Desi 25th, wanita hamil 7 bulan yang menjalani kehidupan sederhana namun penuh kasih bersama suaminya, Bima, kapten pemadam kebakaran.
Suatu hari, nasib mempertemukan Desi dengan tragedi besar. Ketika ia terjebak di dalam reruntuhan sebuah bangunan, ia menelfon suaminya untuk meminta pertolongan.
Namun, harapannya pupus saat Bima lebih memilih menolong cinta pertama dan anak nya 5th.
Hati Desi hancur saat melihat suaminya memprioritaskan orang lain, meskipun ia sendiri berada dalam bahaya.
Di tengah derita fisik dan emosional, tragedi semakin besar. Saat dilarikan ke rumah sakit, Desi mengalami pendarahan hebat. Bayinya meninggal dalam kandungan, dan Desi koma selama tiga hari.
Ketika Desi membuka matanya, ia bukan lagi wanita yang lemah dan penuh luka. Jiwa baru telah memasuki raganya, jiwa seorang perempuan kuat dan pemberani.
Dengan kenangan Desi yang masih melekat, ia bertekad menjalani hidup baru dan meninggalkan suami nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Lagi...
Ketika Desi tiba di lantai 1, pintu lift terbuka dengan lembut. Di hadapannya, ada dua pria berdiri, tampaknya sedang menunggu lift. Desi, yang santai dan cuek, keluar tanpa memedulikan siapa pun di sekitarnya.
Namun, langkahnya terhenti saat tiba-tiba salah satu pria menarik tangannya.
"Apa-apaan sih ini? Main tarik Aja, nggak sopan banget!" sergah Desi dengan nada marah tanpa sempat melihat siapa pelakunya.
Pria yang menarik tangannya hanya menaikkan satu alis, seolah menantang.
Desi mendongak, dan betapa terkejutnya ia saat melihat wajah orang yang memegang tangannya. Namun, keterkejutannya hanya berlangsung sesaat. Dengan cepat, ia menguasai ekspresinya dan memasang senyum genit.
"Oh, hai, Om Tampan. Kita bertemu lagi, ya," ucap Desi dengan santai, membuat suasana terasa aneh.
Ternyata pria itu adalah Gabriel—atau El—orang yang pagi tadi ia tabrak di restoran dan yang memintanya menjadi kekasih pura-pura dengan bayaran 50 juta. El mengenakan pakaian yang sama seperti tadi, hanya saja tangannya sudah tidak dibalut sarung tangan.
"Om? Saya masih muda, ya," ujar El dengan nada dingin namun tajam.
"Oh," jawab Desi, datar seolah itu bukan masalah besar.
"Kok cuma 'oh'?" balas El, merasa dipermainkan.
"Lah terus, mau gimana? Oh ya, ngapain main tarik-tarik tangan aku segala? Mau ngajak jadi kekasih pura-pura lagi? Kalau iya, aku mau, kok. Tapi bayarannya 50 juta lagi, ya." Desi menyeringai, jelas menikmati kekesalan pria di depannya.
El menghela napas pendek, mencoba menahan amarah. "Enak saja. Ngapain kamu di sini?"
"Hah? Ya suka-suka saya lah, Om Tampan. Kok kepo banget, sih," jawab Desi, tetap santai dan menantang.
"Saya tanya yang benar," El mendesak, nadanya lebih tegas.
"Hm," Desi menjawab dengan gumaman ringan, seolah sengaja membuat pria itu makin kesal.
El tampak geram. Matanya menyipit, tapi ia memilih menyerah untuk melanjutkan percakapan yang tampaknya tak akan membawa hasil. "Ya sudah. Pergi sana."
"Oke, bye-bye, Om Tampan," ucap Desi dengan nada menggoda, mengedipkan sebelah matanya sebelum berbalik pergi.
Saat ia melangkah menjauh, Desi sempat melambaikan tangan kepada pria satunya, Jay, asisten El. "Dah, Kakak," sapanya santai tanpa menoleh.
Jay hanya tersenyum kecil, sementara El berdiri diam, menatap punggung Desi yang menjauh dengan campuran rasa kesal dan bingung.
