Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus selalu mengalah dalam segala hal, entah mengalah untuk kakak ataupun kedua adik kembarnya.
Menjadi anak tengah dan harus selalu mengalah, membuat Anggun menjadi anak yang serba mandiri dan tangguh.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan karena keadaan dan situasi dalam keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EMPAT
Tamparan keras pak Tono mendarat tepat di pipi kiri Deni, membuat remaja itu sedikit terhuyung. Matanya terbelalak kemudian seraya memegangi pipinya yang terasa panas oleh tamparan sang ayah.
"Ayah ... apa yang ayah lakukan ... kenapa ayah jadi seperti ini?" Rasanya tak percaya memang, ayah yang selama ini sangat dekat dan begitu menyayanginya, tiba-tiba berubah menjadi sesosok asing yang tak pernah terbayangkan oleh Deni.
"Den ... eh ... maafkan ayah ... ayah ...." Pak Tono seakan tersadar, dengan terbata ia berusaha meraih sang putra.
Deni yang masih syok, menatap ayahnya seraya menggelengkan kepala sebagai ungkapan rasa tak percayanya, "Enggak Yah ... ini nggak benar ... aku nggak percaya ayah bahkan dengan sadar melakukan kejahatan. Ayah bukan lagi manusia. Aku ... Aku harus memberitahu ibu."
Rasa kecewa dan marah terlanjur menguasai batin Deni, ia bergegas meninggalkan sang ayah untuk pulang.
"Setan!! Sialan!! Kenapa jadi seperti ini?!" umpatan demi umpatan mengalir mulus dari mulut remaja itu, sebagai ungkapan kesalnya. Entah pada sang ayah, entah pada nasib yang mengharuskannya menerima tamparan siang ini.
Deni mengendarai motor sport yang dibelikan sang ayah sewaktu ulang tahunnya beberapa bulan lalu dengan kecepatan tinggi, membuat pak Tono yang menyusul dengan mobil sangat jauh tertinggal.
"Sial! Anak itu sangat penurut, tapi aku lupa menyuruhnya langsung pulang, malah menyusul ke kantorku. Ah ... sial! Sial! Sial!!!" sesal Pak Tono seraya mengendalikan kemudinya.
Jalanan siang itu sedikit padat, membuat pak Tono kehilangan jejak putranya.
"Aduh malah macet lagi, Sial!" umpat pak Tono. "Ada apa sih? Rame-rame di depan, bikin macet aja!"
Beberapa pria tampak mengatur arus lalu-lintas, mengalihkan beberapa ke jalur disebelahnya, membuat kemacetan semakin parah.
"Ada apa toh, Mas? Makin macet!" teriak pak Tono melongok keluar jendela pada seorang pemuda.
"Kecelakaan tunggal Pak! Bocah kebut-kebutan nabrak truk yang lagi parkir!"
"Owalah! Pamer kemampuan, pengen jajal kerasnya aspal kali, hahaha ...!" kelakar pak Tono seraya memajukan perlahan mobilnya sesuai arahan beberapa orang.
"Hahaha ... kayaknya iya Pak. Motor sport mahal yang dibawa, semoga bukan hasil minjem temannya."
"Parah toh, Mas?"
"Iya Pak, bocahnya sampe mental ke tengah jalan, helmnya lepas, ya sudah kepalanya bocor."
"Wah ... mari Mas!" seru Pak Tono kembali melaju setelah arus kembali normal.
Tiba-tiba ponselnya berdering, panggilan masuk dari sang istri.
"Halo Bu? Aku masih dijalan, jangan dengarkan ocehan Deni. Anak itu cuma salah paham." Tak ingin ada perdebatan dengan sang istri, pak Tono memberikan penjelasan di awal.
"Kamu itu ngomong apa toh Pak! Cari Deni! Ada yang nelpon ibu kalau Deni kecelakaan! Ibu juga mau berangkat dari rumah sekarang! Huuuu ... hiks ..." terang Bu Anas dari seberang panggilan.
Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut pak Tono. Tiba-tiba lidahnya menjadi kaku, dengan cepat ia memutar balik kemudi, kembali menuju ke tempat kejadian kecelakaan yang baru saja ia lewati.
Bukan salahnya juga yang tak melihat kondisi korban, karena kebetulan mobil pak Tono terhalang sebuah mobil box saat melintasi TKP yang berada di arus seberangnya, ditambah kerumunan beberapa warga.
Dan benar, pak Tono melihat motor putranya sudah hancur tak berbentuk. Wajar karena benturan yang sangat keras. Ia segera turun dari mobilnya, berjalan tergesa untuk melihat situasi TKP.
Beberapa orang bahkan menghalangi langkahnya, "Dia ... anak saya ...." Hanya kalimat penyesalan yang keluar dari mulutnya tatkala melihat putranya diangkut petugas medis ke dalam sebuah ambulan.
Seorang polisi menghampiri pak Tono, "Benarkah ia adalah putra Bapak?"
"Benar, Pak. Saya akan menyusul ke rumah sakit!" Buru-buru ia kembali ke mobilnya.
Pak Tono, Bu Anas dan Anisa, adiknya Deni, menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Tak ada percakapan yang berarti, semua khusyuk dalam doa berharap Deni masih bisa terselamatkan, mengingat cedera parah di kepalanya yang dokter katakan peluang untuk selamatnya lima puluh persen saja.
Hanya terdengar Isak Kelu Bu Anas yang duduk didampingi Anisa yang terlihat sedikit lebih tegar. "Semoga Mas Deni selamat, Bu. Mas Deni kan kuat."
"Huum, semoga Nis, hiks ... hiks ...."
.
.
.
Thalia mengantar pulang Anggun setelah sahabatnya itu lebih tenang. Sebelumnya saat semua teman berkumpul untuk menyelesaikan tugas kelompok, Thalia membiarkan Anggun tertidur di kamarnya yang lain, agar teman-teman lainnya tak perlu tahu apa yang terjadi pada Anggun.
"Tante, maaf ya karena kecerobohan saya, Anggun jadi terluka." Thalia memainkan peran untuk melindungi sahabat baiknya.
"Oh? memangnya kenapa Nak?" Bu Maryani menatap khawatir pada putri dan juga Thalia.
"Maaf Tante, tadi kan saya boncengin Anggun, karena melamun jadi saya nggak lihat jalannya lobang. Kami jatuh, tapi Anggun lebih parah," ucap Thalia seraya menahan detak jantung yang terasa mau meledak.
"Mana yang terluka?" Bu Maryani memeriksa tubuh Anggun dengan khawatir.
"Cuma memar-memar aja Bu, udah nggak sakit. Thalia udah kasih obat," sahut Anggun tak ingin ibunya bertanya semakin jauh.
"Terus kamu bagaimana? Harusnya telpon aja, kenapa malah kamu mengantar ke sini, kamu juga terluka pasti kan?" Bu Maryani memeriksa Thalia.
"Saya nggak apa-apa Tante,bahkan nggak terluka, jadi itu sebabnya saya bisa nganter Anggun pulang."
"Ya sudah, kalau begitu Thalia duduk dulu, Anggun buruan mandi, terus ganti baju, ibu bikinkan minum dulu ya."
"Eeee ... Saya langsung pulang ya Tante, masih ada PR yang belum selesai, besok saja saya main lagi." Thalia menoleh sopan sambil menahan tubuhnya yang gemetar.
"Oh, begitu? Ya sudah, terimakasih ya Nak. Hati-hati pulangnya, jangan ngalamun lagi. Kalau ada apa-apa, boleh cerita ke Ibu,Thalia sudah seperti anak Ibu juga."
Thalia meninggalkan rumah anggun dengan segera. Jantungnya berdebar kencang karena harus berbohong. Tapi tak ada pilihan baginya, selain mendukung keinginan keras Anggun.
"Nggun, kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Aulia kakak ya Anggun.
"Iya, Mbak," jawab Anggun singkat seraya merebahkan badannya di atas kasur.
"Mbak Andun, kita punya PR suruh bikin kodok dari kertas lipat, tapi Pipin nggak bisa." Adik kembar Anggun datang menghampiri juga.
"Ajari dulu itu adikmu, aku mana bisa bikin begituan," ucap Aulia seraya melengos kembali meninggalkan kamar Anggun.
Rasanya tubuhnya masih terasa sakit dan perih di beberapa tempat, namun Anggun harus menguatkan diri untuk bangun dan berpura-pura baik-baik saja. Ia bertekad ingin menyembunyikan kepahitan itu.
"Hmmm ... itu hal mudah buat mbak Anggun, yok kita bikin di ruang tengah." anggun menggiring kedua adiknya menuju ruang tengah. Ekspresi ceria pun ia pertontonkan seperti biasanya.
"Ibu mau nganter pesenan snack ke rumah Bu Ida, nanti tolong sambil bantu ibu beresin dapur ya Nggun, Ibu capek banget hari ini pesanan banyak. Kakakmu masih harus belajar besok ujian soalnya, jadi kamu aja ya yang bantu ibu beberes," ucap Bu Maryani seraya menenteng dua kresek besar di kedua tangannya, lalu meninggalkan rumah.
Anggun menghela napas, "Tidak! Aku harus bisa! Ini hanya hal sepele, aku pasti bisa melaluinya!" batin Anggun seraya mengangguk sebagai jawaban patuh pada permintaan sang ibu.
"Nggun ... kamu pakai bajuku ya? Kenapa dress ini jadi begini warnanya?" Tiba-tiba Aulia kembali menghampiri Anggun dengan raut wajah marah.
...****************...
To be continue.....
Ini Anisa sama temennya kan 😮💨
Apa ig nya 🤭
lebih cocok jadi anaknya Tono dia 😩