Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23:Labirin Tanpa Akhir
Udara di dalam ruangan itu dingin, menusuk hingga tulang. Ardan berdiri terpaku di depan pintu besar yang sebelumnya ia lihat di kejauhan. Ukiran wajah-wajah menderita menghiasi permukaannya, seolah menatap langsung ke arahnya. Namun, langkahnya terhenti. Sebuah suara pelan terdengar dari balik pintu, suara yang menyeretnya kembali ke bayangan masa lalu.
"Ardan, kau belum siap."
Ia menoleh, tetapi tidak ada siapa pun. Ruangan itu kosong, hanya ada dirinya dan bayangan yang tampak bergerak-gerak di dinding. Namun suara itu terdengar nyata, seperti berasal dari sudut pikirannya yang paling dalam.
"Siap untuk apa?" Ardan bergumam pelan. Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Dengan ragu, ia meletakkan tangannya di permukaan pintu. Suhu dingin segera menyergap kulitnya, membuat tubuhnya merinding. Saat ia mendorong pintu itu, suara erangan rendah terdengar, seolah pintu itu menangis karena dibuka.
Di balik pintu, ia menemukan dirinya berada di lorong panjang yang gelap. Dinding-dindingnya terbuat dari batu yang basah, dan udara di sana terasa berat, penuh dengan aroma besi yang mengingatkannya pada darah.
Ketika ia melangkah masuk, pintu di belakangnya menutup dengan suara keras, membuatnya tersentak.
"Kembali..."
Suara itu muncul lagi, kali ini lebih keras. Ardan mencoba mengabaikannya, tetapi suara itu terus mengikutinya, seperti bisikan yang menghantui setiap langkahnya.
Di ujung lorong, ia melihat secercah cahaya. Harapan muncul di dalam dirinya, tetapi langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya untuk bergerak lebih cepat.
Saat ia mendekati cahaya itu, ia melihat bayangan seseorang berdiri di tengah lorong.
"Siapa di sana?" Ardan bertanya, suaranya bergetar.
Bayangan itu tidak menjawab. Perlahan, ia menyadari bahwa itu adalah gadis yang ia temui sebelumnya—gadis penuh luka. Namun, kali ini wajahnya tertutup kain hitam, hanya menyisakan mulutnya yang pucat.
"Kau tidak seharusnya di sini, Ardan," kata gadis itu, suaranya terdengar seperti gema.
Ardan tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan cemas, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.
"Ini bukan duniamu," lanjut gadis itu.
Sebelum Ardan sempat berkata apa-apa, lantai di bawahnya tiba-tiba runtuh. Ia terjatuh ke dalam kegelapan, tubuhnya melayang tanpa arah. Saat ia jatuh, suara tawa menyeramkan terdengar dari segala arah, memenuhi pikirannya dengan ketakutan yang sulit dijelaskan.
Ketika ia membuka matanya, ia berada di tempat yang berbeda. Sebuah ruangan kosong dengan dinding-dinding putih yang bersih, tanpa jendela atau pintu.
Ruangan itu terasa aneh. Tidak ada suara, tidak ada bayangan, hanya ada dirinya dan keheningan yang memekakkan telinga. Di sudut ruangan, ia melihat sebuah meja kecil dengan foto di atasnya.
Ardan mendekati meja itu, tangannya gemetar saat mengambil foto tersebut. Foto itu memperlihatkan dirinya bersama ibunya, tetapi ada sesuatu yang tidak biasa. Di belakang mereka, samar-samar terlihat bayangan gadis penuh luka, berdiri dan menatap langsung ke arah kamera.
"Apa ini semua... mimpi?" Ardan bergumam pelan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Ia berbalik dengan cepat, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Suara langkah itu semakin mendekat, semakin keras, tetapi tetap tidak ada yang terlihat.
Ruangan itu mulai bergetar. Dinding-dindingnya retak, dan dari dalam retakan itu muncul tangan-tangan kurus yang mencoba meraihnya. Ardan melangkah mundur, tetapi tangan-tangan itu terus mendekat, seolah ingin menyeretnya ke dalam kegelapan.
"Bangun, Ardan," sebuah suara lain muncul, kali ini terdengar akrab. Itu adalah suara dirinya sendiri, tetapi terdengar lebih tua, lebih tegas.
Ardan menutup matanya, mencoba menenangkan pikirannya. Ketika ia membuka matanya lagi, ia berada di tempat yang berbeda—sebuah desa kecil dengan rumah-rumah kayu yang tampak tua dan lusuh.