Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 - Mahkota Seorang Wanita
Terlalu besar harapan Faaz, nyatanya Ganeeta sama sekali tidak dapat mendefinisikan makna tersirat di dalam ucapannya.
"Ehm, rahasia," jawab Faaz masih dengan niat mempermainkan Ganeeta dan berakhir mendapatkan tatapan tajam di sana. "Ha-ha-ha, bercanda ... masa begitu saja nanya, sudah jelas bayarannya kamu sendiri, Net."
"Kok aku?"
Kembali Faaz menghela napas panjang, padahal sudah sejelas itu, tapi dasarnya Ganeeta otak udang.
"Begini, bagi papi kamu adalah harta tak ternilai ... dan, beliau meminta Mas melakukan banyak hal dengan cara menikahimu lebih dulu ... dengan kata lain, Papi mewariskan harta berharganya ini dengan syarat harus patuh sebagai menantu."
Demi membuat Ganeeta paham sampai ke akarnya, Faaz rela menjelaskan panjang lebar dengan bahasa yang sekiranya mudah ditangkap oleh Ganeeta.
Hal itu berhasil, dia tampak mengerti dan kini mengangguk perlahan sembari menggigit jemari. "Oh gitu, terus dulu Mas langsung mau?"
"Tentu saja, dikasih istri selucu ini masa nolak," jawab Faaz dengan sangat terpaksa berbohong demi menjaga hati sang istri.
Mengingat Ganeeta adalah makhluk mungil dengan hati yang begitu gampang tergores, khawatir saja andai jujur bahwa dulu sempat menolak mentah-mentah justru membuat Ganeeta murka dan berakhir pulang sendiri ke Jakarta.
Mendengar jawaban Faaz, Ganeeta yang juga mudah tersanjung itu seketika mengu-lum senyum. Kekesalan yang tadi seketika musnah, tepatnya sejenak lupa.
"Ah masa sih?"
"Iya, kamu saja yang sampai lari-lari sewaktu Mas nikahi ... padahal niatnya baik."
Ganeeta mencebikkan bibir. "Itu 'kan pas mataku masih tertutup ... mana kutahu kalau Zion ternyata begitu."
"Ah, kalau misal tidak pacaran sama Zion berarti langsung terima-terima saja dijodohkan dulu?"
"Mungkin, aku kurang tahu juga sih," jawab Ganeeta perlahan merebahkan tubuhnya.
Perjalanan kali ini terasa lebih lelah, padahal sebenarnya biasa saja. Kekecewaan adalah sebab utama kenapa rasa lelah Ganeeta seolah bertambah menjadi dua kali lipat dari biasanya.
"Huft, di sini panas ya ... itu AC-nya berfungsi atau tidak sebenarnya?" tanya Ganeeta sembari mengibas-ngibaskan telapak tangan tepat di depan wajahnya.
Faaz mengulas senyum seakan mengerti penderitaan yang saat ini Ganeeta rasa. "Berfungsi kok, baru juga dicuci bulan lalu."
"Tapi kenapa masih panas? Berasa di neraka, Mas."
"Berlebihan, memang kamu sudah pernah berkunjung ke neraka?" tanya Faaz disertai gelak tawa karena istrinya memang lucu jujur saja.
Tak ayal, gelak tawa Faaz justru membuat Ganeeta semakin panas pada akhirnya. "Kok ketawa sih? Orang serius ... memang panas beneran kok."
Tanpa mengucapkan apa-apa, Faaz segera melepaskan jarum pentul yang agaknya menjadi penyebab utama keluhan Ganeeta.
Entah kenapa Ganeeta tidak terpikir sejak awal untuk membuka hijabnya, padahal mereka sudah di kamar, bukan lagi di luar.
"Masih panas?"
"Mendingan," jawab Ganeeta memperlihatkan gigi rapihnya.
Faaz yang menggeleng pelan seolah tengah menertawakan ulahnya, dan Ganeeta sadar betul akan hal itu.
"Tapi masih panas, bajunya boleh dibuka tidak?" tanya Ganeeta masih belum puas juga sebelum benar-benar nyaris telan-jang seperti biasa.
"Boleh, buka saja."
"Gitu dong dari tadi, orang kepanasan juga," omel pemilik wajah imut itu sembari mulai melucuti pakaiannya satu persatu.
Lagi dan lagi Faaz terpojokkan, padahal untuk hal semacam itu rasanya tidak perlu diperintahkan.
Dalam diam pria itu hanya memerhatikan gerak-gerik Ganeeta. Pelan-pelan Faaz mulai terbiasa menyaksikan pemandangan semacam itu.
Meski tidak munafik, sebagai pria normal yang juga sudah dewasa dia selalu berdesir manakala menyaksikan tubuh mulus Ganeeta berkeliaran di depan matanya.
Ditambah lagi, warna dalaman yang merah menyala dan begitu kontras dengan kulitnya kian membuat Faaz bergelora.
Tak jarang has-rat untuk bercinta itu menggebu dalam dirinya, tapi lagi dan lagi Faaz tidak tega.
Meski sebenarnya tidak ada larangan dari mertuanya untuk menyentuh Ganeeta, tetap saja Faaz belum berani mengambil langkah.
.
.
"Mas, ada hanger tidak?" Pertanyaan itu sejenak membuyarkan lamunan Faaz.
"Ada di lemari, untuk apa?"
"Gantung pakaianku."
"Kan sudah dipakai, untuk apa digantung lagi? Taro di keranjang baju kotor saja," titah Faaz yang kemudian Ganeeta gelengi.
"Aku cuma punya ini, kalau ditaro ke keranjang baju kotor nanti malam aku pakai apa?"
"Cuma itu?"
Ganeeta mengangguk, ini adalah bukti dari ketidaksiapannya dalam mengunjungi kediaman sang mertua.
"Serius cuma itu, Net?"
"Iya, kan aku sudah bilang ini baju sama kerudung semata wayangku."
"Terus di antara sekian banyak baju di koper sebesar itu tidak ada gamis atau semacamnya?" tanya Faaz memastikan sekali lagi.
Dia memang tidak begitu memperhatikan Ganeeta sewaktu bersiap hingga tidak tahu pasti apa-apa yang Ganeeta bawa secara detailnya.
Ganeeta yang merasa tidak cukup jika hanya menjawab dengan kata, tanpa basa-basi memperlihatkan isi kopernya kepada sang suami.
"Nih ya kalau tidak percaya ... bi-kini, bi-kini, bi-kini, bi-kini lagi ... ini topi, sebelah sini baju tidur semua, celana pendek tiga, crop top-nya ada empat, sama ada lagi baju renang mana tahu kepakai." Sembari mengeluarkannya satu persatu di atas tempat tidur, Ganeeta menjelaskan secara detail kepada sang suami.
Selama Ganeeta menjelaskan, Faaz yang berdiri di sana beberapa kali memijat pangkal hidung.
"Kamu serius yang begini dipakai?"
"Iya, kenapa?"
"Sekarang Mas tanya, apa yang ditutupi dengan benda ini, Ganeeta?" tanya Faaz agak sedikit geli tatkala mengangkat bra yang menurutnya kurang bahan itu.
Ganeeta yang sedari dahulu menganggap hal itu wajar-wajar saja dengan santainya menjawab. "Pen-tilnya lah, masa aib keluarga."
"Astaghfirullahaladzim, Ganeeta ... sekarang jawab jujur, kamu malu tidak berpakaian seperti ini?"
"Tidak, kan sesuai sama tempatnya ... di Bali terutama pantai orang banyak begitu, Mas buktikan sendiri kalau tidak percaya."
"Iya tahu, tapi tidak perlu dinormalisasikan sampai kamu juga ikut-ikutan ... kamu tahu tidak, mahkota seorang wanita itu terletak pada rasa malunya. Semakin tinggi rasa malu yang dia miliki, maka semakin tinggi juga kehormatannya. Jika sampai seorang wanita kehilangan rasa malu maka gugur pula marwahnya sebagai wanita."
Memasuki pembicaraan serius, Ganeeta mulai mengatupkan bibir dan menunduk. Ini yang dia takutkan sejak awal tahu akan menjadi istri Faaz, seorang da'i sekaligus ustadz muda yang memang cukup terkenal di kalangan anak muda, terutama kaum hawa.
Dan, setiap kali Faaz kembali ke mode itu Ganeeta selalu berakhir bungkam. Atau, dengan kata lain tidak memiliki kemampuan untuk menjawab seperti biasanya.
Beberapa saat terdiam, Faaz mengembalikan bra kurang bahan yang tadi sempat dia genggam.
"Tunggu di sini," ucap Faaz kemudian beranjak pergi dan melewatkan rutinitas pamit yang kerap mereka lakukan sebelumnya.
Tentu saja sikap Faaz membuat Ganeeta salah sangka dan mengira bahwa Faaz marah padanya.
Namun, belum sampai lima menit pintu kembali terbuka dan Faaz kini menghampirinya.
"Maaf tadi agak kasar, Mas hanya sebentar ... jangan lupa kunci pintunya," ucap Faaz pasca mendaratkan kecupan tepat di kening Ganeeta.
.
.
- To Be Continued -