Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertandingan
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Sepak bola, olahraga paling populer di dunia ini dan salah satu yang paling gue suka.
Gue enggak tahu kapan mulai merasa antusias buat nonton bola, mungkin itu terjadi sejak hari di mana gue lihat Anan lagi main bola di halaman rumahnya, atau bisa juga pas pertama kali nyokapnya Niria mengajak gue buat nonton kakaknya bertanding.
Enggak jelas, sih. Tapi yang pasti, gue memang sangat menikmati sepak bola.
Jadi, beberapa hari kemudian, gue langsung setuju buat datang bareng Niria, Wibi, Calio, dan Gori ke pertandingan kakaknya Niria buat dukung dia. Susah sih, tapi gue berusaha tenang meski Anan juga ada di tim itu, yang berarti gue bakal ketemu dia lagi buat pertama kalinya sejak pagi sialan itu.
Gue enggak bohong, berat banget rasanya, akhir-akhir ini. Terutama saat menjelang malam, tiap kali gue mencoba buat pejamkan mata, pikiran gue selalu muter-muter, mencoba menemukan satu momen atau alasan kenapa semuanya harus berakhir seperti ini.
Gue bahkan suka menyalahkan diri sendiri. Anan sudah kasih peringatan ke gue, dia jelas-jelas bilang apa yang dia mau, tapi gue tetap saja mengeyel, malah menyerahkan tubuh gue ke dia. Enggak cuma sekali, tapi dua kali.
Gue tepuk kepala, mengusir pikiran-pikiran itu. Gue datang ke sini buat have-fun dan menikmati olahraga favorit gue bareng teman-teman. Tapi gue malah deg-degan.
Kenapa gue bisa se-nerveous ini cuma karena tahu bakal ketemu dia?
Dia bakal jauh di sana, enggak mungkin juga melihat atau sadar kehadiran gue di tengah ribuan orang di tribune stadion.
Gue harus tenang.
Pas kita sampai, sesuai dugaan, tempatnya ramai banget. Niria sampai bingung cari tempat parkir, tapi setelah mencari cukup lama, akhirnya ketemu juga.
Kita masuk ke dalam stadion, jalan beriringan sambil mencari tempat duduk. Ada tempat kosong yang cukup banyak di barisan kedua, dan dari situ kita bisa dapat view bagus ke lapangan, jadi kita langsung duduk di situ.
Asta ikutan gabung, dia memang sudah sering bareng kita selama beberapa hari di sekolah. Niria duduk duluan, terus Asta, Calio, Gori, dan terakhir gue. Sebenarnya gue enggak terlalu suka duduk berjauhan dari Niria, tapi gue juga enggak mau Gori mikir kalau gue enggak mau duduk bersebelahan sama dia atau kayak gue pilih-pilih tempat duduk.
Ada dua kubu yang bertanding, kita ada di sisi timnya Natius dan Anan. Rumput lapangannya hijau, rapi, kayak baru dipangkas. Masih ada sisa-sisa cahaya sore, walaupun matahari sudah tenggelam. Langit mulai gelap, berikan sambutan buat malam, sementara lampu-lampu besar di lapangan menyala terang.
Gue telan ludah, mata gue mulai berlari-lari melihat para pemain yang lagi pemanasan dan mainin bola di dekat gawang. Seragam timnya Anan warna hitam dengan garis dan nomor merah, sementara tim lawan pakai seragam putih.
Nomor 05.
Lo di mana, Pangeran?
Stadion seperti menjawab pertanyaan gue, Anan keluar dari kumpulan pemain timnya, jalan dengan penuh percaya diri seperti ciri khasnya.
Jantung gue terasa ingin kabur mengejar dia. Celana pendeknya pas banget sama pahanya yang berotot, kaosnya juga ketat, menunjukkan lengan yang pernah tahan gue dengan kuat. Dia pakai semacam pita elastis merah tipis buat menjaga rambut hitamnya supaya enggak menutupi dahi. Di lengan kirinya ada ban kapten tim.
Ya ampun, kenapa lo bikin gue semakin susah buat move on?
Kenapa dia makin cakep tiap hari?
Anan ketemu sama pemain lain yang cuma kelihatan dari belakang, tapi kayaknya familier buat gue. Mereka mengobrol, dan Anan kelihatan serius, seperti lagi menentukan hal penting. Pemain itu berbalik sedikit, dan gue langsung tahu siapa dia.
Tom.
Kok gue bisa lupa kalau dia juga main di tim ini?
Gue gigit bibir sambil ingat-ingat waktu gue joged di atas paha Tom.
Duh, malu banget!
Tapi, jujur, dia lumayan juga pakai seragam itu. Mata gue yang enggak bisa diam turun ke bagian belakangnya, duh, bokongnya oke juga.
Zielle, astaga!
Gue ingin jitak pikiran gue sendiri.
Sepertinya sejak punya pengalaman “begituan”, sama Anan, sisi lain gue jadi semakin liar. Anan terlihat ketawa sambil geleng-geleng kepala gara-gara sesuatu yang dikatakan Tom, dan gue lupa caranya bernapas. Senyumnya bikin dia tambah cakep.
"Zielle?" suara Gori membawa gue balik ke kenyataan.
"Ya?" Gue lihat ke dia, dan mata Gori terlihat curiga.
"Fokus bener, lagi nikmatin cowok-cowok keren di sana?"
Gue ketawa. "Dikit."
"Gue tadi nanya, lo mau soda enggak? Gue mau beli."
"Enggak, gue aman."
Calio menyelipkan kepalanya dari belakang Gori. "Yakin enggak mau apa-apa, tuan putri?"
"Gue benaran enggak mau apa-apa."
Asta dan Niria kelihatan lagi mengobrol. Lebih tepatnya Niria yang kebanyakan ngomong dan Asta cuma iya-iya saja sambil kasih muka tomatnya.
Calio dan Gori jalan ke bawah buat beli soda pas suara MC mulai terdengar.
...📢...
..."Malam, semua! Selamat datang di pertandingan pembuka kejuaraan sepak bola antar sekolah tahun ini. Yuk kita sambut tim tamu, dari Santosa FC!"...
Suporter tim lawan bersorak-sorai heboh, dan kita balas mereka.
..."Sekarang, tepuk tangan buat tim tuan rumah kita Bluegard!"...
Semua orang teriak, lompat-lompat, termasuk gue.
Saat dua cowok itu lagi pergi, gue geser duduk biar lebih dekat sama Asta. Niria lihat gue, dan secepat kilat, dia tarik pundak Asta biar dia duduk di tengah-tengah kita.
Niria berbisik di telinga gue. "Pantesan lo sering datang ke tempat latihan, mereka cakep semua, kecuali kakak gue pastinya, iuuuh."
"Kakak lo di mana?"
Niria pegang dagu gue, membelokkan muka gue ke arah gawang. "Tuh. Pasti lo terlalu fokus sama pangeran lo sampe enggak lihat kakak gue."
..."Ya, ini dia saatnya big match dimulai, teman-teman. Yuk, kita kasih tepuk tangan buat kedua tim!"...
Kerumunan berteriak, tangan diangkat tinggi-tinggi.
Dari sisi gue, semua mulai teriak "Bluegard, Bluegard," dan semangat pertandingan mulai merasuk ke dalam diri gue. Untuk sesaat, gue menikmati momen ini, lupa sama kapten tim yang sombong itu.
Para pemain mulai keluar ke lapangan, masing-masing ke posisi mereka, dan tribune langsung bergemuruh karena teriakan, dan sorak-sorai penonton. Gue tepuk tangan, pandangan gue jatuh lagi ke arah dia.
Lo bego, Zielle.
Dia sudah bikin gue sakit hati, tapi gue masih saja suka sama dia dan mengeluh kayak orang tol*l.
Kenapa perasaan itu susah banget dikendalikan?
Andai saja perasaan itu ada tombol on-off-nya.
Perasaan...?
Itu kata yang berat, dan gue enggak main-main kalau sudah bicara soal itu. Tapi gue tahu, gue terlanjur punya perasaan sama dia. Gue bohong kalau bilang, "Gue enggak mau lagi jatuh cinta sama dia," padahal kenyataannya, gue cinta.
Tapi, mengakui perasaan itu enggak mengubah apa pun, karena dia enggak merasakan hal yang sama. Jadi, mau enggak mau, gue harus telan perasaan ini dan lanjut hidup seakan enggak pernah terjadi apa-apa.
Gori muncul di sebelah gue, Calio duduk di sebelah dia. Mereka tawari soda ke gue. "Yakin lo enggak mau? Ini Coca-Cola, favorit lo."
"Ya udah." Gue minum dikit dan balikan ke dia.
Gori rapikan kacamata sambil kasih tatapan yang enggak biasanya ke gue, kayak mau ngomong sesuatu tapi ditahan. Mata kita bertemu, dan gue jadi sadar kalau sahabat gue ini sebenarnya enggak kalah cakep. "Zielle... Ada sesuatu antara lo sama anaknya si Batari itu?"
"Asta? Ya enggak, lah, dia cuma..."
"Gue enggak ngomongin Asta, dan lo tahu itu."
Gue gigit bibir, menahan waktu. "Enggak, enggak ada."
Kenapa sih gue bohong?
Gori buka mulut, kelihatan mau protes, tapi peluit wasit terlanjur mengudara, tandanya pertandingan dimulai.
Gue senyum ke Gori dan fokus ke permainan. Permainan di lapangan kelihatan seru. Pertandingan ini rame banget, penuh dengan umpan-umpan keren dan akurat.
