Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Silent Confrontation
Chandra duduk di kursi kulit mewah di belakang meja besar berlapis kayu, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme pelan tetapi pasti. Suasana ruangannya dingin, penuh ketenangan yang menyesatkan.
Namun, di balik semua ketenangan itu, kemarahan Chandra mendidih.
“Awan Priadi,” gumamnya, suaranya dalam dan terkontrol. Nama itu sekarang menjadi ancaman bagi ketenangan rumah tangganya.
Sekretarisnya, Kevin, masuk tanpa suara dengan setumpuk dokumen. “Tuan Chandra, laporan yang Anda minta.”
Chandra hanya mengangguk, tetapi matanya menatap Kevin dengan intensitas yang membuat pria itu hampir terpeleset saat mundur. Kevin tahu betul kapan bosnya sedang berada dalam suasana hati yang berbahaya.
Saat Kevin pergi, Chandra mengambil ponselnya dan menekan nomor Shabiya. Ia menunggu beberapa detik sebelum istrinya menjawab dengan suara tenang namun sedikit tergesa.
“Chandra,” sapanya singkat.
“Kau ada di mana?” Suaranya dingin, tetapi ada ketenangan yang berbahaya di baliknya.
“Aku sedang menyelesaikan urusan dengan klien.” Shabiya berusaha terdengar santai, meskipun rasa bersalah mulai mengusik pikirannya.
“Klien apa?” desaknya, suaranya tidak naik, namun tekanan dalam nada bicaranya jelas.
Shabiya mendesah panjang. Ia tahu tidak ada gunanya mencoba berbohong pada Chandra. “Aku bertemu Erika.”
Ada jeda panjang di ujung telepon sebelum Chandra akhirnya menjawab, “Kau bertemu dengannya, meskipun aku sudah memintamu untuk tidak melibatkan diri dalam masalah ini?”
“Aku punya alasan,” balas Shabiya, mencoba mempertahankan ketenangannya.
“Dan alasan itu cukup penting untuk melanggar permintaanku?” Suaranya tetap tenang, tetapi ketegangan di balik kata-katanya membuat jantung Shabiya berdebar lebih kencang.
“Chandra, aku bukan anak kecil yang harus kau atur setiap langkahnya. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Nada keras kepala dalam suaranya tidak bisa disembunyikan.
“Tentu saja kau bisa,” jawab Chandra, hampir terdengar seperti ejekan. “Tapi itu tidak berarti kau harus melibatkan dirimu dalam masalah yang bisa membahayakanmu.”
***
Sore itu, Shabiya pulang lebih awal, berharap bisa menghindari konfrontasi dengan suaminya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok Chandra berdiri di dekat mobil hitamnya yang diparkir di depan lobi.
Chandra berdiri tegap, mengenakan setelan gelap yang rapi dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dibaca. Tatapan matanya tajam, memerhatikan setiap gerakan Shabiya. Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan. Hanya kehadirannya yang cukup membuat suasana menjadi tegang.
"Chandra," gumam Shabiya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah mendekat, mencoba menjaga ketenangannya meskipun ia tahu pertemuan ini tidak akan berlangsung mulus.
“Mari kita bicara,” ucapnya, nada suaranya tegas namun tidak meninggalkan ruang untuk debat.
Tanpa banyak kata, Chandra membuka pintu mobil untuknya. Gesturnya sopan, tetapi dingin. "Masuk," katanya singkat, dengan nada yang membuat Shabiya tahu bahwa tidak ada ruang untuk penolakan.
Shabiya menghela napas, lalu masuk ke dalam mobil. Chandra menyusul dan duduk di kursi pengemudi. Setelah pintu tertutup, keheningan yang berat menyelimuti ruang sempit itu.
Chandra menghidupkan mesin mobil, tetapi tidak segera melajukannya. Sebaliknya, ia memutar tubuhnya sedikit untuk menatap Shabiya.
“Kau tahu, aku tidak suka menunggumu di sini,” katanya akhirnya, suaranya datar tetapi sarat dengan tekanan yang membuat Shabiya merasa seperti diinterogasi.
“Aku tidak meminta untuk dijemput,” balas Shabiya dengan nada defensif.
Chandra mengangkat satu alis. “Karena aku tahu kau tidak akan memintanya. Itu sebabnya aku datang sendiri.”
