kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Deg
Deg
Deg
Debaran halus bergema di dada Adiba. Pandangan mata keduanya beradu, dan menambah detak di dada saja. Serasa lingkaran waktu berhenti diantara mereka, bahkan deru napas bersahutan terasa.
Adiba lantas tertawa mengusir rasa canggung yang tiba-tiba hadir. Satria pun sama, tersenyum kecil dan menjauh dari istrinya. Pada akhirnya satria basah juga.
"Iisshh, kamu ini, basah kan!" protes Satria memercik air ke wajah istrinya.
Adiba melirik faraz yang masih berdiri saja di pinggir kolam. Melihat ketidakpastian di mata Faraz, Adiba membungkuk dan mengulurkan tangan kepadanya.
"Iya, sekarang Faraz!!" ujar Adiba dengan riang. "Ayo! Abi sama Umi udah basah nih."
Faraz menggenggam tangan Umi-nya takut-takut, masih belum mau bergerak. Adiba mengerti, dia dengan lembut mendekat, mengangkat Faraz dalam dekapannya dan perlahan mengajaknya masuk ke dalam kolam.
"Umi!" pekik Faraz ketakutan. Adiba menyentuhkan air yang mengalir itu di kaki Faraaz dan duduk di sana.
"Enggak papa, kan?"
Faraz menangis, Satria sudah cemas melihatnya. Adiba memeluk erat Faraaz.
"Tidak apa-apa, adaa umi, umi yang nanti akan membawamu keluar dari sini. Umi akan menjagamu, jangan takut. Huummm?"
Ucapan Adiba membuat ingatan Faraz terlempar di masa lalu, kenangan yang membuatnya trauma pada air yang banyak dan deras.
"Tidak apa-apa, jangan takut, ada Kaka, Kaka akan mengeluarkan mu dari sini, Kaka akan menjagamu."
Kalimat itu mengaung, di kepala Faraz perlahan ia menatap wajah Adiba yang mengulas senyuman.
"Kami percaya pada umi, kan?" Pertanyaan yang bertumpuk dengan wajah gadis yang dulu menolongnya keluar dari air yang menakutkan.
"Kamu percaya sama Kaka, kan?"
Wajah faraz yang basah seketika mengangguk.
"Lihat airnya cuma sampai bokongmu."
Satu tangan Adiba memeluk Faraz dan tangan lainnya memercik air.
"Tuh, nggak papa, kan?" ucap Adiba sengaja menyiram lengan Faraz dengan air dari tangannya. "Nggak papa, kan? Kamu percaya sama umi, kan?"
Seketika itu, sentuhan air membuat Faraz tersenyum gembira. Dia merasa aman dalam pelukan Umi sambungnya, dan bersama-sama mereka menyipratkan air. Tawa Faraz yang riang terdengar memecah keheningan, menarik perhatian Satria yang semula merasa sangat cemas dan khawatir.
Malam harinya,
"Terima kasih, ya," ucap Satria saat mereka tidur bertiga lagi.
"Heemm?" Adiba menoleh pada suaminya, yang berbaring miring menghadapnya, dengan Faraz di tengah.
"Untuk tadi siang."
Adiba terkekeh kecil memandang wajah Faraz yang lelap. "Tadi itu nggak akan berhasil kalau mas satria juga nggak ikut nyemplung."
Satria menyentuh wajah Adiba, sukses membuat dada gadis itu bertalu.
"Boleh, mas cium bibir kamu?"
Pipi Adiba bersemu, malu, tiba-tiba Satria meminta ijin untuk menciumnya. perlahan, Adiba mengangguk, dan disambut dengan senyuman di wajah suaminya.
Satria dengan lembut mendekatkan wajahnya ke Adiba, mengecup bibirnya dengan penuh perasaan di atas ranjang yang hangat. Bibir itu bergerak pelan menikmati setiap sentuhan. Ujung lidahnya bergerak mengelitik bibir Adiba, lalu menyusup masuk ke dalam rongganya. Bergerak lembut membelai lidah Adiba.
