Dendam Berbalas Madu
Aku duduk di sofa, menyesap kopi dingin sambil memandang kakakku, Bayu, yang tampak lelah setelah pulang kerja. Dia duduk di depan televisi, memijat pelipisnya seolah dunia ini terlalu berat untuk ditanggung. Aku tersenyum tipis. Ini momen yang tepat.
Aku tahu Bayu selalu mendengarkan aku. Dia mungkin keras kepala di depan orang lain, tapi kalau aku yang ngomong, pasti masuk ke otaknya.
Aku adiknya satu-satunya, dan aku tahu bagaimana cara membujuknya. Apalagi sekarang, setelah istrinya, Dina, mulai mengatur segalanya. Terlalu banyak aturan sampai-sampai uang buat gaya aku pun dihentikan. Gila, kan? Mana bisa aku diam saja?
“Mas,” panggilku pelan, memecah keheningan.
Mas Bayu menoleh, matanya lelah tapi penuh perhatian. “Apa, Ca?”
Aku menghela napas, memasang ekspresi sedikit sedih. “Aku cuma mau ngomong, tapi kamu jangan marah, ya.”
Dia mendengus pelan. “Kamu ini, ngomong aja kayak takut dimarahi. Ada apa?”
Aku berpindah duduk lebih dekat, menyentuh lengannya seolah memastikan dia benar-benar mendengarkan. “Mas capek, ya? Aku lihat Mas akhir-akhir ini kelihatan nggak bahagia. Mbak Dina... bukannya bikin Mas senang, malah kayak bikin beban tambah berat.”
Dia menatapku dengan kening berkerut. “Maksud kamu apa?”
Aku pura-pura ragu sejenak, lalu berkata pelan, “Mas tahu nggak, istri yang baik itu harusnya mendukung suaminya, termasuk... mendukung keluarga suaminya juga. Mbak Dina itu... aku nggak bilang dia nggak baik, tapi kayaknya dia nggak ngerti cara bikin Mas bahagia. Kadang aku mikir, mungkin Mas lebih cocok sama orang lain.”
Wajah Bayu berubah, tapi aku nggak berhenti. Aku tahu aku harus menanamkan ide ini perlahan. “Aku nggak bilang Mas harus apa-apa sekarang. Cuma... coba pikirin, Mas. Mas Bayu layak dapat yang lebih baik. Yang bisa bikin Mas bahagia.”
Dia terdiam, memikirkan ucapanku. Aku tahu ini nggak akan langsung berhasil, tapi aku yakin bibit idenya sudah tertanam. Kalau mbak Dina nggak mau berubah, mungkin sudah waktunya dia diberi pelajaran. Aku cuma ingin yang terbaik untuk, Mas Bayu—dan untuk aku juga, tentunya.
Aku menatap kembali Mas Bayu yang masih duduk di sofa, matanya menatap layar televisi, tapi aku tahu pikirannya pasti melayang entah ke mana.
"Mas," panggilku pelan, memastikan suaraku cukup lembut tapi menusuk.
Dia menoleh lagi, alisnya sedikit terangkat. "Kenapa, Ca?"
"Mas Bayu dengar aku kan, soal Mbak Dina. Maksudku, dia baik sih, tapi… apa Mas nggak pengen punya istri yang lebih... cantik? Lebih serasi sama Mas?"
Reaksinya nggak langsung keluar, tapi aku bisa lihat dia terdiam sejenak. Itu pertanda baik.
"Dina itu istri aku, Ca," akhirnya dia menjawab, suaranya terdengar tegas tapi nggak terlalu yakin.
Aku mendekat sedikit, mencoba menatap matanya. "Aku tahu, Mas. Tapi coba pikir deh. Mas itu sukses, mapan, ganteng lagi. Mas bisa dapat istri yang lebih dari Mbak Dina. Nggak salah kan kalau aku cuma pengen Mas punya pasangan yang sepadan?"
Dia menghela napas, mengalihkan pandangannya. "Aku nggak pernah mikir kayak gitu."
Aku tersenyum kecil, pura-pura lembut. "Ya, karena Mas terlalu baik. Tapi coba deh Mas lihat, bandingin Mbak Dina sama istri-istri temen Mas. Mbak Dina tuh biasa aja, Mas. Aku cuma nggak mau Mas... ya, nyesel nantinya."
Aku tahu, kata-kataku mulai mengena. Dia nggak langsung membantah, malah diam lebih lama dari sebelumnya. Aku nggak perlu desakan berlebihan. Cukup tanam benih ini, sisanya biar waktu yang bekerja.
...****************...
Aku duduk di kamar sambil menggulir layar ponsel, mencari sesuatu yang bisa meyakinkan rencana ini berhasil. Perempuan. Cantik, menarik, dan yang penting, jauh lebih memukau daripada Mbak Dina. Aku nggak peduli lagi. Sejak Mbak Dina mulai ikut campur urusan keluarga, aku merasa hidupku jadi terkekang.
Dulu, aku bebas minta apa saja dari Mas Bayu. Tapi sekarang? Mbak Dina selalu pasang muka sok bijak setiap kali aku minta uang. “Caca, nggak semua hal bisa diselesaikan dengan uang,” katanya, dengan senyum manis yang selalu bikin aku ingin muntah.
Hari ini cukup. Kalau Mbak Dina bisa masuk ke dalam keluarga ini, maka dia juga bisa digantikan. Dan aku tahu Mas Bayu sebenarnya pantas dapat yang lebih baik.
Sambil membuka media sosial, aku menemukan profil perempuan yang sempurna. Namanya Laras, seorang model freelance dengan wajah seperti bidadari. Foto-fotonya memamerkan senyum manis, tubuh semampai, dan aura yang jauh lebih memikat daripada Mbak Dina. Aku segera mengirim pesan singkat, menawarkan perkenalan.
“Mas Bayu pasti bakal suka sama dia,” pikirku sambil tersenyum puas.
Aku mulai menyusun langkah berikutnya. Laras harus bertemu Mas Bayu. Aku mengatur semuanya dengan hati-hati, memastikan seolah-olah pertemuan itu kebetulan.
Hari berikutnya aku datang lagi ke rumah kakakku, terlihat mbak Dina sedang menyiram tanaman. Tapi aku tidak peduli kepadanya dan masuk begitu saja untuk bertemu kakakku.
“Mas, ada teman aku yang baru balik dari luar kota, dia bilang pengen ketemu orang sukses kayak Mas,” kataku pada Mas Bayu, menanamkan ide itu dengan nada ringan.
Mas Bayu menatapku sekilas, sepertinya sedikit curiga. “Teman? Maksud kamu apa, Ca?”
Aku tersenyum, memasang wajah polos. “Cuma pertemanan, Mas. Siapa tahu dia bisa kasih inspirasi buat bisnis Mas. Lagian, nggak salah kan punya kenalan baru?”
Dia akhirnya mengangguk, meskipun kelihatannya ragu. Bagiku, itu sudah cukup.
Di belakang layar, aku menunggu semuanya berjalan seperti yang aku rencanakan. Kalau Laras bisa merebut perhatian Mas Bayu, Mbak Dina nggak akan punya ruang lagi di keluarga ini. Dan aku? Aku akan kembali mendapatkan apa yang seharusnya jadi milikku.
Walaupun aku sudah punya segalanya—suami yang mapan, pekerjaan di perusahaan besar, rumah megah di kawasan elit. Orang lain mungkin berpikir hidupku sempurna.
Tapi aku tahu, itu belum cukup. Di lingkaran sosialku, status bukan hanya tentang apa yang kau miliki, tapi juga seberapa besar kau bisa menunjukkan kekuasaanmu, seberapa bebas kau hidup tanpa batasan.
Dan di situlah masalahku. Suamiku memang kaya, tapi uangnya bukan sepenuhnya milikku. Aku tetap harus “minta izin” kalau ingin membeli sesuatu yang lebih mahal. Itu menjengkelkan. Apalagi sejak Mbak Dina masuk ke keluarga kami, aku kehilangan satu-satunya kebebasan yang tersisa—Mas Bayu.
Dulu, Mas Bayu selalu ada untukku. Apapun yang aku minta, dia pasti berikan tanpa banyak tanya. Tapi sejak menikah dengan Mbak Dina, segalanya berubah.
Mbak Dina selalu mengontrol uangnya, membuat alasan soal pengeluaran keluarga. Dan itu membuatku merasa kecil di depan teman-temanku yang selalu pamer belanja barang-barang mahal tanpa perlu mikir dua kali.
Aku benci itu. Aku nggak mau jadi yang nomor dua. Aku harus merebut kembali posisi teratasku.
Maka aku putuskan, Mbak Dina harus disingkirkan. Dia adalah penghalang terbesar dalam hidupku sekarang. Kalau aku bisa menemukan perempuan yang lebih cantik dan menarik untuk Mas Bayu, dia pasti akan mulai melihat Mbak Dina sebagai beban, bukan pasangan.
Aku tidak peduli apa kata orang nanti. Yang penting, aku mendapatkan kendali atas Mas Bayu lagi. Aku bisa meminta apapun yang aku mau, kapanpun aku mau. Karena pada akhirnya, aku lah yang seharusnya menjadi pusat perhatian, bukan Mbak Dina, bukan siapa pun.
Aku mungkin terlihat seperti perempuan yang hidupnya sempurna—punya suami kaya raya dengan jabatan tinggi di perusahaan besar, rumah mewah, dan akses ke segala hal yang aku inginkan.
Tapi apa artinya semua itu kalau hidupku di dalam rumah tangga terasa seperti perang dingin setiap hari?
Mertuaku, sejak awal, memang tidak pernah benar-benar menyukaiku. Mereka selalu memandangku sebelah mata, seolah aku hanya perempuan manja yang nggak pantas menikah dengan anak mereka.
Aku tahu mereka menganggapku boros. Ya, aku memang suka memanjakan diri. Tapi salahkah aku ingin menikmati hidupku sendiri? Bukankah uang suamiku juga untuk kebahagiaan keluarganya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments