Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Ina melenggang pulang sambil berdendang. Entah apa yang membuatnya begitu gembira. Mungkin rasa puas setelah sedikit melakukan pembalasan.
Terkadang tampak wanita itu berjalan sambil melompat menggunakan satu kaki bergantian, dengan dua tangan yang direntangkan seperti seorang anak yang sedang bermain engklek. Sungguh tingkahnya persis seperti anak yang baru berusia belasan tahun.
Beberapa saat kemudian wanita itu menghentikan langkahnya, menoleh ke kiri, ke kanan. Ke depan dan ke belakang.
“Ya Tuhan aku seperti anak kecil.” Ina terkikik geli dengan menutup mulutnya menggunakan ujung jari.
“Kenapa aku bisa lupa kalau aku ini sudah jadi seorang ibu yang memiliki anak berusia 10 tahun? Aah Untung saja tidak ada orang yang melihatku. Kalau sampai itu terjadi, mungkin mereka akan bilang kalau aku baru saja salah minum obat.” Lagi-lagi Ina terkikik sendirian mengingat kekonyolannya.
***
Sementara itu, seperginya Ina dari rumah Bu Rahayu. Suasana di rumah itu menjadi gaduh.
“Istrimu itu benar-benar keterlaluan. Dia semakin menjadi-jadi kelakuannya. Kenapa tidak segera kamu ceraikan dia saja? Toh kamu sudah punya Siska. Kamu tidak butuh istri lain lagi.” Bu Rahayu menghentakkan kakinya, masuk ke dalam rumah sambil menggerutu.
“Iya itu benar. Aku juga setuju kalau Mas Ranu bercerai dengan mbak Ina. Ceraikan saja dia, Mas. Untuk apa Mas Ranu memelihara istri kampungan seperti dia?” Ratna ikut mengompori. Adik ipar Ina itu masih merasa kesal. Telapak tangan dan lututnya yang terkena bening masih menyisakan rasa sakit, meski Sandy suaminya sudah membersihkan dan mengobatinya.
“Tapi…”
Ranu tidak bisa melanjutkan ucapannya. Pria itu Bahkan tak tahu mau mengatakan apa. Bercerai dengan Ina tidak pernah ada dalam rencana hidupnya. Dia masih mencintai Ina.
Selama ini Ina istri yang penurut. Ina tak pernah sedikitpun membantah, tak pernah membangkang. Ina juga tak pernah menjadi beban baginya. Memiliki seorang istri seperti Ina adalah satu keberuntungan baginya.
Tidak jarang dia mendengar teman-temannya mengeluh tentang istrinya, ketika mereka sedang nongkrong bersama di warung kopi. Banyak temannya yang mengeluh istrinya kurang inilah, kurang itulah, tidak bisa ini, dan tidak bisa itu.
Semua keluhan temannya itu tidak dia dapatkan pada diri Ina. Bisa dikatakan istrinya itu nyaris sempurna. Istrinya itu seorang wanita mandiri yang bisa melakukan segalanya seorang diri.
Satu-satunya kekurangan Ina hanya karena dia memiliki wajah yang kusam, kucel dan dekil. Tidak seperti istri teman-temannya yang selalu tampil begitu cantik mempesona.
Akan tetapi meskipun begitu Ranu tidak pernah berpikir untuk menceraikan Ina. Dia masih mencintai Ina. Sudah susah payah Dia dulu mengejar dan akhirnya mendapatkan Ina. Pernikahannya dengan Siska adalah karena desakan ibu dan adik-adiknya.
“Tapi apa Mas?” Siska yang kini telah duduk di samping Ranu terlihat tidak suka. Wajah Ranu tampak berbeda ketika ibu dan adiknya menyebut kata perceraian. Apakah dalam hati pria itu masih ada istri tuanya. Apakah selama ini semua yang telah dia berikan tidak membuat Dia terlihat istimewa di mata sang suami.
“Aku akan memikirkannya nanti.” Ranu menjawab ragu.