Desi berjalan keluar gedung tanpa beban, meninggalkan kedua pria itu di belakangnya, seolah insiden tadi bukanlah hal besar.
Desi melangkah ringan menuju mobilnya yang terparkir di area basement. Langkahnya penuh percaya diri, bahkan setelah insiden kecil dengan pria tadi. Ia membuka pintu mobil dan masuk dengan santai, lalu menyalakan mesin.
"Baiklah, waktunya pulang," gumam Desi pada dirinya sendiri, memutar lagu favoritnya untuk menemani perjalanan. Musik lembut mulai mengalun, menenangkan suasana sore yang mulai beranjak gelap.
Sambil mengemudi, pikirannya melayang pada kejadian tadi di gedung apartemen. Wajah pria tadi terlintas di benaknya, terutama tatapan tajam pria itu yang entah mengapa terasa seperti tantangan.
“Om tampan itu aneh banget. Suka-suka aku dong mau ngapain disana, kok malah dia yang sewot,” Desi tertawa kecil, menggelengkan kepala.
Ia melirik ponselnya yang terletak di dashboard. Masih ada pesan dari Maya yang ia balas tadi. Sekilas Desi tersenyum.
“Semua akan indah lusa. Tunggu saja kejutan dari aku,” katanya sambil memutar setir menuju jalan utama.
Langit yang mulai berubah jingga membuat suasana perjalanan terasa syahdu.
Mobilnya meluncur ke arah kediaman lamanya, tempat yang Desi huni beberapa hari setelah pulang dari rumah sakit.
Desi melangkah keluar dari mobil dengan santai, wajahnya tetap tenang meski sebenarnya ia sudah muak dengan drama keluarga Bima. Begitu pintu mobil tertutup, suara cempreng langsung menyambutnya.
"Enak ya, suami kerja, bukannya di rumah malah enak-enak keluar! Dari mana saja kamu?" suara itu berasal dari Bu Denes, mertuanya, yang berdiri di depan pintu rumah dengan tangan di pinggang.
Desi menghela napas panjang, menoleh sekilas, lalu melangkah masuk tanpa berkata sepatah kata. Namun, suara Bu Denes terus mengusiknya.
"Mana juga nih pembantu sialan? Gak ada di rumah! Kita pulang belum ada makanan. Apa kerjaan kalian di sini, hah?"
Desi berhenti sejenak di tangga sebelum melangkah naik, berbalik menghadap Bu Denes dengan ekspresi datar. "Bi Inah pamit pulang kampung, Bu. Kalian kalau lapar, ya masaklah sendiri. Jangan cuma ongkang-ongkang kaki makan tidur gratis." Nada suaranya sinis, dan ia tidak peduli bagaimana mertuanya bereaksi.
Wajah Bu Denes merah padam. Ia menunjuk Desi dengan jarinya yang gemetar. "Kau...! Sudah berani sekarang, ya? Kamu ini hanya beban anak saya! Saya pastikan, jika Bima nanti menikah dengan Maya, saya akan membuat kalian cerai dan kamu harus meninggalkan tempat ini!"
Desi tersenyum kecil, mendekatkan wajahnya ke Bu Denes. "Ooo... Takuuuut," ucapnya sambil berlalu meninggalkan wanita itu.
"Desi! Desi! Dasar menantu kurang ajar! Sini dulu! Masak kamu, saya lapar!" teriak Bu Denes dengan suara melengking yang menggema di seluruh rumah.
Jojo dan Jeje, anak Bu Denes, muncul dari arah lain dengan wajah kesal.
"Apa sih, Mah? Teriak-teriak kayak orang kesetanan," gerutu Jojo sambil menguap. Rambutnya acak-acakan, ia baru saja bangun tidur.
"He em... Kedengeran sampai di kamar, tahu!" Jeje menambahkan, wajahnya kusut karena terganggu istirahatnya.
"Itu, loh! Menantu kurang ajar itu! Baru pulang, bukannya masak, malah pergi gitu aja! Mana Mama lapar. Bi Inah juga gak ada!" Bu Denes mengadu dengan nada tinggi.