Ciuman mereka terjeda sebentar untuk menarik napas, lalu kembali bertaut untuk waktu yang lama. Faraaz, yang berbaring diantara mereka, terlelap dalam tidur yang nyenyak. Seolah tak terganggu oleh kemesraan Abi dan Umi-nya yang sedang kasmaran.
"Tidurlah, ini sudah sangat malam," kata Satria dengan jarak wajah yang sangat dekat. Sampai ujung hidungnya bersentuhan dengan ujung hidung Adiba. Hembusan napas hangatnya memburu, menerpa wajah Adiba. Satu ciuman pertamanya yang membawa naik hasratnya lebih tinggi.
Satria tak ingin lepas kontrol saat Adiba masih belum siap menjadi istri seutuhnya. Ia lebih memilih mengurung hasratnya yang berkobar dalam diam. Menikmati debaran di dada lebih menyenangkan sekarang. Ia memejamkan matanya, wajah Adiba yang memerah tak bisa hilang begitu saja dari banyangan. Tau-tau ia sudah mengecup lagi bibir itu, meski telah merekah oleh ulahnya. Ia belum puas, seperti candu yang tiada obatnya.
****
"Abi! Abi nggak mau ikut?" tanya Adiba saat ia dan Faraaz masuk ke dalam kolam renang di sebuah water boom. Sudah satu bulan ini satria rutin mengajak Adiba dan Faraaz, entah ke kolam, ke Curug, ataupun ke water boom seperti sekarang ini. Semakin ke sini, Faraaz sudah semakin berani masuk ke dalam kolam. Dari yang hanya sebatas mata kaki, sampai yang setinggi lututnya.
"Iya, Abi, ayo ikut masuk," timpal Faraaz dalam pelukan Adiba. Satria yang hanya duduk di pinggir tersenyum tipis dan melambai saja, tanda ia tak mau.
"Yahh, Abi payah."
"Tidak, apa-apa Raz, kita berdua saja," ucap Adiba kembali berenang bersama anak angkat Satria itu.
Pria yang hanya memakai kaus hitam dan celana cinos coklat itu terus memperhatikan dua orang yang paling berarti dalam hidupnya. Melihat tubuh Adiba yang basah, walau memakai baju panjang dan jilbab bergo, tetap saja jika basah akan menempel dan menunjukkan lekukannya. Satria mengedarkan pandangan di sekitar, ada banyak orang yang asyik dengan kegiatan berenang mereka. Entah yang berjalan dengan menyeret ban, entah yang berenang di kolam, atau yang naik ke seluncuran.
Satria memperhatikan Adiba lagi, gadis cantik itu tersenyum, tertawa sangat riang dengan Faraaz. Bayangan satria tak lepas dari baju Adiba yang basah. Ia jadi merasa tak rela, mungkin saja ada mata lain yang sedang menikmati tubuh istrinya dengan pandangan.
Satria menunduk, merasa sangat cemburu hanya dengan memikirkan begitu saja.
"Faraaz! Adiba!"
Dua orang yang paling berharga dalam hidupnya itu menoleh padanya, padahal lagi asyik-asyiknya berenang.
"Sudah cukup, ayo pulang," ajaknya.
"Yah, kan baru sebentar, Abi," keluh Faraaz.
"Iya, loh, Mas," timpal Adiba ikut memprotes.
"Abi masih ada urusan. Masih harus kontrol toko loh. Udah jam segini," ujar Satria menunjuk arloji di lengannya. Dalam hati ia juga merasa bersalah,"Apa aku terlalu egois? Tapi, aku tak rela. Rasanya aku sangat cemburu," batin Satria melihat istri dan anaknya akhirnya mau keluar dari kolam.
"Maaf, ya?"
"Untuk apa?" tanya Adiba yang memangku Faraaz yang terlelap dalam pelukannya.
Satria melirik dari ekor matanya, seraya tangannya menyetir.
"Nanti mas belikan kolam renang."
Adiba tertawa kecil, "Apa sih mas, sampai mau belikan kolam segala."
"Kalian kan suka main air. Nanti kalau mau masuk kolam dibawa di belakang rumah saja, dekat sumur. Di sana tidak ada orang," cetus Satria yang membuat Adiba seketika menoleh.
"Tidak ada orang?" ulangnya dengan alis berkerut.