Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 CBLK CINTA LAMA BERSEMI KEMBALI
"Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan, Mas. Aku hanya ingin kita tetap bersama, dan kamu harus tahu siapa yang harus diprioritaskan dalam hidupmu. Jika itu bukan aku, maka aku tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan."
Dengan suaraku yang sedikit tertahan. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri
Mas Danu sempat melangkah mundur, mungkin dia merasa terpojok
"Caca, aku tidak tahu apakah hubungan ini bisa bertahan jika kamu terus-menerus merasakan cemburu seperti ini. Aku butuh waktu untuk berpikir, karena semuanya mulai terasa salah."
"Jangan tinggalkan aku, Mas. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Aku tidak akan membiarkan Belinda mengambilmu dariku."
"Caca, aku tidak tahu lagi bagaimana bisa melanjutkan ini. Aku butuh ruang. Kita perlu waktu untuk berpikir tentang apa yang sebenarnya kita inginkan."
Suasana tegang dan penuh ketegangan itu terasa seperti berada di ujung jurang. Aku merasa terpojok dan dikuasai rasa takut kehilangan, sementara Mas Danu merasa tertekan dengan perlakuanku yang terlalu mengontrol dan mencurigai setiap gerak-geriknya.
...****************...
Semenjak Mas Danu bertemu kembali dengan Belinda, mantan kekasihnya, rasanya kehidupanku berubah perlahan. Awalnya, aku mencoba berpikir positif. Mereka hanya bekerja sama untuk bisnis, begitu alasan yang selalu ia katakan. Tapi, sebagai istri, aku tak bisa membohongi hati. Perubahan sikapnya terlalu mencolok untuk diabaikan.
Mas Danu mulai sering mengabaikanku. Pulang kerja, ia selalu sibuk dengan ponselnya, mengetik pesan atau membaca sesuatu dengan ekspresi serius. Aku yang biasanya disambut hangat dengan pelukan atau sekadar sapaan manis, kini hanya mendapat anggukan singkat. Rasanya seperti ada dinding yang perlahan tumbuh di antara kami.
Rasa cemburuku semakin tak terkendali saat aku tahu betapa ia bersemangat membahas bisnis dengan Belinda. Aku sering memergokinya menyebut nama wanita itu dengan nada yang berbeda—nada yang dulu pernah kuterima darinya. Aku mencoba menenangkan diri, meyakinkan hatiku bahwa ini hanya prasangka. Tapi, semakin aku berusaha, semakin nyata kecurigaan itu tumbuh.
Suatu malam, aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Mas, kok akhir-akhir ini sering banget sibuk sendiri? Apa benar-benar soal kerjaan?” tanyaku hati-hati.
Mas Danu menoleh sejenak, lalu kembali pada ponselnya. “Iya, Dek. Aku harus memastikan semuanya berjalan lancar. Ini peluang besar untuk bisnis kita.”
Aku ingin percaya, sungguh. Tapi, setiap malam ketika aku duduk sendirian di ruang tamu, menunggu ia menyelesaikan urusannya, hati ini selalu bertanya: Apakah ini hanya soal bisnis, atau ada sesuatu yang lain?
Di malam-malam seperti itu, aku merasakan rasa takut yang menyusup. Takut bahwa bayangan masa lalu itu kembali menghantui, merusak rumah tangga yang kami bangun bersama. Aku tahu aku harus mencari cara untuk melindungi pernikahan ini, tapi aku juga tahu aku tak bisa melakukannya sendirian.
Apakah aku harus terus diam, atau aku harus berjuang untuk mengambil kembali perhatian suamiku? Pertanyaan itu berputar di benakku, tak pernah ada jawaban yang pasti.
Namun, satu hal yang pasti—aku tak akan membiarkan cinta kami hancur tanpa perlawanan.
Namun, seiring waktu, aku mulai merasakan sesuatu yang berubah. Mas Danu sering pulang larut, alasan rapat dan urusan pekerjaan selalu menjadi tamengnya.
Awalnya aku menepis kecurigaan, berpikir ini hanya pikiranku yang berlebihan. Tapi tatapan matanya, caranya menyebut nama Belinda, semua itu terasa berbeda.
Hari itu, aku menemukan pesan di ponselnya. Sebuah percakapan sederhana yang, bagi orang lain mungkin biasa saja, tetapi bagiku terasa seperti pengkhianatan.
Kata-kata yang penuh perhatian, nada yang menggambarkan keintiman, dan sebuah janji makan malam yang tak pernah ia ceritakan padaku.
Aku tahu aku harus menghadapinya. Tapi bagaimana caraku melawan sebuah cinta lama yang kini kembali tumbuh?
Di sudut hatiku, aku merasa hancur. Aku sudah memberikan segalanya untuk hubungan ini. Namun, melihat bagaimana mereka semakin dekat, aku merasa seperti tamu dalam pernikahanku sendiri.
Aku menatap Mas Danu dengan pandangan penuh luka, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya meski hatiku seperti tersayat-sayat. Suara gemetar keluar dari bibirku, “Mas, aku tahu... tentang kamu dan Belinda. Tolong jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi?”
Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Tatapannya berat, tapi ia tak mengelak. “Aku nggak bisa bohong lagi, Ca,” katanya dengan nada pelan. “Aku dan Belinda... iya, aku dekat lagi sama dia. Lebih dari sekadar bisnis.”
Hatiku seperti diremukkan saat mendengar pengakuannya. Aku berusaha menahan air mata, tapi mereka tumpah begitu saja. “Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega ngelakuin ini? Aku istrimu... apa aku nggak cukup buat kamu?” tanyaku dengan suara bergetar.
Dia menunduk, seolah malu mengakui apa yang baru saja dia ucapkan. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Ca. Awalnya cuma urusan kerjaan. Tapi lama-lama, aku mulai merasa nyaman sama dia. Dia bisa... dia ngerti aku, dia memenuhi semua yang aku butuhin.”
Kata-katanya seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungku. “Semua yang kamu butuhin?” aku mengulang, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “Jadi aku ini apa, Mas? Aku nggak pernah cukup buat kamu? Semua yang aku lakuin selama ini kurang?”
Dia menggelengkan kepala, tapi tak berani menatapku. “Bukan itu maksudku, Ca. Aku tahu kamu sudah berusaha. Tapi... aku merasa ada yang hilang di antara kita, dan Belinda... dia bisa kasih apa yang aku rasa nggak ada di hubungan kita.”
Aku berdiri dengan tubuh gemetar, hatiku seperti dihancurkan berkeping-keping. “Mas, aku ini istri kamu. Aku yang selalu ada buat kamu."
Dia hanya terdiam. Dan di saat itu, aku tahu—sebesar apa pun cintaku, sebanyak apa pun usahaku, aku tak lagi menjadi pilihan di hatinya.
Aku memutuskan untuk menemui mertuaku, ibu Mas Danu, dengan harapan ia akan memberikan dukungan atau setidaknya membantu menyadarkan suamiku. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Dengan suara pelan tapi penuh emosi, aku memulai, “Bu, saya perlu bicara. Ini tentang Mas Danu. Saya nggak tahu lagi harus gimana...”
Ibu mertua memandangku dengan tatapan datar. “Apa yang terjadi, Caca? Kamu terlihat gelisah.”
Aku menghela napas panjang, berusaha menahan air mata. “Bu, saya tahu ini berat, tapi Mas Danu... dia selingkuh. Dia menjalani hubungan dengan Belinda, mantannya. Mereka sudah melewati batas.”
Kulihat raut wajahnya berubah sedikit, tapi bukannya terkejut, ia justru terlihat tenang, bahkan dingin. “Belinda?” katanya, lalu tersenyum tipis. “Caca, kamu yakin nggak salah paham? Mungkin mereka cuma kerja sama biasa.”
“Tidak, Bu. Mas Danu sudah mengaku. Dia bilang dia nyaman sama Belinda karena Belinda bisa memenuhi apa yang dia butuhkan. Kata-kata itu keluar langsung dari mulutnya!” suaraku mulai meninggi karena rasa sakit yang membuncah.
Namun, responsnya benar-benar menghancurkan hatiku. “Caca, Mas Danu itu laki-laki. Kalau dia cari kenyamanan di luar, mungkin kamu harus introspeksi diri. Tanyakan pada dirimu, apa yang kurang dari kamu sebagai istri?”
Aku tertegun, seperti baru saja ditampar. “Bu, maksud Ibu apa? Saya sudah melakukan yang terbaik sebagai istri. Saya selalu ada untuk Mas Danu, mendukung dia, menjaga rumah tangga ini. Tapi kenapa sekarang semua malah salah saya?”
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya