Ello, seorang dokter pediatri yang masih berduka atas kehilangan kekasihnya yang hilang dalam sebuah kecelakaan, berusaha keras untuk move on. Namun, setiap kali ia mencoba membuka hati untuk wanita lain, keponakannya yang usil, Ziel, selalu berhasil menggagalkan rencananya karena masih percaya, Diana kekasih Ello masih hidup.
Namun, semua berubah ketika Ello menemukan Diandra, seorang gadis misterius mirip kekasihnya yang terluka di tepi pantai. Ziel memaksa Ello menikahinya. Saat Ello mulai jatuh cinta, kekasih Diandra dan ancaman dari masa lalu muncul.
Siapa Diandra? Apakah ia memiliki hubungan dengan mendiang kekasih Ello? Bagaimana akhir rumah tangga mereka?
Yuk, ikuti ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Sangat Khawatir
Diandra menggigit bibir bawahnya, ekspresinya berubah resah. "Aku hanya tahu bahwa instingku selalu memberitahuku untuk bertahan dan melawan. Tapi selebihnya... semua kabur," ucapnya pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
Ello menatap Diandra dengan campuran kekaguman dan keprihatinan. Ada sesuatu yang jelas di balik sosok perempuan ini, sesuatu yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. "Itu luar biasa... dan sekaligus menyedihkan," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Ia melanjutkan dengan suara yang lebih tegas, "Diandra, apa pun yang terjadi di masa lalumu, kita akan mencari tahu bersama. Tapi untuk sekarang, aku bersyukur kau ada di sini... dan aman."
Mata Diandra membesar sedikit, terkejut mendengar ketulusan dalam suara Ello. Namun, dia hanya tersenyum lelah, mengangguk pelan, sementara pikirannya masih berusaha merangkai kepingan memori yang tersebar.
Sementara itu, di dalam mobil hitam yang melaju dengan kecepatan sedang, dua pria berpakaian gelap duduk dengan ekspresi tegang. Salah satu dari mereka, yang duduk di kursi pengemudi, menggelengkan kepala seolah tak percaya.
"Aku yakin itu bukan Diana. Menurut informasi, Diana tidak bisa ilmu beladiri. Apalagi gaya bertarungnya... dia bahkan lebih lincah dan terlatih," gumam pria itu sambil sesekali melirik kaca spion untuk memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.
Pria di sebelahnya, berwajah tirus dengan bekas luka di pipi kiri, mengangguk setuju. "Iya, dia pasti Diandra, kembaran Diana yang dikabarkan ahli beladiri dan menggunakan senjata itu. Kita harus segera laporkan ini ke Tuan Brata. Dia perlu tahu secepatnya."
Sopir itu mendesah, jemarinya mengetuk-ngetuk setir. "Tapi kalau Diandra seberbahaya itu... ini berarti masalah kita jauh lebih besar dari yang kita kira."
Bekas luka di pipi pria itu bergerak saat ia tersenyum sinis. "Tuan Brata pasti tidak akan senang, tapi ini bisa jadi petunjuk penting. Wanita itu tidak boleh diremehkan."
Mobil melaju semakin cepat, membelah jalanan malam yang sepi. Dengan niat pasti para pria itu ingin menyampaikan kabar yang bisa mengubah segalanya.
***
Ello mendorong pintu depan rumah dengan perasaan campur aduk setelah kejadian yang baru saja mereka alami. Setelah beberapa langkah masuk ke dalam rumah, ia menoleh ke arah Diandra yang berjalan di sampingnya. "Kamu kembalilah ke kamar kamu dan bersihkan dirimu." Diandra mengangguk pelan. Sorot matanya sedikit lelah, namun ia tetap tersenyum tipis sebelum menghilang di lorong menuju kamarnya.
Ello melangkah masuk lebih dalam ke rumah besar itu, ia teringat tadi saat memasukkan mobilnya di garasi, ia melihat mobil kakak iparnya sudah terparkir di sana. Ingin memastikan keberadaan kakak iparnya, ia segera bertanya pada seorang pelayan yang sedang membawa nampan kosong menuju dapur.
"Bik, apakah Kak Zion sudah kembali?" tanya Ello dengan nada mendesak.
Pelayan itu mengangguk hormat sebelum menjawab, "Iya, Tuan Ello. Tuan Zion sedang duduk di gazebo belakang bersama Nyonya Elin."
"Makasih, Bik," ucap Ello, lalu tanpa ragu melangkah ke arah taman belakang. Suara burung malam dan gemericik air dari kolam di taman menemani langkahnya. Hatinya berdetak lebih cepat, memikirkan percakapan yang mungkin terjadi antara kakaknya dan Zion.
Setibanya di dekat gazebo, Ello melihat Zion dan Elin duduk berdampingan. Zion tampak memegang cangkir, sementara Elin memeluk lengan Zion, menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Ello menghentikan langkahnya sejenak, merasa tak enak hati menganggu kebersamaan kakak dan kakak iparnya, namun ia harus memberitahu mereka tentang apa yang telah terjadi tadi. Ia mengambil napas dalam-dalam, dan bersiap untuk menyapa mereka.
Ello melangkah mendekat ke gazebo, berusaha menampakkan senyum meski dalam hatinya masih terasa bergetar. "Kak, Kakak ipar," sapanya dengan suara yang berusaha stabil.
Zion memandangnya dengan tatapan penuh selidik, sementara Elin mengernyitkan dahi, memperhatikan kekhawatiran yang terpancar di wajah Ello. "Kau terlihat cemas, Ello," kata Elin, nada suaranya lembut namun penuh perhatian. "Ada apa? Apa yang terjadi?"