Shabiya memutar matanya dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, mencoba mengabaikan tatapan tajam suaminya. “Aku tidak butuh pengawalan setiap kali aku bertemu seseorang, Chandra. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
Chandra tersenyum kecil, senyuman dingin yang tidak mencapai matanya. “Kau sudah menyebutkan itu beberapa kali. Tapi aku akan terus memastikan bahwa kau aman, terlepas dari seberapa keras kau mencoba meyakinkanku sebaliknya.”
“Kau terlalu berlebihan,” kata Shabiya, menatap lurus ke depan. “Erika tidak berbahaya. Dia hanya—”
“—seorang wanita yang tidak tahu kapan harus menyerah,” potong Chandra, suaranya masih tenang tetapi semakin dingin. “Dan kau, Shabiya, seharusnya tidak memberinya celah sedikit pun. Itu termasuk menerima pertemuan dengannya, apa pun alasannya.”
Shabiya menghadap ke arahnya, tatapannya penuh amarah. “Aku pergi ke sana untuk urusan alasan pekerjaan, dan aku tipikal seseorang yang profesional. Aku tidak tahu kalau klien yang dimaksud adalah Erika.”
“Dan setelah kau tahu?” Chandra menatapnya dengan intensitas yang membuatnya hampir mundur. “Kau tetap memutuskan untuk duduk dan mendengarnya. Kau memberinya waktu dan perhatianmu, yang seharusnya tidak dia dapatkan.”
“Aku punya hak untuk memutuskan sendiri apa yang penting bagiku!” seru Shabiya.
Chandra hanya menatapnya, matanya gelap dan penuh perhitungan. “Dan aku punya hak untuk melindungimu, meskipun itu berarti melindungimu dari keputusanmu sendiri.”
Keduanya saling diam, ruangan mobil terasa lebih sempit dengan ketegangan yang menggantung di udara.
***
Chandra akhirnya melajukan mobilnya, tangannya memegang kemudi dengan kekuatan yang terkendali. Keheningan di antara mereka lebih berbicara daripada kata-kata apa pun.
Shabiya, yang biasanya tidak mudah menyerah, kali ini memilih untuk mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia tahu bahwa berdebat dengan Chandra saat ini hanya akan membuat situasi semakin buruk.
Suasana dalam mobil terasa tegang, seperti senar biola yang terlalu kencang. Diam-diam, Shabiya melirik Chandra yang sedang mengemudi. Wajahnya tetap tenang, tetapi setiap tarikan napasnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang ditahan.
Shabiya tahu bahwa ia telah melanggar beberapa aturan tak tertulis dalam hubungan mereka, aturan yang tidak pernah ia setujui tetapi Chandra dengan tegas menjalankannya. Namun, ia bukan tipe wanita yang akan meminta maaf tanpa perlawanan.
Keheningan hanya diisi dengan suara lembut dari mesin mobil. Akhirnya, Shabiya yang pertama berbicara, mencoba memecahkan ketegangan meskipun ia tahu hasilnya mungkin tidak akan memuaskan.
"Kenapa kau bisa tahu kalau aku tidak ada di rumah?" tanyanya, suaranya terdengar lebih tajam daripada yang ia maksudkan.
Chandra menggeser pandangannya sedikit ke arahnya, hanya untuk memastikan ekspresinya, sebelum kembali fokus ke jalan. Rahangnya mengencang.
“Kenapa kau tidak bisa diam saja di rumah, dan beristirahat sehari saja?” balasnya, nadanya dingin namun menyindir.
Shabiya mendesah keras. “Karena aku bukan tipe wanita yang betah berlama-lama di rumah, berpangku tangan, menunggu suamiku pulang kerja. Kau tahu itu sejak awal.”
Chandra menekan rem perlahan saat mereka mendekati lampu merah. Ia menoleh padanya dengan pandangan yang membuat udara di dalam mobil terasa lebih dingin. “Itu tidak akan membosankan saat kita punya anak nanti.”
Kata-katanya membuat dada Shabiya berdenyut aneh. Ingatannya melayang pada malam sebelumnya, saat ia dan Chandra tenggelam dalam gairah yang intens. Tanpa pengaman. Sebuah kemungkinan yang tidak ingin ia pikirkan kini memenuhi kepalanya.
Namun, Shabiya mengalihkan pikirannya dengan cepat. “Jadi,” katanya dengan nada lebih santai, “bagaimana kau bisa tahu aku keluar rumah, atau lebih tepatnya makan siang di luar hari ini?”
Chandra mendengus pelan, nada yang hampir seperti tawa sinis. “Aku mencoba menghubungimu. Beberapa kali.”
Shabiya mengerutkan kening. Ia mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Chandra. Ia tidak menyadarinya tadi karena terlalu sibuk melawan Erika secara emosional.
“Ponselku di tas,” katanya pelan, merasa sedikit bersalah.
Chandra mengangguk tipis. “Tentu saja. Jadi, aku menelepon Rosa.”
“Rosa?”
“Ya,” jawabnya datar. “Rosa bilang kau pergi bekerja dan makan siang dengan seorang klien. Aku juga bertanya apakah kau menghabiskan sarapanmu. Dia bilang, kau tidak menyentuh sayuran, buah, dan jus yang aku siapkan untukmu.”
Shabiya terdiam, merasa tertangkap basah. “Aku tidak suka makanannya, kau tahu itu,” gumamnya, mencoba terdengar tak acuh.
Chandra menghela napas panjang, lalu menambahkan, “Aku lalu menelepon sekretarismu, Kania.”
“Sekretarisku?” Shabiya membelalakkan mata.
Nada sarkastik Chandra membuat Shabiya merasa sedikit tidak nyaman. Ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang Erika. Ada lebih dari itu.
“Aku tidak tahu Erika adalah kliennya. Aku—”
“Dan itu membuatku semakin kesal, Shabiya,” potong Chandra. Matanya masih fokus ke jalan, tetapi suaranya penuh ketegasan yang membuat Shabiya hampir tidak bisa membantah. “Kau keluar rumah tanpa memberitahuku. Kau bertemu seseorang yang kau tahu berpotensi menjadi masalah. Dan kau melakukannya saat aku sudah jelas-jelas meminta kau untuk istirahat.”
“Aku baik-baik saja, Chandra,” jawab Shabiya, nadanya meninggi.
“Bukan itu intinya,” balas Chandra, dengan nada suara yang lebih rendah tetapi lebih menekan. “Intinya adalah kau tidak memikirkan dampak dari tindakanmu. Erika ingin menghancurkan kita. Dia akan menggunakan setiap celah yang kau berikan untuk melakukannya. Dan aku tidak akan membiarkannya.”
Shabiya terdiam. Kata-kata Chandra memang benar, tetapi sifat dominannya membuatnya merasa terpojok. Ia benci diatur, terutama oleh seorang pria, bahkan suaminya sendiri.
“Ini hanya makan siang,” gumamnya pelan, mencoba membela diri.
Chandra tersenyum kecil, senyuman yang tidak membawa kehangatan. “Makan siang sederhana bisa menjadi awal dari perang besar, Shabiya. Kau cukup pintar untuk tahu itu.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Hanya suara hujan ringan yang mulai turun di luar yang terdengar.
Ketika mereka mendekati rumah, Shabiya memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebatan. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa masalah ini belum selesai. Chandra mungkin terlihat tenang, tetapi ada badai yang berputar di dalam dirinya. Dan ia tahu, badai itu bukan hanya karena Erika, tetapi juga karena trauma masa lalunya.
Sementara itu, di kursi pengemudi, Chandra menggenggam setir lebih erat. Di balik eksteriornya yang tenang, ada rasa takut yang dalam, takut kehilangan wanita yang kini menjadi pusat dunianya.
***
Di sisi lain kota, Erika duduk di sebuah apartemen mewah yang dibiayai Awan. Ia tersenyum sinis saat menatap layar ponselnya.
“Pertemuan yang menarik,” gumamnya, mengingat tatapan marah Shabiya. “Tapi aku belum selesai.”
Ia membuka ponselnya dan mengetik pesan cepat kepada seseorang.
“Waktunya untuk langkah berikutnya. Pastikan Chandra tahu bahwa aku tidak akan menyerah semudah itu.”
Ia tersenyum puas, dalam pikirannya, pertempuran ini baru saja dimulai, dan ia tidak berniat kalah.
***