Samuel, pria berusia 38 tahun, memilih hidup melajang bertahun-tahun hanya demi satu tujuan—menjadikan Angelina, gadis 19 tahun yang selama ini ia nantikan, sebagai pendamping hidupnya. Setelah lama menunggu, kini waktu yang dinantikannya tiba. Namun, harapan Samuel hancur saat Angelina menolak cintanya mentah-mentah, merasa Samuel terlalu tua baginya. Tak terima dengan penolakan itu, Samuel mengambil jalan pintas. Diam-diam, ia menyogok orang tua Angelina untuk menikahkannya dengan paksa pada gadis itu. Kini, Angelina terperangkap dalam pernikahan yang tak diinginkannya, sementara Samuel terus berusaha memenangkan hatinya dengan segala cara. Tapi, dapatkah cinta tumbuh dari paksaaan, atau justru perasaan Angelina akan tetap beku terhadap Samuel selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kak Rinn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pernikahan yang tak kuinginkan
Hari yang dinanti telah tiba. Dirumah Angelina terpasang tenda pernikahan yang begitu megah, orang tua Angelina sangat senang, tak perlu mengeluarkan biaya sedikitpun, apalagi ketika mereka mendapatkan uang tip karena telah membantu Samuel.
Sementara Angelina menangis berkali-kali di ruang make up membuat MUA resah karena makeupnya berantakan setiap kali air mata Angelina jatuh. Berkali-kali sang MUA mencoba menenangkan dan memperbaiki riasannya, namun Angelina tak mampu menahan kesedihannya. Setiap lapisan bedak yang dipoles terasa seperti pengikat rantai yang semakin mengikat hidupnya.
Di luar kamar, terdengar suara tawa dan obrolan riuh para tamu yang mulai berdatangan. Orang tuanya menyambut mereka dengan wajah penuh kebanggaan, seolah pernikahan ini adalah pencapaian besar dalam hidup mereka.
Angelina hanya bisa menatap dirinya di cermin, wajah yang dihiasi riasan pengantin terasa asing. Dalam hati, ia bertanya-tanya bagaimana ia bisa menjalani kehidupan yang terasa seperti penjara ini, sementara di luar sana, semua orang merayakan tanpa tahu apa yang ia rasakan di dalam.
"Nona tolong berhenti menangis, kami sudah 8 jam menghabiskan waktu untuk merias wajahmu," ujar sang MUA dengan nada lembut,
"Kita harus segera siap-siap sebelum tamu mulai bertanya-tanya."
Angelina mengusap air mata yang tersisa di pipinya. "Maaf," katanya pelan. "Aku hanya… tidak bisa percaya ini akan terjadi."
MUA itu tersenyum simpatik. "Aku mengerti. Tapi ingat, ini hari spesialmu. Cobalah untuk menikmatinya, meski tidak seperti yang kamu inginkan."
Angelina menatap cermin, melihat bayangan dirinya yang seharusnya berseri-seri, tetapi di hatinya, hanya ada kekosongan. “Bagaimana mungkin aku menikmati sesuatu yang tidak aku inginkan?” pikirnya.
Pada akhirnya para MUA berhasil merias Angelina dengan sempurna. Wajahnya yang cantik kini dihiasi riasan yang glamor, meski di balik itu semua, hati Angelina tetap terasa berat. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum keluar.
"Siap, Nona? Waktunya untuk menuju altar," kata MUA sambil tersenyum, berusaha memberikan semangat.
Angelina mengangguk pelan, meski rasa cemas masih menggelayuti pikirannya. Ketika ia melangkah keluar dari ruang make-up, sorotan mata para tamu yang sudah berkumpul di ruang pernikahan langsung mengarah kepadanya.
Sementara Samuel yang menunggu terpesona oleh penampilan Angelina yang anggun. Ketika dia melihatnya melangkah dengan gaun putih yang indah, hatinya berdebar penuh kebanggaan. Samuel merasa seolah semua pengorbanannya selama ini terbayar lunas, dan inilah saat yang dia tunggu.
Senyum lebar menghiasi wajahnya saat Angelina mendekat. "Dia memang cantik," pikirnya.
Ketika Angelina tiba di hadapannya, pandangan mereka bertemu. Meskipun ada ketegangan di udara, Samuel merasa percaya diri. Dia mengulurkan tangan, berusaha memberikan ketenangan dalam momen yang canggung itu.
"Kau sangat cantik," bisiknya, berusaha menghibur Angelina.
Kemudian penghulu memulai upacara, suara formalnya memecah keheningan yang mendalam. "Saudara-saudara yang terhormat, kita berkumpul di sini untuk merayakan pernikahan antara Samuel dan Angelina."
Angelina merasa jantungnya berdebar kencang. Kata-kata penghulu terasa membebani, dan ia berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di matanya. Saat penghulu melanjutkan, ia merasakan tatapan penuh harap dari Samuel dan para tamu. Momen ini harusnya menjadi bahagia, tetapi hatinya tetap terasa kosong.
“Apakah kamu, Samuel, bersedia menerima Angelina sebagai istri?” tanya penghulu.
“Ya, saya bersedia,” jawab Samuel penuh keyakinan, dengan senyum yang tampak tulus.
Kemudian, penghulu beralih ke Angelina. “Dan apakah kamu, Angelina, bersedia menerima Samuel sebagai suami?”
Angelina menatap ke bawah, berusaha mencari kekuatan dalam dirinya. "Aku..."
...
"Lanjut saja untuk waktu berciuman! Aku tahu putriku sangat bahagia!" tiba-tiba ibunya berseru, suaranya penuh semangat. Semua orang di ruangan itu tertawa, mencairkan suasana yang tegang. Namun, bagi Angelina, ucapan ibunya seperti palu yang menghantam kepalanya.
Ia merasa terjebak dalam situasi yang tak diinginkan. Saat Samuel mendekat, senyum puas di wajahnya membuatnya semakin merasa tertekan.
“Cium saja, Angelina,” desak ibunya.
Angelina merasakan ketidaknyamanan yang mencekam, tetapi ia tahu bahwa semua mata tertuju padanya. Dengan terpaksa, ia mendekatkan wajahnya ke Samuel. Ciuman itu, meskipun singkat, terasa berat di hatinya, seolah semua harapan dan mimpinya terbang bersama hembusan angin.
Setelah ciuman itu, penghulupun melanjutkan, "Dengan ini, saya menyatakan kalian suami istri."
"!!!!!"
Angelina merasakan dunia seakan berputar, saat semua sorakan dan tepuk tangan menggema di telinganya.
**
Usai pernikahan, Angelina langsung dibawa pergi oleh Samuel ke mansionnya. Saat tiba di tempat, Angelina langsung melemparkan koper dan membentak Samuel.
"APA YANG SEBENARNYA KAU LAKUKAN PADA AYAH DAN IBUKU!? SEHINGGA MEREKA MEMAKSAKU UNTUK MENIKAH DENGANMU!?"
Samuel terkejut dengan kemarahan Angelina. Ia tidak mengira istrinya akan meledak seperti itu di depan pintu megah mansion. "Angelina, tenanglah. Aku hanya—"
"TENANG?!" Angelina memotong dengan suara keras, wajahnya memerah karena marah. "Kau membuat mereka berpikir bahwa menikahiku adalah hal yang baik! Kau menyogok mereka! Apa kau pikir aku tidak tahu?!"
Samuel menatap Angelina dengan penuh kesedihan. "Aku tidak menyogok mereka, aku hanya… ingin membuat mereka melihat bahwa kita cocok. Aku mencintaimu, Angelina. Aku berusaha untuk membahagiakan kita berdua."
Angelina menggelengkan kepalanya, air mata mulai menggenang di matanya. "Ini bukan cinta! Ini pemaksaan! Aku tidak mencintaimu, dan aku tidak ingin berada di sini!"
"Kalau begitu, apa yang kau inginkan?" tanya Samuel, frustrasi mulai terlihat di wajahnya. "Kau tidak bisa melarikan diri dari sini. Kita sudah menikah."
Angelina terdiam, berusaha menahan air matanya. "Aku ingin hidupku kembali! Aku ingin memilih jalan hidupku sendiri!"
Samuel menghela napas sabar, hatinya berdenyut kembali, seharusnya pengantin baru menikmati malam pertama mereka tetapi yang didapatkan Samuel hanyalah ketegangan dan kemarahan dari Angelina.
"Aku mengerti bahwa ini semua sulit untukmu," katanya dengan lembut, berusaha menurunkan nada suaranya. "Tapi aku tidak berniat menyakitimu. Aku hanya ingin kita membangun sesuatu bersama."
Angelina menatapnya, mencerminkan ketidakpercayaan dan rasa sakit. "Membangun apa? Sebuah penjara dengan biaya yang tak pernah aku pilih?"
Samuel merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. "Kau masih bisa memilih, Angelina. Kita bisa memulai dari awal. Beri aku kesempatan untuk menunjukkan bahwa aku bisa menjadi suami yang baik untukmu."
"Kesempatan?" Angelina tertawa pahit. "Apa yang bisa kau lakukan untuk mengubah semua ini? Aku terjebak dalam situasi ini tanpa pilihan!"
Samuel mendekat, berusaha meraih tangan Angelina. "Malam ini adalah malam kita. Aku ingin kamu merasa nyaman. Kita bisa berbicara, mengenal satu sama lain. Cobalah untuk tidak melihatku sebagai musuhmu."
Angelina mengabaikan tawarannya, berbalik dan berjalan menjauh. "Malam pertama? Hanya ada satu hal yang ingin aku lakukan: melarikan diri dari sini!"