Jojo terbelalak. "Apa? Jadi malam ini gak ada makan malam?"
Jeje ikut berseru, "Iya, serius nih? Kalau gitu biar Jeje labrak Mbak Desi biar masak sekarang juga!"
"Aku ikut!" Jojo langsung berlari mengikuti Jeje yang sudah menuju ke arah tangga.
Sementara itu, Desi sudah sampai di depan pintu kamarnya. Ia mengeluarkan kunci dari tas kecilnya, hendak memasukkannya ke lubang kunci. Namun, langkah seseorang menghentikannya.
"Sayang... Kamu ke mana saja?" suara Bima terdengar lembut dari belakang.
Desi berbalik dengan ekspresi datar, matanya menatap suaminya yang kini berdiri tak jauh darinya. "Aku mengirimkan pesan tadi, tapi kok tidak kamu balas?" tanya Bima dengan wajah penuh kekhawatiran palsu.
Desi mengangkat bahu. "Sibuk."
Bima mendekat, menatapnya dengan ekspresi cemas. "Kamu baik-baik saja? Aku khawatir."
Desi hampir tertawa mendengar kalimat itu. Dalam hati ia mengejek, Khawatir? Ndasmuuu. Mana ada orang khawatir tapi sibuk dengan calon istri? Hah, puas-puasin saja, Bim. Lusa, aku tendang kalian dari hidupku.
Namun, Desi hanya menjawab dengan gumaman singkat. "Hm."
Bima terlihat kebingungan. "Kok 'hm' saja? Aku serius, lho."
Desi hendak membalas, tetapi tiba-tiba suara lantang dari tangga memotong pembicaraan mereka.
"Mbak Desi!!" teriak Jojo dari tangga, diikuti langkah kaki yang terburu-buru mendekat.
Desi dan Bima serempak menoleh ke arah suara itu. Desi menaikkan satu alis, menatap mereka yang hampir Sampai ke arahnya dengan tatapan malas.
APA!!!
Teriaknya balik dengan nada tidak sabar.
Teriakannya membuat ketiganya, Bima, Jojo, dan Jeje, tercengang sejenak.
Jojo akhirnya menjawab. "Mbak Desi, mana Bi Inah? Kenapa malam ini gak ada makanan? Kami lapar. Cepat, Mbak, masak!"
Desi mendengus kesal, melipat tangan di dada. "Heh, aku ini bukan babu kalian yang bisa seenaknya disuruh masak. Itu perut kalian, urus sendiri. Selama ini juga aku gak pernah masak."
Jojo membelalak, sementara Jeje memasang wajah bingung. "Tapi Mas Bima kan suami Mbak. Harusnya Mbak melayani dia!" ujar Jojo dengan nada menuntut.
Desi menatap Bima, matanya tajam. "Oh, benarkah? Jadi aku harus melayani dia? Gimana, Bima? Setuju dengan adikmu?"
Bima terlihat kelabakan, wajahnya berubah gugup. Bima takut hubungannya dengan istrinya bertambah buruk. "Eh, sudahlah. Jangan dibesar-besarkan. Tinggal pesan makanan online saja, apa susahnya sih," ujarnya buru-buru sambil mengeluarkan ponselnya.
Ia mulai memesan makanan dengan wajah canggung, mencoba mengalihkan perhatian. "Ini, aku pesan yang kalian suka, ya. Mama juga."
Desi tidak peduli lagi. Ia memasukkan kunci ke lubang pintu, membuka pintunya, dan masuk ke dalam tanpa berkata apa-apa.
Bima, yang merasa tidak ingin kalah, segera mengikuti langkah Desi. Namun, tepat saat ia hendak masuk, Desi menutup pintu dengan cepat.
Bam! Pintu itu tertutup rapat, dan wajah Bima langsung terbentur.
"Aw!" erangnya, sambil memegang hidungnya yang sakit.
Dari dalam kamar, Desi mendengar suara itu dan tersenyum tipis. "Rasain," gumamnya. Ia melepaskan tasnya, merebahkan diri di ranjang, dan menatap langit-langit kamar sambil menutup mata.
skg d kmr.
msh sama yg banting pintu
semangat Thor