Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 26 — Menuju Katherine Rundell Part 2 —
Setelah momen hening dalam beberapa saat, Eirene memecah keheningan dengan nada ceria. “Kau tahu, Hayato, kalau kau terus terlihat serius seperti itu, aku bisa salah sangka kalau kau sedang memikirkan sesuatu yang penting.”
Aku mengangkat alis. “Memangnya aku tidak sedang memikirkan sesuatu yang penting?”
Eirene tertawa kecil. “Aku yakin, kau sedang memikirkan betapa lelahnya dirimu dan bagaimana kau ingin makan sesuatu yang enak.”
Aku mendengus, mencoba menahan tawa. “Kau tidak salah.”
Ia mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Tapi serius, kau harus lebih santai. Kalau kau terus tegang seperti ini, aku yang akan stres melihatmu.”
Aku menatapnya, merasa aneh mendengar ia berkata seperti itu. “Kau yang seharusnya stres. Kau ikut bersamaku ke perjalanan yang penuh bahaya ini tanpa alasan yang jelas.”
Eirene tersenyum, matanya menatap nyala api. “Alasannya jelas, Hayato. Aku percaya padamu. Itu sudah cukup bagiku.”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Kata-katanya terasa tulus, tapi aku masih belum terbiasa dengan kepercayaan seperti itu.
Ia lalu menatapku dengan senyuman jahil. “Ngomong-ngomong, aku penasaran. Apa kau selalu serius seperti ini bahkan sebelum masuk ke dunia ini? Tidak pernah bercanda, tidak pernah tertawa?”
Aku menghela napas, mencoba menjawab dengan jujur. “Aku tidak punya banyak waktu untuk hal seperti itu. Hidupku dulu... yah, biasa saja. Aku tidak punya banyak teman walaupun aku masih bisa bersosialisasi, jadi aku lebih sering sendiri.”
Eirene mengangguk pelan. “Kalau begitu, ini kesempatanmu untuk belajar bersenang-senang. Ayo, coba buat aku tertawa. Kau pasti punya setidaknya satu lelucon.”
Aku mengerutkan kening, merasa tertantang. “Aku tidak tahu lelucon. Tapi kalau kau mau, aku bisa mencoba menjadi bahan tertawaanmu.”
Eirene tertawa terbahak-bahak. “Itu sudah cukup lucu! Lihat, kau bisa juga membuat orang tertawa.”
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tapi senyuman kecil muncul di wajahku. Meskipun percakapan ini sederhana, aku merasa sedikit lebih ringan.
Di tengah pembicaraan kami, api unggun terus menyala, memberikan kehangatan di tengah malam yang dingin. Untuk sesaat, aku melupakan semua beban dan bahaya yang menunggu. Malam ini, setidaknya, aku bisa merasa sedikit damai.
“Ayo tidur,” kata Eirene akhirnya. “Kau butuh energi untuk perjalanan besok.”
Aku mengangguk, mengambil posisi di dekat api unggun. “Kau juga. Jangan terlalu banyak berpikir.”
Ia hanya tersenyum sebelum membaringkan dirinya di sampingku. Hutan di sekitar kami tetap sunyi, hanya suara api yang berderak mengisi malam. Aku memejamkan mata, mencoba mempersiapkan diriku untuk hari berikutnya.
...----------------...
Aku terbangun ketika sinar matahari mulai menembus kain tenda. Udara pagi terasa segar, meski masih ada sedikit dingin yang menggigit. Ketika aku menoleh, Eirene sudah duduk di dekat api unggun yang hampir padam, sibuk mengikat tas kecilnya.
“Kau sudah bangun,” katanya dengan senyuman kecil. “Kita harus segera berangkat. Katherine Rundell sudah dekat, ingat penjaga batu itu kemarin?”
Aku mengangguk, meregangkan tubuhku yang masih terasa kaku setelah tidur di atas tanah. Kami segera membereskan tenda dan memadamkan api unggun. Semua barang kami masukkan ke dalam tas masing-masing, lalu memulai perjalanan kembali.
Langit pagi ini lumayan cerah, dan suasana hutan terasa lebih tenang daripada hari sebelumnya. Langkah kami mantap, tapi tetap penuh kewaspadaan. Aku masih mengenakan tudung untuk menyembunyikan wajahku, sementara Eirene menyesuaikan tudungnya agar tidak menghalangi pandangannya.
Setelah berjalan selama beberapa jam, akhirnya kami tiba di depan gerbang Katherine Rundell. Pemandangan yang terbentang di hadapan kami membuatku menahan napas.
