Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang gemerlap, seolah ikut merayakan pertemuan kami. Aku, yang biasanya memilih tenggelam dalam kesendirian, tak menyangka akan bertemu seseorang yang mampu membuat waktu seolah berhenti.
Di sudut sebuah kafe kecil di pinggir kota, tatapanku bertemu dengan matanya. Ia duduk di meja dekat jendela, menatap keluar seakan sedang menunggu sesuatu—atau mungkin seseorang. Rambutnya terurai, angin malam sesekali mengacaknya lembut. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan kehangatan, seperti nyala lilin dalam kegelapan.
"Apakah kursi ini kosong?" tanyanya tiba-tiba, suaranya selembut bayu malam. Aku hanya mengangguk, terlalu terpaku pada kehadirannya. Kami mulai berbicara, pertama-tama tentang hal-hal sederhana—cuaca, kopi, dan lagu yang sedang dimainkan di kafe itu. Namun, percakapan kami segera merambat ke hal-hal yang lebih dalam, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.
Waktu berjalan begitu cepat. Tawa, cerita, dan keheningan yang nyaman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achaa19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
langkah langkah yang semakin dekat
Bab 5: Langkah-langkah yang Semakin Dekat
Sejak pertemuan mereka di acara kecil milik Reina, Arya mulai lebih sering memikirkan langkah-langkah yang harus ia ambil. Perasaannya terhadap Reina semakin hari semakin sulit ia sembunyikan. Segalanya tentang perempuan ini menariknya—senyumnya, tatapannya, rahasianya yang tak terungkap, dan ketenangan yang ia rasakan setiap kali berada di dekatnya.
Namun, Arya tahu ia harus berhati-hati. Segalanya terasa rapuh, dan ia tak ingin memaksa Reina ke dalam hubungan yang belum tentu bisa ia pahami. Ia memilih untuk mendekati Reina secara perlahan, sambil terus menjaga jarak.
Arya duduk di kafe kecil tempat mereka pertama kali bertemu. Udara dingin dari AC yang berhembus dan aroma kopi yang khas menemaninya saat ia menulis di buku catatannya. Akhir-akhir ini, ia sering datang ke sini untuk berpikir dan menulis—mencoba mengungkapkan apa yang ia rasakan melalui kata-kata.
Pagi itu, ia melihat sosok Reina mendekat dari jauh. Wanita itu mengenakan jaket berwarna krem dan gaun sederhana yang elegan, senyumnya yang khas kembali mengisi hari Arya.
Arya memutuskan untuk berusaha berbicara dengannya, meskipun hatinya berdebar seperti biasa.
“Reina,” ujarnya ketika Reina mendekat.
Reina tersenyum, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengannya. “Hai, Arya. Kamu sering datang ke sini, ya?”
“Ya, aku butuh ketenangan,” jawab Arya sambil menutup buku catatannya. “Kamu tahu, tempat ini selalu punya suasana yang istimewa.”
Reina mengangguk sambil memegang cangkir kopi di tangannya. “Ketenangan sering kita cari di tempat yang sederhana, ya?”
Arya menghela napas, mencoba untuk tetap tenang di hadapan Reina. “Kau benar. Lalu bagaimana denganmu? Apa yang selalu kamu cari di sini?”
Reina terdiam sejenak. Pandangan matanya beralih ke luar jendela, menatap ke jalanan yang berisi aktivitas pagi yang sibuk. “Ketenangan dan… jawaban,” ujarnya perlahan.
Arya memperhatikan reaksinya. “Jawaban tentang apa?” tanyanya, ingin tahu.
Reina menoleh padanya dengan senyuman kecil yang menyiratkan kebingungan. “Tentang hidup, mungkin.”
Arya memutuskan untuk tidak menekan lebih jauh. Kadang, misteri yang tersembunyi adalah sesuatu yang harus mereka temui dengan waktu dan kesempatan yang tepat.
“Kau tahu, aku senang bisa bertemu denganmu,” ujarnya akhirnya.
Reina memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Dan aku juga, Arya.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Namun, kali ini, keheningan itu terasa lebih hangat, lebih dalam. Arya bisa merasakan bahwa Reina memiliki banyak hal yang ia sembunyikan—hal yang mungkin bisa ia pahami jika ia mau berusaha lebih keras.
Arya duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap layar laptop. Ketika ia mengerjakan sesuatu, ia tidak bisa menghilangkan bayangan Reina yang terus muncul dalam pikirannya. Setiap kali ia mendengar suaranya, setiap kali ia bertemu dengannya, ia merasakan hal yang sama—sebuah perasaan yang ia sebut sebagai ketertarikan, tetapi lebih dari itu, ia juga merasakan kerinduan yang samar namun tak bisa ia jelaskan.
Pukul sembilan malam, ia membuka pesan singkat dari Reina yang tiba-tiba ia terima.
Reina: Aku pikir kita harus bicara lebih banyak. Tentang ini. Tentang kita. Tapi kapan ya?
Arya menatap pesan itu. Jari-jarinya bergerak di atas keyboard, tetapi ia ragu.
Arya: Kapan saja. Jika kamu siap.
Tak lama setelah itu, ponsel berdering. Pesan masuk dari Reina kembali.
Reina: Malam ini?
Arya membaca pesan itu, lalu memutuskan untuk menerima.
Arya: Baik. Di kafe kecil itu.
Kafe kecil itu sudah lebih sepi dibandingkan siang hari. Cahaya lampu kuning yang lembut memantul dari dinding membuat suasana kafe terasa intim dan nyaman. Arya sudah duduk lebih dahulu ketika Reina datang dengan senyum khasnya dan jaket yang sama.
Ia duduk di hadapan Arya, menatapnya tanpa berbicara. Perasaan di antara mereka berdua sudah sangat kompleks—antara rasa penasaran, perasaan yang muncul tanpa penjelasan, dan kerinduan yang mereka berdua tahu ada tetapi sulit mereka ungkapkan.
“Aku berpikir tentang ini sepanjang hari,” ujar Reina akhirnya, memecah keheningan.
Arya menatapnya serius, menunggu penjelasan.
“Ini tentang perasaanku… tentang bagaimana kita bertemu dan perasaan yang muncul tanpa kita pahami,” lanjut Reina.
Arya menunduk, tangan memegang cangkir kopi yang mulai mendingin.
“Aku juga merasa sama,” kata Arya akhirnya. Suaranya terdengar lembut, namun jelas.
Reina menatap Arya, matanya memantulkan cahaya lampu kafe. “Kau pernah berpikir bahwa kita berdua sedang mengejar sesuatu yang kita tak bisa pahami?”
Arya memandangnya lama. “Ya. Kadang, aku berpikir bahwa ini adalah perasaan yang harus kita pahami perlahan, tanpa terburu-buru.”
Reina mengangguk, lalu tersenyum lembut. “Kita bisa mencoba memulai dengan saling memahami, tanpa perlu memaksa apa-apa.”
Kata-kata itu terasa seperti angin segar di hati Arya. Ada kelegaan di sana. Mereka tidak perlu berpura-pura, tidak perlu memaksakan segalanya menjadi lebih dari yang seharusnya.
“Baiklah,” ujar Arya sambil tersenyum. “Mari kita mulai dengan langkah kecil.”
Mereka berdua tenggelam dalam obrolan malam itu, mencoba memahami satu sama lain. Perasaan mereka mulai mengalir seperti alur yang sudah lama terpendam, membentuk langkah baru dalam perasaan yang belum sepenuhnya jelas.
Namun, untuk pertama kalinya, mereka tidak merasa terbebani. Mereka memutuskan untuk membiarkan waktu yang membawa mereka menjawab segala sesuatu.