para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Panggilan dari Kegelapan
Malam itu, Hutan Giripati kembali menampakkan sisi terkelam nya. Kabut tebal turun tanpa peringatan, menutupi desa dan hutan di sekitarnya. Suara jangkrik yang biasanya mengisi malam lenyap, digantikan oleh keheningan yang memekakkan telinga.
Arga, yang sekarang hidup sebagai penjaga hutan, merasakan getaran aneh. Seperti ada sesuatu yang besar dan mengerikan tengah bangkit dari kedalaman hutan.
Di kejauhan, terdengar suara-suara samar—bukan suara binatang, melainkan bisikan. Suara itu memanggil, seperti ribuan suara yang bercampur menjadi satu, mengucapkan nama Arga dengan nada dingin dan mengancam.
“Arga… kembalilah… ke dalam kegelapan.”
Arga berdiri di tengah pondoknya, tubuhnya kaku. Suara itu tidak hanya datang dari luar. Suara itu ada di dalam kepalanya.
Sebuah Pertemuan
Merasa terpanggil, Arga meninggalkan pondoknya tanpa sadar. Kakinya bergerak seolah-olah dikendalikan oleh sesuatu yang lebih besar. Ia berjalan menuju jantung hutan, tempat pohon raksasa pernah berdiri.
Saat ia tiba, pemandangan di depannya membuat darahnya membeku.
Di tengah lapangan kosong, berdiri sebuah pohon baru. Tidak sebesar pohon sebelumnya, tetapi memiliki aura yang sama kelamnya. Dahan-dahannya yang bengkok seperti tangan yang meraih ke segala arah, dan dari batangnya, cairan hitam perlahan menetes ke tanah.
Namun, yang membuat Arga merasa perutnya mual adalah apa yang ada di bawah pohon itu: mayat-mayat menggantung, terbungkus akar-akar pohon seperti tali.
Mayat-mayat itu adalah para penduduk desa yang hilang beberapa minggu lalu.
“Apa ini…?” Arga berbisik, suaranya gemetar.
Sebelum ia bisa melangkah lebih dekat, akar-akar pohon bergerak, seolah memiliki nyawa. Salah satu mayat—seorang pria tua—mengangkat kepalanya, matanya kosong, tetapi mulutnya terbuka.
“Kau seharusnya tidak kembali,” suara pria tua itu terdengar serak dan aneh, seperti dicampur dengan suara lain yang lebih dalam. “Kami adalah peringatan. Kegelapan tidak pernah menyerah.”
Arga mundur, tetapi akar-akar itu merayap ke arahnya, mencoba menjangkaunya.
Bayangan di Antara Kabut
Sebelum akar itu berhasil menangkapnya, Arga mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia berbalik dan melihat sosok yang tidak ia duga Dinda.
Namun, Dinda yang berdiri di hadapannya bukanlah Dinda yang ia kenal. Matanya hitam sepenuhnya, dan wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun.
“Arga,” katanya, suaranya datar. “Kau pikir kau bisa melawan ini? Kau pikir kau bebas?”
Arga merasa darahnya berhenti mengalir. “Dinda… kau seharusnya…”
“Mati?” potong Dinda. “Kami semua adalah bagian dari hutan ini sekarang. Kau juga akan menjadi bagian darinya, cepat atau lambat.”
Tiba-tiba, Dinda melangkah maju, tangannya berubah menjadi akar-akar hitam yang menjalar cepat ke arah Arga.
Arga berhasil menghindar tepat waktu, tetapi akar-akar itu terus mengejarnya. Ia berlari melalui hutan, mencoba mencari jalan keluar, tetapi kabut semakin tebal, menutup pandangannya.
Sambil berlari, ia mendengar suara-suara lain—bisikan-bisikan yang semakin keras, disertai tawa yang mengerikan.
“Tidak ada jalan keluar, Arga. Kau milik kami.”
Arga berhenti di sebuah tebing kecil. Di bawahnya, jurang gelap menganga.
Di balik kabut, Dinda dan sosok-sosok lain muncul. Mereka semua adalah teman-temannya yang telah hilang: Andre, Citra, Bima. Namun, tubuh mereka sudah berubah. Kulit mereka pucat, mata mereka kosong, dan akar-akar hitam tumbuh dari tubuh mereka seperti parasit.
“Arga…” suara mereka bersamaan. “Bergabunglah dengan kami. Kau tidak bisa melawan. Ini adalah takdirmu.”
Arga tahu ia tidak bisa bertarung melawan mereka semua. Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan kegelapan ini terus menyebar.
Dengan napas berat, ia menarik sebilah pisau yang selalu ia bawa—pisau yang ia gunakan untuk berburu dulu.
“Jika aku harus menjadi bagian dari ini…” katanya, suaranya tegas. “Aku akan memastikan kegelapan ini mati bersamaku.”
Ia menusukkan pisau itu ke dadanya.
Darah mengalir deras, tetapi bersama dengan darah itu, keluar asap hitam yang sama seperti yang ia lihat di altar dulu. Asap itu melayang ke udara, berputar-putar, sebelum diserap oleh pohon raksasa yang baru tumbuh.
Pohon itu bergetar hebat, akar-akarnya mulai layu, dan dahan-dahannya patah satu per satu.
Sosok-sosok teman Arga berhenti bergerak, tubuh mereka membusuk dengan cepat sebelum akhirnya hancur menjadi abu.
Namun, Arga tidak merasakan kemenangan. Dengan tubuh yang melemah, ia jatuh ke tanah, pandangannya mulai memudar.
Ketika fajar menyingsing, penduduk desa menemukan Arga tergeletak di tengah hutan, di bawah sisa-sisa pohon yang telah hancur.
Ia masih bernapas, tetapi tubuhnya penuh luka. Ketika ia terbangun, ia berkata dengan suara lemah:
“Kegelapan itu tidak akan pergi… aku adalah penjaranya sekarang.”
Penduduk desa memutuskan untuk tidak lagi mendekati Hutan Giripati. Mereka tahu bahwa meskipun kegelapan itu telah dikalahkan untuk sementara, hutan itu tetap berbahaya.
Arga tidak pernah kembali ke desa. Ia memilih untuk tinggal di dalam hutan, menjadi penjaga yang abadi.
Namun, setiap malam, dari kejauhan, penduduk desa mendengar suara bisikan yang datang dari dalam hutan.
Bisikan itu selalu memanggil:
“Arga… Arga…”
Dan mereka tahu, bahwa suatu hari nanti, kegelapan itu akan kembali.