Kirana tak pernah menyangka, bujukan sang suami pulang ke kampung halaman orang tuanya ternyata adalah misi terselubung untuk bisa menikahi wanita lain.
Sepuluh tahun Kirana menjadi istri, menemani dan menjadi pelengkap kekurangan suaminya.
Kirana tersakiti tetapi tidak lemah. Kirana dikhianati tetapi tetap bertahan.
Namun semuanya berubah saat dia dipertemukan dengan seorang pria yang menjadi tetangga sekaligus bosnya.
Aska Kendrick Rusady, pria yang diam-diam menyukai Kirana semenjak pertemuan pertama.
Dia pikir Kirana adalah wanita lajang, ternyata kenyataan buruknya adalah wanita itu adalah istri orang dengan dua anak.
Keadaan yang membuat mereka terus berdekatan membuat benih-benih itu timbul. Membakar jiwa mereka, melebur dalam sebuah hubungan terlarang yang begitu nikmat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga parasit
Suasana hatinya buruk, benar-benar buruk hingga sapaan ramah yang dilontarkan sama sekali tidak ditanggapi. Pertengkarannya dengan Zidan berhasil mengacaukan emosinya.
Sesaat setelah duduk di meja kerja, Kirana ingat tugasnya menyiapkan kopi. Namun baru saja tubuhnya bangkit seorang pria berjalan mendekat dengan wajah datar.
“Pagi, Bu Kirana,” sapaan tersebut ramah, tetapi nada suaranya datar dan dingin.
Mau tak mau dirinya mengulas senyum tipis. “Pagi, Pak Willy.”
“Mau disiapkan minum apa, Pak?”
“Enggak usah, makasih. Tolong kerjaan Pak Ken kalau udah selesai kasih ke aku ya. Hari ini ada pertemuan di luar kantor?” tanyanya, tidak terlalu formal tetapi tetap sopan.
Kirana segera mengambil iPad dan melihat jadwal hari ini. Kepalanya mengangguk. “Pukul dua ada janji temu dengan Pak Daren.”
Pria itu mengangguk dan segera berlalu masuk ke ruangan CEO. Amar Willyam, pria yang usianya kemungkinan sama dengan Kendrick, tangan kanan sekaligus orang yang mengurus cabang di daerah timur. Pria dingin yang jarang menampilkan senyum tersebut memiliki tubuh tegap, paras tampan dan pembawaan yang angkuh. Bahkan pria itu terlihat lebih angkuh dari sang atasan.
“Aku lupa bahwa Pak Kendrick tak ada di tempat,” gumam Kirana lirih.
Menyadari atasannya yang menyebalkan tak ada, ada sesuatu yang mengusiknya. Sedang apa pria itu, pikirnya.
Kepalanya segera menggeleng menyadari pikirannya mulai tertuju pada pria itu.
Daripada memikirkannya, dia segera menyibukkan diri melakukan tugasnya. Hingga tanpa sadar waktu terus beranjak naik dan Willy keluar dari ruangan menghampirinya.
“Jangan lupa makan siang, Bu Kirana.” Setelah mengatakan kalimat tersebut Willy segera berlalu. Bukan maksudnya sok perhatian, tetapi apa yang dilakukan murni hanya karena perintah Kendrick yang jauh di belahan bumi lain.
Sebelum pria itu pergi, Willy sudah diberikan banyak tugas dan pesan. Salah satunya melaporkan apa pun yang dilakukan Kirana—wanitanya yang masih berstatus istri orang.
Bibirnya menyunggingkan senyum miris. Ingin sekali mengutarakan keberatan dengan apa yang diperintahkan, tetapi melihat bagaimana bahagianya pria itu mengatakan keinginannya, semua kata-kata yang ingin dikeluarkan kembali ditelan.
Memangnya tidak ada lagi wanita lajang hingga harus menggilai istri orang?
...✿✿✿...
Sepanjang hari Kirana sama sekali malas melakukan apa pun. Wajahnya terlihat sekali tak bersemangat, walaupun tetap melakukan pekerjaan yang diperintahkan.
Bahkan makan pun, wanita itu terlihat tak bernafsu.
“Ada apa, Bu Kirana?” tanya Willy saat melihat wanita di sampingnya melamun.
Matanya mengerjap beberapa saat sebelum menoleh. “Nggak apa-apa, Pak Willy.”
“Kamu terlihat lelah,” sahut pria itu, tetap fokus mengemudi.
“Hanya sedikit, Pak. Lelah bekerja memang wajar, kan.” Menyunggingkan senyum tipis.
“Kalau ada apa-apa, kamu bisa ngomong ke aku selama Pak Ken belum kembali. Kemungkinan beliau akan berada di sana seminggu,” ucap Willy membuat Kirana semakin dilanda kehampaan.
Seminggu bukan waktu yang lama, tetapi sehari tak melihat pria itu membuatnya resah.
“Terima kasih.”
“Kamu nggak perlu sungkan. Ngomong santai aja sama aku, jangan terlalu formal. Kecuali di depan rekan bisnis, ya.”
Kirana mengangguk mengerti.
“Ngomong-ngomong sejak kapan Pak Hanin dan Bu Dia tinggal di Jerman, Pak Willy?” basa-basi bertanya.
Pria itu menoleh dan mengerutkan kening bingung. “Pak Hanin dan Bu Dia masih tinggal di Jakarta, Bu.”
“Lho, bukannya Pak Ken ke Jerman ada urusan keluarga, ya.” Spontan saja ucapan itu terlontar, ingin tahu dan rasa penasarannya begitu kentara.
Willy mengatupkan bibirnya. Sepertinya dia salah bicara, daripada membuat masalah dia memilih tak lagi menjawab .
Semua yang baru didengar membuat Kirana bertanya-tanya dan menaruh perasaan curiga.
Jangan-jangan pria itu sudah menikah dan memiliki istri di Jerman.
“Kita udah sampai, Bu Kirana.”
“Oh, iya. Maaf aku melamun.” Kirana meringis sungkan dan segera keluar mobil dan masuk ke kantor.
...✿✿✿...
Sesampainya di rumah, Kirana mendesah kasar ketika mendengar suara ibu mertua dari dalam rumah.
Oh Tuhan, sejenak aku ingin tenang tanpa gangguan. Pikiranku benar-benar akan gila jika dihadapkan dengan pertengkaran terus menerus.
“Darimana kamu, Kirana?” sapa wanita paruh baya tersebut sinis.
Baru juga melangkah masuk, sudah disambut sapaan tak enak. Dulu dia selalu merasa sungkan tiap kali ibu mertuanya mengucapkan nada sinis, tetapi sekarang setelah semuanya terbongkar, rasa segan yang dimiliki seolah ikut menguap bersama rasa sakit hati yang dirasa.
“Kerja, Bu. Kalau nggak kerja nanti aku nggak bisa shopping, perawatan apalagi beli skincare. Ini namanya kerja keras. Mau gaya butuh modal, bukan minta-minta,” sahut Kirana menyindir.
“Lho apa maksudmu ngomong kayak gitu. Kamu nyindir kami?”
Kirana menatap ibu mertuanya tajam. “Ibu merasa? Wah, sayang sekali kalau tebakanku bener.”
“Aku nggak perlu minta-minta, suamiku udah kaya dan dia bisa kasih apa pun yang kumau,” sahut Nina menimpali.
Henry—suami Nina adalah pemilik bisnis tour and travel.
“Oh, ya? Lalu transferan puluhan juta setiap minggu itu buat siapa?”
“Jangan nuduh kamu, Mbak!” Nina mulai terpancing emosi.
Kirana mengeluarkan sesuatu dari dalam tas dan melemparkannya tepat di wajah adik iparnya.
“Lalu ini apa?! Jangan pura-pura lagi, aku udah tahu semuanya,” seru Kirana.
Terlihat ibu dan adik iparnya salah tingkah. Wajah mereka memerah menahan malu.
“Mbak, jangan keterlaluan. Keluarga kami nggak miskin kayak kamu hingga harus minta-minta. Memberi keluarga adalah kewajiban Mas Zidan sebagai anak tertua. Lagipula semua ini milik kakakku, bukan milikmu.”
Kirana memutar bola matanya malas. “Jangan asal ngomong. Tanyain sama ibu, kontribusi apa yang telah diberikan dalam usaha yang kami rintis. Nggak ada! Justru semua modal berasal dari keluargaku. Bahkan keluargaku yang nggak kaya aja nggak pernah minta-minta dan membebani anaknya. Kami memulai semuanya dari nol, jatuh bangun dan penuh pengorbanan, dan kalian tinggal menikmati hasilnya. Hebat banget!” Tangannya bertepuk tangan, nadanya kagum, tetapi jelas itu adalah penghinaan terselubung.
Keluarga Zidan memang tergolong keluarga mampu, ibu memiliki banyak warisan, mulai dari tanah, kontrakan dan beberapa supermarket. Namun wanita paruh baya tersebut tak akan mengeluarkan uangnya cuma-cuma, apalagi untuk sesuatu yang tak ada timbal baliknya.
Bahkan dengan anaknya saja dia begitu perhitungan.
“Dulu ngatain sampah sekarang sampahnya dipungut, ditampung lagi. Memalukan.” Setelah mengatakan kalimat terakhirnya, Kirana segera pergi dari hadapan ibu dan anak yang membuat tekanan darahnya selalu naik jika berhadapan dengan mereka.
To Be Continue ....