Gerbang Katherine Rundell berdiri megah dengan ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan pahlawan legendaris dan binatang mitologi. Dinding kota yang tinggi dan kokoh terbuat dari batu abu-abu tua, dipenuhi lumut di beberapa bagian, menunjukkan bahwa kota ini sudah berdiri selama ratusan tahun. Dua ksatria berjubah lengkap berdiri di depan gerbang, mengenakan armor perak yang memantulkan sinar matahari pagi. Mereka membawa tombak panjang yang tampak tajam, dan tatapan mereka dingin seperti baja yang mereka kenakan.
Ketika kami mendekat, salah satu ksatria mengangkat tangannya untuk menghentikan kami.
“Berhenti. Apa tujuan kalian memasuki Katherine Rundell?” tanyanya dengan suara berat yang penuh kewibawaan.
“Kami hanya seorang pengembara yang mencari tempat untuk beristirahat,” jawabku dengan suara tenang, menundukkan kepala sedikit agar wajahku tetap tersembunyi di bawah tudung.
Ksatria itu menatap kami dengan curiga, terutama pada pakaian kami yang tampak mencurigakan. “Kami perlu memeriksa barang bawaan kalian. Jangan bergerak sampai pemeriksaan selesai.”
Aku mengangguk, menyerahkan tas hitam kecilku. Eirene melakukan hal yang sama, tetap diam seperti yang telah kami rencanakan sebelumnya. Ksatria itu memeriksa isi tas kami dengan teliti, mengeluarkan barang-barang satu per satu. Saat ia menemukan peta besar yang kusimpan, ia mengangkat alis.
“Peta ini... tampaknya sangat detail. Apa kalian pedagang?”
“Bukan,” jawabku, tetap tenang. “Kami menemukannya di perjalanan, di sebuah tempat yang ditinggalkan.”
Ksatria itu tampak berpikir sejenak, tapi akhirnya memasukkan peta itu kembali ke tasku. Setelah memeriksa semuanya dan tidak menemukan hal yang mencurigakan, ia mengangguk pelan.
“Kalian boleh masuk. Tapi ingat, di Katherine Rundell, setiap tindakan kalian diawasi. Jangan coba-coba membuat masalah.”
Kami mengangguk serempak, lalu berjalan melewati gerbang yang perlahan terbuka. Suara gemuruh dari rantai dan engsel logam membuat bulu kudukku merinding.
Katherine Rundell menyambut kami dengan pemandangan yang sama megahnya dengan gerbangnya. Jalan utama kota terbuat dari batu yang tertata rapi, dipenuhi orang-orang dengan berbagai macam pakaian—dari pedagang yang membawa gerobak penuh barang hingga warga biasa yang sibuk dengan aktivitas mereka. Di sepanjang jalan, ada deretan bangunan batu yang dihiasi ukiran-ukiran indah. Beberapa toko menjual barang-barang yang tampaknya hanya bisa ditemukan di sini, seperti ramuan ajaib, senjata buatan tangan, dan perhiasan.
Suasana kota ramai dengan suara obrolan, tawa, dan teriakan pedagang yang menawarkan dagangannya. Bau roti panggang dan rempah-rempah menguar di udara, membuat perutku yang kosong bergemuruh.
“Tempat ini... sangat hidup,” gumam Eirene, matanya berbinar-binar melihat segala sesuatu di sekitarnya.
Aku mengangguk, setuju dengannya. Katherine Rundell jelas berbeda dari hutan atau wilayah sebelumnya. Kota ini tampak seperti pusat perdagangan dan kebudayaan yang berkembang pesat.
“Kita harus berhati-hati,” kataku pelan, mengingatkan Eirene. “Semakin banyak orang, semakin besar kemungkinan kita menarik perhatian.”
Ia mengangguk, kembali memasang ekspresi serius.
Kami memutuskan untuk berkeliling terlebih dahulu, mencoba memahami kondisi wilayah ini. Kami berjalan menyusuri jalan utama, sesekali berhenti untuk melihat-lihat toko atau mendengar percakapan warga. Dari apa yang kudengar, Katherine Rundell adalah wilayah yang damai, tapi juga penuh aturan ketat yang diawasi oleh para ksatria penjaga kota.
“Sepertinya kita tidak akan menemukan masalah besar di sini,” kata Eirene dengan nada lega.
“Jangan terlalu percaya diri,” balasku. “Masalah bisa datang dari mana saja, bahkan di tempat yang tampak damai seperti ini.”
Ia tersenyum tipis. “Kau memang selalu berpikir jauh ke depan, Hayato. Tapi kurasa itulah yang membuatmu tetap hidup sampai sekarang.”
Aku hanya tersenyum samar, lalu melanjutkan langkahku. Mungkin selanjutnya, kami akan pergi mencari penginapan.