Calio sampai bersiul saking semangatnya. “Gila! Lo lihat enggak tuh, larinya kenceng banget kayak maling, striker itu jago banget.”
Anan mainnya memang bagus, dan itu sama sekali enggak bantu gue buat tutupi perasaan gue. Rasanya ingin teriak seperti cheersleader tiap dia mendekati gawang lawan.
Niria menyikut gue pelan. “Gue akuin lo punya selera bagus, selain ganteng dan pinter, dia jago main bola.”
Dan jago di ranjang juga.
Ingin rasanya ngomong begitu, tapi gue cuma senyum tipis. Pas pertandingan mau setengah jalan, Anan lari bawa bola sendirian, mendekat ke gawang, dan semua orang di tribune langsung berdiri, teriak. Tapi tiba-tiba kiper maju dan tabrak Anan dengan sangat keras, suara benturannya bikin gue kaget.
Gue enggak sadar kalau gue sudah teriak pas lihat Anan jatuh di lapangan, meringis menahan sakit sambil pegang mukanya.
Tanpa pikir panjang, gue berdiri dengan cepat, hampir lari ke arahnya, tapi Niria langsung tarik tangan gue, mengingatkan hubungan antara gue sama dia.
Gue lihat Anan dibantu bangun sama Tom dan pemain lain, dibawa ke pinggir lapangan dekat tribune. Hati gue makin jatuh pas lihat ada darah keluar dari hidungnya.
...📢...
...“Wah, pertandingan terpaksa dihentikan sejenak karena ada benturan keras antara striker dan kiper. Wasit sempat mengeluarkan kartu kuning, tapi Bluegard sepertinya masih belum puas sama keputusan wasit.”...
Pelatih kasih handuk ke Anan buat hapus darah di hidungnya. Mata birunya menemukan gue, dan gue enggak tahan buat tanya dengan gerakan bibir, berharap dia mengerti meskipun jarak kita jauh.
“Lo oke?”
Dia cuma angguk pelan.
Gue duduk lagi, Gori mengalihkan pandangannya, dan Niria kasih gue tatapan mengerti.
Gue baru sadar kalau Asta sudah enggak ada di tempatnya, Niria langsung menjelaskan. “Dia lari ke sana, kayaknya mau pastiin kalau kakaknya baik-baik aja.”
“Mereka itu benar-benar bermain kotor,” komen Calio. “Itu jelas-jelas pelanggaran.”
Gori minum soda sambil mengangguk setuju.
Asta balik lagi, mukanya merah, tapi kali ini bukan karena malu. Baru kali ini gue lihat dia sebegitu marahnya. Niria menepuk bahunya dengan gaya yang kayak bilang, "Santai, bro, semua bakal beres."
Asta diam, cuma menggenggam tangan di samping terus duduk sambil tarik napas dalam-dalam. Gue jadi merasa gemas melihat dia begitu peduli sama kakaknya. Asta memang cowok paling manis yang pernah gue kenal.
Pertandingan lanjut, tapi suasana berubah jadi tegang. Tim Bluegard kesal gara-gara kapten mereka diperlakukan secara enggak adil, dan Anan masih main, sesekali mengecek hidungnya.
Kasihan?
Enggak, gue enggak boleh kasihan. Dia sudah bikin gue patah hati.
Hampir di akhir babak pertama, satu momen terjadi sangat cepat. Gelandang mengoper bola jauh ke Tom, dia lewati dua pemain terus oper bola ke Anan yang lari mengejar bola di sisi gawang.
Semua langsung berdiri, heboh. Anan menendang bola dengan sudut miring dan masuk ke pojokkan gawang dengan gila.
...📢...
...“GOOOOOOOLLLLLLLL!”...
Satu stadion meledak, semua loncat-loncat dan teriak kayak orang gila.
“Rasain tuh, kiper bego!” Asta teriak, bikin kita semua kaget.
Anan lari dengan tangan terbuka, kasih selebrasi buat golnya. Dia mendekat ke tribune, terus tarik ujung kaosnya ke atas dan tunjukan tulisan di perutnya.
PENYIHIR.
Gue langsung nge-freeze, tangan gue menutup mulut, syok dan komentator ambil alih keributan di stadion.
...“Goool! Gooll! Penyihir, penyihir, penyihir!! Selamat untuk suporter Bluegard. Satu gol amat cantik dari Anan Batari yang sepertinya didedikasikan untuk seseorang. Siapa Penyihir yang beruntung itu?”...
Mata Anan menyambung sama mata gue, dia senyum sebelum diangkat teman-teman satu timnya, merayakan golnya bareng.
Jantung gue mau copot rasanya, deg-degannya enggak karuan.
Dia benaran...?
Anan Batari, sumpah, cowok itu selalu bikin gue bingung sama semua sinyalnya yang membingungkan.
Salah satunya, dia sudah bikin gue gila sekarang.