"Duduklah! Ceritakan apa yang terjadi!" ucap Zion tanpa mengalihkan tatapan matanya dari adik iparnya. Seolah dari menatap raut wajah Ello, pria itu sudah bisa membaca ada yang tidak beres.
Ello tersenyum kecut, samar. Ia tak bisa menyembunyikan perasaannya pada kedua kakaknya. Ia menghela napas, berusaha mengumpulkan kata-katanya. "Tadi… di jalan, ada beberapa pria yang menghalangi mobil kami," katanya, berusaha terdengar tenang. "mereka menginginkan Diandra. Kami berkelahi dengan para pria itu."
Zion terkejut. "Berkelahi? Kenapa tidak memberi tahu kami lebih awal?" suaranya agak meninggi, mengekspresikan kekhawatiran yang mendalam. "Apakah kalian baik-baik saja?"
Elin meraih tangan Ello dengan lembut, menatapnya dalam-dalam. "Kau tidak terluka, 'kan? Kami khawatir mendengar ini."
Ello menggelengkan kepala, berusaha menenangkan mereka. "Kami baik-baik saja, tetapi situasi itu membuatku sedikit takut, karena mereka membawa senjata api," jawabnya, kemudian menambahkan, "Diandra benar-benar tangguh. Dia bisa mengatasi semuanya, bahkan bisa merebut senjata api mereka dan menembak salah satu dia antara mereka tanpa keraguan, seolah sudah terlatih memakai senjata api."
Zion dan Elin saling bertukar pandang, keduanya merasakan kelegaan namun juga rasa ingin tahu yang mendalam. "Siapa sebenarnya Diandra?" tanya Zion, nada suaranya lebih tenang. "Sejak melihatnya, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam tentang dirinya. Dan kenapa orang-orang itu mencarinya?"
Ello mengerutkan kening, menyadari bahwa pertanyaannya pun belum sepenuhnya terjawab. "Aku juga belum tahu pasti, Kak. Ada sesuatu yang aneh tentang dia, seolah dia menyimpan banyak rahasia."
Elin menatap Ello, ada kekhawatiran di matanya. "Kau harus berhati-hati, Ello. Mungkin ada lebih banyak yang terlibat di sini daripada yang kita ketahui."
Ello mengangguk, merasakan beratnya situasi yang baru saja mereka alami. "Aku akan berhati-hati, tapi aku tidak bisa tidak khawatir tentang Diandra," ujarnya, kemudian menatap ke arah taman, memikirkan gadis yang telah menyelamatkan mereka.
"Jangan khawatir. Aku akan menyelidiki semuanya dan mencari tahu motif orang-orang itu mencarinya." ujar Zion terlihat tenang, tapi serius.
***
Dua orang anak buah Brata yang tadi berkelahi dengan Diandra, memasuki ruangan gelap tempat Brata menunggu. Suasana tegang menyelimuti mereka, dan langkah kaki mereka terdengar menggema di dinding. Brata duduk di kursi besar, menatap jendela dengan ekspresi marah yang jelas tergambar di wajahnya.
“Mengapa kalian terlambat?” tanya Brata, suaranya serak dan penuh tekanan. “Kau tahu betapa pentingnya misi ini!”
Pria dengan bekas luka di pipinya menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar. “Tuan, kami… kami gagal,” katanya, suaranya bergetar. “mereka melawan. Wanita itu ... dia sangat terampil berkelahi.”
“Terampil berkelahi?” Brata nampak terkejut, matanya mendelik tajam, membuat kedua anak buahnya semakin tegang. “Kalian yakin wajah wanita itu mirip Diana?”
Pria dengan tato di lengannya menganggukkan kepala. “Iya, Tuan. Wajahnya seperti Diana, hanya rambutnya saja yang tidak panjang seperti Diana. Dia benar-benar mahir dalam beladiri. Kami tak menyangka dia sekuat itu.”
“Diandra?” Brata mencengkeram meja dengan erat, suaranya semakin menekan. “Jadi, gadis yang dilindungi keluarga Mahendra itu kemungkinan besar adalah Diandra?”
“Ya, Tuan. KamI juga berpikir demikian.” Pria dengan bekas luka di pipi mengonfirmasi, wajahnya semakin pucat. “Dia bahkan mengalahkan kami dengan mudah dan merebut senjata api kami, menembak salah satu dari kami tanpa ragu. Kami tidak bisa melakukan apa-apa. Kami tidak punya pilihan selain mundur.”
"Brakk!"
Brata berdiri dengan marah, menggebrak meja dengan kepalan tangannya membuat anak buahnya terkejut. "Sial! Jadi gadis itu sudah sampai di sini? Bahkan berlindung di keluarga Mahendra?" Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan amarahnya. “Diandra bukan sekadar gadis biasa, dia sangat terlatih. Dia bisa menjadi ancaman besar bagi rencana kita.”
Brata memandangi mereka sejenak, merasakan kemarahan yang masih terpendam. “Aku tak mau tahu. Cari cara untuk menangkap gadis itu. Cepat, lakukan pekerjaan kalian! Kalian tahu konsekuensi jika kalian gagal lagi, bukan?" titahnya dengan nada mengancam.
"Baik, Tuan," ucap dua orang itu serempak.
Ketika mereka berbalik untuk pergi, suasana di ruangan itu tetap tegang, dan setiap langkah mereka terasa berat di atas harapan Brata untuk menyelesaikan rencananya. "Sial!" umpat Brata terlihat sangat khawatir setelah mendengar kehadiran Diandra.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued