Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 - Pacar Semata Wayang
Satu kecupan mendarat tepat di wajah tampan Faaz, jelas hal itu membuatnya panas dingin. Bagaimana tidak? Sedikit pun Faaz tidak menduga bahwa Ganeeta akan memberikan kecupan pada awalnya.
Pun dia juga tidak meminta, maksud Faaz kata-kata yang Ganeeta lontarkan. Akan lebih baik jika disertai embel-embel Mas karena secara pribadi dia suka mendengarnya.
Namun, di luar dugaan Ganeeta justru memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar embel-embel Mas di ucapan terima kasih, melainkan aksi nyata dan terkesan berani untuk gadis seusianya.
Selesai mendaratkan kecupan, Ganeeta tampak santai dan mulai menutup mata karena berakhir ngantuk sungguhan. Tak dia pedulikan bagaimana Faaz yang sedang kebingungan dalam kesendirian dan terus menatapnya penuh tanya.
"Dia mengecup pipiku barusan?" tanya Faaz bermonolog, wajahnya sampai memerah tatkala menyentuh bagian yang menjadi landasan tempat bibir ranum Ganeeta mendarat.
Sekian tahun tak pernah merasakan jantungnya berdebar hebat lagi, Faaz justru berakhir salah tingkah hanya karena seorang gadis pembuat onar yang masih masuk kategori bocah.
Bocah bira-hi kalau kata Ervano, entah atas dasar apa dia dijuluki separah itu, kebetulan mereka memang menutup aib Ganeeta hingga Faaz tidak tahu jelasnya.
Akan tetapi, jika melihat dari gelagat dan tingkahnya selama beberapa saat terakhir, Faaz mulai bisa menarik kesimpulan kenapa Ganeeta dijuluki bocah bira-hi.
Sedikit menyebalkan, Faaz agak tersinggung dengan julukan yang diberikan karena tak ubahnya bak hewan. Hanya saja, mengingat dia orang baru dan belum begitu berkuasa jelas tidak bisa marah.
"Ada-ada saja, dari mana dia belajar sampai punya inisiatif mencium pipiku," gumam Faaz perlahan beranjak dari atas tempat tidur dan berlalu keluar kamar.
Sudah tentu niatnya ingin keluar karena hari masih siang, agak aneh untuknya mengurung diri di dalam kamar sekalipun orang-orang bisa memaklumi lantaran statusnya masih pengantin baru.
Tanpa Faaz tahu, bahwa yang dia tinggalkan di dalam kamar kini tengah mengutuk diri sendiri lantaran baru menyadari bahwa baru saja salah mengambil tindakan.
"Jadi dia bukan minta cium?" tanya Ganeeta menepuk jidatnya.
Lama dia berpikir, wajah Ganeeta kembali bersemu merah lantaran malu untuk kesekian kalinya. "Aduh, bukannya sudah benar? Kalau bukan cium dia minta apa?"
"Zion selalu begitu, Om Pras juga dulu," ucap Ganeeta lagi kembali mengingat pengalaman yang sudah-sudah.
Kebiasaan mencium pipi Prasetya sewaktu kecil setiap kali diberikan hadiah atau semacamnya membuat Ganeeta berpikir semua pria itu sama.
Dulu, Pras tidak lagi bersedia dicium sewaktu Ganeeta beranjak remaja dengan alasan ciuman itu untuk pasangan saja.
Hingga, sewaktu menjalin hubungan bersama Zion, cowok itu kerap kali menunjuk pipi sebagai imbalan atas apa yang telah dia berikan.
Tak ayal, sewaktu Faaz meminta lebih dari sekadar ucapan terima kasih, tanpa pikir panjang Ganeeta justru mencium pipinya.
Ternyata, dugaan Ganeeta salah, Faaz tidaklah sama seperti Zion atau pria pada umumnya.
"Huft, terus ini gimana? Pura-pura amnesia saja kali ya?" tanya Ganeeta kembali bingung hendak bersikap bagaimana.
Rasanya, kejadian tadi pagi tak seberapa karena kali ini dia justru terlihat agre-sif di hadapan Faaz.
"Ah terserah ah, lagian salah dia kenapa tidak jelas bilangnya mau apa ... siapapun yang di posisiku pasti mikir begitu, 'kan?"
.
.
Meninggalkan Ganeeta yang kini tengah berseteru dengan isi kepalanya, di sisi lain Faaz tak berhenti tersenyum hanya karena satu kecupan tak terduga dari Ganeeta.
Sampai-sampai, dia tidak sadar bahwa yang duduk di sampingnya adalah sang mertua, bukan tukang parkir.
"Faaz ...."
"Hah? Iya, Pi?" Segera Faaz memperbaiki posisi duduknya dan kembali fokus dengan pembicaraan.
Papi Cakra yang sedari tadi bicara panjang lebar tentang Ganeeta rasanya sia-sia, hendak mengulang juga malas tentu saja.
"Kau dengar tidak?"
"Dengar, Pi," jawab Faaz sedikit berdebar lantaran sampai dites benar-benar dengar atau tidak.
Sebenarnya yang dibahas Papi Cakra masih berputar di situ-situ saja. Tidak lain dan tidak bukan perkara tingkah Ganeeta yang dia harapkan bisa Faaz perbaiki secara pelan-pelan.
Awalnya Faaz memang menyimak dengan seksama, tapi lama kelamaan dia tenggelam dalam lamunan tatkala ingat kecupan yang Ganeeta berikan.
"Kalau dengar apa yang terakhir Papi bahas, bisa kau ulang?"
Gleg
Sesuai dugaan, yang Faaz takutkan benar-benar terjadi. Seketika, lidah Faaz mendadak kelu dan bingung hendak mengatakan apa karena khawatir justru salah bicara.
"Makanya jangan melamun, apa yang kau pikirkan sebenarnya?"
"Maaf, Pi, tadi sedikit tidak konsen."
Helaan napas panjang terdengar sebagai pertanda bahwa pria itu kesal sebenarnya, beruntung saja tidak sampai marah.
"Ini ponsel Ganeeta," ucap Papi Cakra kemudian mengalihkan pembicaraan dan agaknya masalah yang tadi dia lewatkan begitu saja.
Meski sedikit bingung, Faaz tetap menerimanya dengan segera. "Ehm, bukankah ponselnya Papi sita?"
"Benar, tapi sekarang kau saja yang pegang ... mau kau berikan sekarang atau nanti juga terserah," ungkap Papi Cakra secara terang-terangan menyerahkan Ganeeta sebagai tanggung jawab Faaz.
Hal itu juga menunjukkan bahwa Papi Cakra memang lepas tangan dan tidak lagi punya tenaga untuk mengatur hidup Ganeeta.
Hanya saja, memang masih diawasi dengan cara meminta Faaz tetap tinggal di sana agar tidak terlalu kewalahan mengingat Ganeeta bisa saja melakukan tindakan di luar batas nantinya.
"Dengan catatan, awasi dan jangan sampai dia berhubungan dengan pacar dan juga teman-temannya yang tidak jelas itu."
Faaz mengangguk, tugasnya kini bertambah dan bisa dipastikan akan lebih sulit tentu saja.
Usai mendapat amanah seberat itu Faaz tak segera beranjak dari tempatnya, mereka masih lanjut mengobrol tentang banyak hal.
Bahkan mereka sempat menunaikan shalat Ashar berjamaah demi menjalin kedekatan yang lebih mendalam tentu saja.
Baru setelah itu, Faaz kembali naik dan begitu masuk kamar Ganeeta sudah terlihat segar dengan set piyama super pendek yang memperlihatkan kemolekan tubuh mungilnya.
Terlihat tidak was-was atau berusaha melindungi diri karena takut dijamah, Ganeeta bahkan santai saja sewaktu tahu suaminya perlahan mendekat.
"Dari mana? Kok baru muncul," ucapnya basa-basi seraya fokus mengeringkan rambutnya.
"Ngobrol di bawah sama papi," jawab Faaz seadanya yang kemudian ditanggapi dengan anggukan dari Ganeeta.
Tak berselang lama, Faaz kemudian merogoh saku celana dan meletakkan benda pipih yang begitu Ganeeta rindukan di atas meja rias.
"Eh? Kok bisa sama kamu?"
"Papi yang kasih, beliau bilang boleh lanjut disita atau diberikan sekarang."
"Terus ini artinya Mas Faaz milih diberikan sekarang?"
"Iya," ucap Faaz seketika membuat mata Ganeeta berbinar.
Dia yang telanjur senang tanpa basa basi melemparkan hair dryer hingga terjatuh ke lantai, sementara tangannya segera meraih ponsel di sana.
"Ya ampun ... makasih banyak, aku harus menghubungi Zion sek_"
"Eits, tunggu dulu," ucap Faaz secara tiba-tiba merebut kembali ponsel Ganeeta. "Siapa bilang kamu boleh menghubungi laki-laki itu?"
"Kok gitu? Zion itu pacar semata wayangku, dia pasti nungguin kabar dari aku."
"Iya dia memang pacar semata wayangmu, tapi apa kamu yakin kamu adalah pacar semata wayangnya? Hem?"
.
.
- To Be Continued -