“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34 : Dia Mirip Mamah
Keputusan mas Aidan yang sampai mengunjungi ibu Warisem ibarat angin segar untuk wanita renta itu. Ibu Warisem yang masih memaksakan diri untuk bekerja, langsung bersemangat, walau linangan air mata mengiringi setiap obrolan empat mata antara dirinya dan mas Aidan.
“Jadi sekarang Ibu paham, kan? Ibu enggak boleh stres. Kalau ibu beneran sayang Mbak Arimbi, Ibu wajib percaya ke Mbak Arimbi, bahwa anak Ibu itu bisa!”
“Enggak apa-apa berat karena memang begini yang namanya hidup. Yang penting kita enggak ambil milik orang lain. Kasus Ilham jadi contohnya, yah, Bu. Beneran ngeri. Se-wah apa pun itu, kalau dapatnya dari cara salah, pasti bakalan jadi enggak terhormat!”
Sepanjang menyimak sambil menyiapkan sayur bahan pecel, Arimbi berkaca-kaca. Kenyataan rumahnya yang hanya menjadikan bilik sebagai dinding memang membuat obrolan ibu Warisem dengan mas Aidan, bisa ia dengar dengan jelas walau keduanya berbicara lirih. Layaknya pak Angga yang begitu mengkhawatirkan mas Aidan, itulah yang ibu Warisem rasakan kepada Arimbi.
Kemudian, yang tak kalah menguras emosi Arimbi adalah ketika mas Aidan berbicara empat mata dengan mas Rio. Mas Rio kembali datang bahkan sebelum Arimbi pulang membawa mas Aidan. Namun untuk pertemuan empat mata antara mas Aidan dengan mas Rio tak berlangsung di rumah. Pertemuan itu ada di depan rumah, di bawah pohon kelapa yang benar-benar asri hingga suasana di sana benar-benar teduh bahkan cenderung dingin.
“Mas Rio harusnya mikir, keputusan Mas terus maju sangat membahayakan mbak Arimbi sekeluarga. Mas Rio bahkan tahu, alasan saya menebus mbak Arimbi karena semata-mata saya memergoki mamah Mas melakukan kekerasan. Itu dia lakukan terang-terangan. Jangan begini kalau Mas beneran peduli, sayang ke mbak Arimbi. Saya enggak bermaksud ikut campur, tapi Mas Rio pasti juga paham, hanya orang lain yang bisa menegur apa yang Mas Rio lakukan.”
“Sekarang coba Mas Rio jujur ke saya. Mbak Arimbi sudah sampai jujur ke Mas, kan? Dia menolak Mas kejar?”
“Cari wanita yang lebih dari Mas Rio atau setidaknya sepadan. Karena andai Mas tetap maju ke mbak Arimbi, bisa saya pastikan, mbak Arimbi sekeluarga celaka dan itu gara-gara keegoisan Mas.”
“Sudahi sampai di sini. Jangan sampai mbak Arimbi sekeluarga celaka dan mamah Mas masuk bui!”
“Mbak Arimbi sedang menata hidupnya, menjalani lembaran baru setelah apa yang dia dapatkan dari Ilham. Mbak Arimbi sedang semangat-semangatnya mendapatkan kehidupan layak agar dia bisa jauh lebih dihargai. Agar dia bisa membahagiakan ibunya.”
“Dan Mas Rio juga bisa lihat, ibunya mbak Arimbi enggak sehat. Beliau rawan pikiran, kasihanilah mereka Mas. Mereka sudah sakit sejauh ini!” Mas Aidan mengakhiri ucapannya dengan suara yang nyaris tertahan di tenggorokan saking emosionalnya ia pada keadaan.
“Mas Aidan, saya beneran cinta ke Arimbi!” tegas mas Rio sambil berkaca-kaca menatap mas Aidan yang ada di hadapannya. Jarak wajah mereka tak ada dua jengkal.
“Masalah cinta, Mas bisa menemukannya pada wanita lain. Namun luka yang mbak Arimbi sekeluarga dapat andai Mas Rio tetap maju, beneran enggak akan pernah hilang walau mereka sudah menemukan kebahagiaan baru!” Setelah berucap demikian, Aidan sengaja berkata, “Mas jangan lupa, mamah Mas itu rasis!”
“Saya tahu ini sangat menyakitkan, bahkan Mas pasti merasa enggak adil. Namun kembali lagi ke yang tadi, tolong lihat ini dari sisi mbak Arimbi!”
Arimbi mengakhiri penyimakannya. Ia berangsur pergi dari balik pintu tempatnya diam-diam menyimak.
“Benar kata mas Aidan. Masalahnya, aku juga sudah enggak kurang-kurang usir mas Rio agar dia enggak dekat-dekat aku lagi karena takut ya memang seperti yang mas Aidan katakan! Namun yaitu, mas Rionya enggak mau tahu!” batin Arimbi yang segera menyalakan kompor. Ia hendak menggoreng kacang tanah dan segala bumbu untuk pecel. Kini, di dapur yang lantainya berupa tanah, ia sibuk sendiri lantaran berkat bujukan mas Aidan, ibu Warisem mau istirahat total di kamar.
“Alhamdullilah, ibu mau istirahat. Semoga luka di jari kakinya juga bisa sembuh tanpa harus amputasi. Enggak tega kalau dikit-dikit harus amputasi,” batin Arimbi di tengah kedua matanya yang berkaca-kaca.
Semua bumbu sudah beres digoreng ketika mas Aidan berseru dan tentu saja seruan versi mas Aidan masih sangat lembut. Pria itu berdalih pamit pulang. Segera Arimbi keluar dan mengantar. Arimbi tak lagi mendapati mas Rio maupun motor pria itu, dan tampaknya mas Rio memang sudah pergi.
“Hebat kamu Mbak, sudah bangun rumah sendiri. Saya saja belum!” ucap Mas Aidan yang sampai kepo, mengamati pembangunan yang masih berlangsung, lebih saksama. Sebab ia juga sampai berbaur dengan pekerja dan otomatis membuat acara pamitnya tertunda.
Pembangunan rumah Arimbi sudah sampai di tahap pemasangan hebel dan itu sudah tinggi. Sudah sedagu mas Aidan.
Dalam diamnya, Arimbi yang diam-diam mengawasi mas Aidan menjadi heran. Masa, orang sehangat sekaligus sangat merakyat sekelas mas Aidan, cuek ke pasangan hingga mas Aidan selalu diputuskan oleh kekasihnya?
“Bagus ini! Besok kalau saya bangun rumah, saya minta bantuan bapak-bapak sekalian, ya!” ucap mas Aidan dan langsung membuat keenam pekerja termasuk di dalamnya Agung kakak Arimbi, menjadi tersipu malu lantaran terus dipuji oleh Mas Aidan.
Pulangnya mas Aidan tentu langsung membuat pria itu ke rumah sakit dan kembali menjaga sang ayah. Awalnya semuanya baik-baik saja. Mas Aidan tak membahas apa pun termasuk kabar yang ia dengar dari Arimbi. Tentang alasan sang ayah jatuh sakit dan itu karena terlalu mengkhawatirkannya.
“Yah, memangnya aku harus nikah dalam waktu dekat, ya?” tanya mas Aidan memberanikan diri. Sudah larut malam, tapi baik dirinya termasuk sang ayah yang sedang sakit, tidak ada yang mengantuk. Malahan kini mereka tengah memaksakan diri untuk menonton acara televisi di hadapan mereka.
“Kalau bisa, iya, Mas. Takutnya, Ayah enggak bisa lihat Mas berumah tangga. Otomatis, Ayah juga enggak bisa lihat anak-anak Mas!” balas pak Angga lirih.
Mas Aidan langsung menunduk dalam. Ia belum siap apalagi karena memang belum ada calon.
“Mbak Arimbi, nganggur, kan?” celetuk pak Angga dan sukses membuat mas Aidan berangsur menatanya. Mas Aidan yang duduk di kursi sebelahnya sambil terus bersedekap, menatapnya tak percaya.
“Dia mirip Mamah, loh! Cekatan, rame tapi tetap sangat sopan. Cantiknya juga mirip mamah pas muda,” yakin pak Angga.
Namun Mas Aidan yang tak mau menambah beban hidup Arimbi sengaja berkata, “Ciee, ... yang belum bisa move on dari mamah!” Baginya, pernikahan dalam waktu dekat hanya akan membuat Arimbi makin stres.
“Mas mau cari istri yang seperti apa? Kalau Mas cari istri yang bisa membahagiakan suami, jawabannya ya mbak Arimbi!”
“Berasa lagi pidato pemilu, ih, Yah!”
“Kalau Mas enggak percaya, sana nikahin! Mbak Arimbi beneran mirip Mamah!” yakin pak Angga.
“Coba sana kenalin ke orang rumah. Pasti jawaban mereka sama!” Membahas Arimbi dan juga menjodohkannya dengan sang putra, membuat pak Angga menjadi sangat bersemangat.
“Iya, sih. Orang rumah juga pada bilang begitu,” ucap Mas Aidan.
“Loh, ternyata orang rumah juga sudah tahu?” Pak Angga mulai syok.
Mas Aidan yang masih menanggapi dengan santai, berangsur mengangguk-angguk.
“Loh, ngapain masih mikir? Ayah janji, kalau kalian nikah, Ayah enggak sakit-sakitan lagi!” yakin pak Angga.
Sebenarnya, alasan mas Aidan masih ragu melangkah karena Mas Aidan masih menjaga perasaan Didi. Dengan kata lain, ada dua hati wanita yang harus ia jaga karena selain Arimbi menjadi wanita pilihan keluarganya, Mas Aidan juga peduli kepada Arimbi.
Jadi ....?