“Lalu siapa yang akan mengerjakan dan membereskan semua ini, Bu?” tanya Ratna setelah pembicaraan tentang perceraian belum menemukan titik temu.
“Ya Kita semua. ibu dan kalian. Mau siapa lagi?” Jawab Bu Rahayu ketus.
“Kok Kita sih, Bu?” Ratna melayangkan protesnya.
“Pokoknya Ibu tidak mau tahu. Ina sudah pergi. Menantu sialan itu sudah tidak bisa diatur-atur lagi. Malah sekarang dia membuat kekacauan seperti ini.” Nafas Bu Rahayu memburu demi mengingat bagaimana kini sifat.menantunya.
“Sekarang kalau kalian semua tidak bisa membantu ibu, lebih baik kalian semua pergi dari tempat Ibu dan jangan pernah kembali lagi. Dan jangan pernah juga meminta apapun pada ibu!” Bu Rahayu menatap satu persatu anak dan menantunya, sambil berkacak pinggang.
“Ibu kok gitu sih, ancamannya?” Anton mendelik tidak suka.
“Kerjakan semua sekarang juga. Kalian semua benar-benar tidak punya hati. Dari kemarin ibu ke sana ke sini, mondar-mandir, mengerjakan ini dan itu sendirian.’ berang Bu Rahayu
“Tapi tidak satupun di antara kalian yang berinisiatif untuk membantu ibu. Kalian hanya duduk ongkang kaki sambil bermain HP. Apa kalian tidak lihat kaki, tangan, dan pinggang ibu itu capek? Entah kenapa ibu jadi berpikir Ina lebih berguna daripada kalian.”
Kemarahan Bu Rahayu semakin meluap. Wanita itu sedang kebingungan, beberapa jam lagi para tamu akan berdatangan, tetapi mereka malah belum menyiapkan apapun.
“Mungkin setelah ini ibu akan berbaik-baik dengan Ina. Ibu hanya tinggal bermulut manis. Maka semua akan beres. Daripada kalian. minta uang, minta ini dan itu setiap hari, tapi sedikitpun kalian tidak pernah memikirkan ibu.”
Anak dan menantu Bu Rahayu tertegun, dan menelan ludah mendengar kata-kata wanita tua itu.
Akhirnya mau tak mau Ratna, dan Yuli, segera bergerak menuju ke dapur. Mereka tidak mau ancaman Bu Rahayu menjadi kenyataan. Ratna berjalan sambil mengumpat menahan rasa sakit di lututnya.
Hanya Siska yang tetap duduk tenang di samping Ranu. Bu Rahayu pun tak berani menegurnya, wanita tua itu tidak mau kehilangan menantu yang kaya raya.
***
Di rumah Ranu. Ina yang yang dalam hati merasa bersalah karena telah mengacaukan acara selamatan yang tujuannya adalah doa untuk orang meninggal, berencana pergi ke rumah Bi Hindun. Sebagai ganti keributan yang dia buat. Dia ingin mengadakan doa bersama anak yatim, di panti asuhan yang sering didatangi oleh bibinya.
“Kamu sudah siap, Nak?”
Andri baru saja pulang sekolah. Dan Ina langsung menyuruhnya untuk ganti baju, lalu makan. Dia tidak mungkin meninggalkan Andri sendirian. Kalau siang mungkin Andri bisa main dengan temannya. Masalahnya Ina tidak tahu jam berapa nanti dia pulang ke rumah. Bisa saja tengah malam.
“Sudah, Bu.” Andri sudah siap dengan celana panjang hitam, baju koko dan kopyah. Anak itu sangat senang saat ibunya bilang akan mengajaknya ke panti asuhan. Ibu dan bibinya sering mengajaknya ke sana, sehingga dia sudah akrab dengan anak-anak yang ada di sana.
***
“Mungkin setelah ini aku harus memikirkan untuk membeli sepeda motor sendiri.” Batin Ina ketika dia dan anaknya baru saja turun dari motor ojek tepat di halaman rumah bibinya.
Bi Hindun yang tadi dihubungi Ina sudah siap menunggu bersama dengan Adnan, putranya. Mereka akan pergi dengan mobil Adnan.
“Kamu itu kalau ada apa-apa mbok ya jangan mendadak gini, Na! Kalau tahu dari kemarin kan Bibi bisa menyiapkan sesuatu.” gerutu Bi Hindun.
“Ini tadi Ina juga barusan, Bi, mikirnya,” jawab Ina. Mereka pergi tanpa membawa apa-apa. Rencananya mereka akan membeli aneka kue dan makanan ketika di perjalanan saja.
Bi hindun merasa sebal. Tapi juga merasa senang, keponakannya kini telah terbuka pikirannya. Tak lagi membiarkan dirinya ditindas.
Satu jam perjalanan, mereka sampai juga di panti asuhan yang letaknya ada di wilayah kabupaten. Ibu panti menyambut mereka dengan suka cita. Lebih-lebih anak anak yang telah menjadi teman Andri. Mereka tampak berbaur, bermain, lalu lanjut mengaji.
Ina sangat takjub, sekaligus terharu. Wanita itu bahkan menitikkan air mata saat Ibu panti memimpin anak-anak asuhannya melantunkan doa dan bacaan surat Yasin untuk almarhum ayah mertuanya. Anak-anak itu sudah sangat fasih.
***
Tiga jam di panti asuhan, Ina segera pamit. Wanita itu meninggalkan panti setelah menyerahkan amplop coklat pada Ibu panti. Masih ada rencana yang ingin dia realisasikan. Sedangkan hari telah mulai senja.
“Emangnya nanti keluarga suamimu gak curiga, Na? Kalau kamu pulang bawa motor?” tanya Bi Hindun.
“Gampang. Aku kan bisa bilang kalau itu motor Adnan.” ina mengangkat alisnya saat matanya bertatapan dengan Adnan di kaca sipon.
“Idih, kok aku, Mbak.” Adnan mendelik tidak suka.
“Hilihh, pinjam nama doang!”
“Kalau gitu, mending aku saja yang beli motor buat Mbak Ina. Iya kan, Bu?” Adnan menoleh pada ini yang duduk di jok tengah bersama dengan ina.
“Ibu mau beli motor?” Andri yang duduk di jok depan bersama dengan Adnan, spontan menghadap ke arah ibunya. Bocah itu bahkan berdiri dengan lutut nya di atas jok.
“Insya allah, Nak.”
“Horrree…!” Andri bersorak senang.
“Bibi setuju. Biar adnan saja yang beli motor buat kamu. Jadi kan kamu tidak berbohong pada keluarga mereka.” Bu Hindun menyahutu pertanyaan Adnan.
“Emoh, Nan. Mbak due duit dewe. Duitku okeh, arep tak go opo?” (Tidak mau, Nan. Mbak punya uang sendiri. Uang Mbak yang banyak mau buat apa?” jawab Ina songong. Dan langsung mendapatkan cibiran dari bibi dan sepupunya.
***
Bicara ngalor ngidul, saling ejek saling canda, akhirnya mobil yang dikendarai oleh Adnan tiba juga di sebuah dealer yang dipilih kan oleh Adnan.
“Andri, jangan lari-lari!” Tegur Ina yang melihat putranya begitu girang melihat banyaknya sepeda motor bagus yang dipajang di sana.
“Iya, Bu. Andri akan hati-hati kok. Gak akan bikin rusak.” Andri terus berlari melihat-lihat deretan motor. Tanpa memperhatikan jalan.
“Andri..!” Ina berseru. Dari arah yang berlawanan dengan anaknya seorang pria tampak berjalan sambil berbicara dengan ponselnya.
Brukkk
“Andri…” teriak Ina. Wanita itu bergegas menghampiri Andri yang jatuh terduduk.
“Maaf, maafkan anak Saya.” Ina menundukkan kepalanya setelah berhasil membawa Andri berdiri.
"Kamu....???"
ttp semngat thor/Good/
padahal belum tentu Ranu mau meresmikan pernikahannya.. pasti alasannya krn sayang duitnya.. 😅😅😅