rasa mulai menghinggapi perasaannya, bolehkah jika kini hatinya berharap? Tapi cepat-cepat Hilda menepis perasaan tersebut, karena kini saatnya kembali menata hidup barunya bersama bayi yang baru ia lahirkan, mencari tempat tinggal baru, dan juga membeli perabot baru untuk tempat tinggal baru mereka kelak.
Hilda memasukkan barang terakhir ke dalam tas, ia dan bayinya akan meninggalkan Rumah Sakit siang ini, karena Dokter sudah mengatakan bayinya sehat untuk bisa di bawa pulang.
Sreeeekk… terdengar suara pintu di geser oleh seseorang, “Ibu Hilda, kami butuh tanda tangan Suami anda.”
“Haruskah?”
“Iya Bu, itu aturan rumah sakit, tujuannya untuk memastikan ada yang bertanggung jawab atas keselamatan anda dan bayi anda.” jawab perawat sesuai job description pekerjaannya.
“Bagaimana jika pasien adalah seorang ibu tunggal?”
“Maka kami akan meminta perwakilan pihak keluarganya saja, tapi kan suami anda sering terlihat?”
“Tapi dia …” Hilda hendak menyanggah ucapan sang perawat, ketika sebuah suara tiba-tiba menyapa rungunya.
“Di bagian mana harus saya tanda tangan Sus…?”
Irfan kembali hadir bak Malaikat tak bersayap, membuat Hilda serba salah, namun tak sempat berkata-kata. Karena Irfan sudah berlalu pergi bersama sang perawat.
“Oh… Bapak nya sudah datang rupanya, silahkan ikuti saya, berkas-berkas istri dan bayi anda, ada di ruang perawat.”
Tak ingin berdiam diri, Hilda pun melangkah menyusul kepergian Irfan dan sang perawat.
“Tunggu!! Saya ikut.”
Melihat kehadiran Hilda, Irfan tersenyum kecil. “Seharusnya kamu tunggu saja di kamar.”
“Maaf, Mas, saya tidak ingin merepotkanmu lagi, beberapa hari ini sudah lebih dari cukup.”
Mereka berbicara dengan suara lirih.
“Tak perlu merasa sungkan, aku melakukannya karena Ibu, beliau sangat menyayangimu.” Jawab Irfan.
Keduanya dipersilahkan duduk oleh seorang perawat, ruangan itu berisi beberapa tempat tidur bayi, salah satunya adalah bayi Hilda.
Perawat menyodorkan beberapa dokumen milik Ammar, begitulah nama yang yang Hilda sematkan untuk sang putra. “Silahkan di periksa Pak, Bu… Ini Buku catatan Bayi nya, ini surat izin cuti kerja untuk Ibu, ini beberapa hasil laboratorium serta golongan darah Bayi, silahkan di cek dulu.”
Hilda menatap huruf yang menunjukkan golongan darah Ammar, sama seperti Ayahnya, walau Hilda benci mengakuinya.
Gilda hanya mengangguk, kemudian Irfan mengambil alih dokumen terakhir, yakni dokumen persetujuan meninggalkan Rumah Sakit.
“Silahkan dilunasi biaya persalinannya.”
Irfan hendak mengeluarkan Credit Card nya, namun Hilda cegah, “biar aku saja.”
Irfan mengangguk, ia cukup paham, dan mencoba menghormati keinginan Hilda.
Hilda menyodorkan Debit Card pemberian Aldy, yang berisi uang gono-gini perceraian mereka.
Namun masalah terjadi ketika Perawat mengatakan tak bisa mengakses kartu Debit tersebut, karena kartunya sudah di blokir.
“Gak mungkin Sus, saya yakin sekali itu tidak mungkin.” Hilda berusaha keras meyakinkan perawat, se jahat-jahat nya kepalsuan cinta Aldy, tak pernah sekalipun pria itu jahat soal pemberian nafkah. Hilda selalu menerima nominal fantastis kala masih menjadi istrinya, bahkan gono-gini nya pun sangat banyak, karena Hilda pernah memastikan sendiri isinya.
“Tapi mesin ini…”
“Sepertinya istri saya lupa Sus, kalau ATM nya butuh pergantian password secara berkala, karena itulah otomatis terblokir.” Jawab Irfan, tanpa tegang, seolah olah ia sudah berlatih.