“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25 : Peringatan Terakhir
Ilham mendengkus kesal, menunggu di klinik terdekat untuk mengurus pengobatan punggung kepala Arimbi yang bocor akibat lemparan batu dari Aisyah. Sekitar pukul satu siang, Ilham tak hanya sendiri karena di sana juga ada pak Sukir selaku perwakilan dari warga. Pak Sukir diminta menjadi saksi agar Ilham mengurus pengobatan Arimbi dengan benar.
Arimbi sempat berpikir untuk mengabarkan keadaannya kepada mas Aidan, tapi Arimbi takut mengganggu hingga ia memilih diam. Namun, Arimbi meminta sang dokter untuk menuliskan di keterangan berobatnya, bahwa alasan lukanya akibat lemparan batu oleh Aisyah. Keterangan yang juga bisa dijadikan bukti untuk laporan ke polisi andai sewaktu-waktu, Aisyah berulah lagi.
“Kamu anak kyai, pemuka agama, kok kelakuannya mirip preman?” omel ibu Siti tengah menatar sang menantu. Ia mendudukkan Aisyah di risban ruang keluarga, tapi selama mereka di sana, Aisyah hanya diam.
“Sudah, sekarang pergi ke kamar mandi, dan cuci pakaian kamu! Bisa-bisanya, anak pemuka agama kok botrok (jorok)!” lanjut ibu Siti yang jujur saja, kesempatannya memarahi Aisyah kali ini juga ia manfaatkan untuk mengeluarkan semua unek-uneknya. Lihatlah, betapa Aisyah langsung menatapnya marah.
“Kamu ini kenapa, sih? Masa iya, anak pemuka agama kelakuannya seperti kamu?” lanjut ibu Siti dan makin membuat seorang Aisyah menahan rasa marah. “Sudah mulai cuci, tanpa melihat siapa kamu, jangan jadikan itu sebagai alasan untuk jadi pemalas! Sudah pemalas, kelakuan juga mirip preman!”
“Innalilahi, Bu. Ibu kejam sekali. Ibu mau jadi mertua durhaka?” sergah Aisyah yang menjadikan agama sebagai pelindung. Ia sungguh akan berlindung di balik agama dan juga statusnya sebagai anak dari pemuka agama yang bahkan memiliki pondok pesantren ternama.
“Taaai! Agama ya agama, orang ya orangnya. Sudah terlalu basi dengan kedok manusia yang berlindung di balik agama. Karena daripada kamu sibuk ceramah, yang lebih dianjurkan untuk kamu lakukan adalah mencuci pakaianmu dan pakaian suamimu, jangan jadi pemalas terus!” Karena Aisyah sangat sulit ia nasihati, ia sampai berkata, “Masa iya ngomong sama kamu mirip ngomong sama batu. Ayam saja enggak selelet kamu!”
“Saya mau pulang ke rumah orang tua saya saja!” kesal Aisyah.
Sontak, balasan sewot Aisyah yang jelas terdengar marah, malah makin membuat kemarahan seorang ibu Siti memuncak. “Heran, ... heran, benar-benar heran. Anak orang enggak berpendidikan saja enggak sesewot kamu. Emang dasar enggak bener!”
Namun pada akhirnya, ibu Siti memaksa Aisyah untuk mencuci pakaiannya sendiri.
“Capek ih, Bu!”
Walau proses membuat Aisyah mau mencuci pun sangat alot.
“Coba sekarang saya ingin lihat, sebenarnya kamu secantik apa? Sampai-sampai, kamu enggak mau kerja dan penginnya cuma malas-malasan? Secantik boneka apa bagaimana?” tantang ibu Siti dan kali ini langsung membuat seorang Aisyah tak lagi sibuk menjawab. Aisyah tak lagi sibuk memberinya alasan.
Ditantang memperlihatkan penampilan, tentu Aisyah tak mau ambil pusing. Karenanya, ia terpaksa mulai menimba air dan itu dengan tetap membiarkan tubuhnya tertutup pakaian syari sekaligus cadar.
“Itu gamisnya dilinting dulu, enggak dosa kok, kan hanya ada Ibu!” Ibu Siti masih cerewet, masih mengawasi sang menantu dalam mencuci pakaian dan caranya sungguh asal-asalan. Bar-bar mirip orang tidak pernah kerja.
Karenanya, ibu Siti sengaja mencontohkan bagaimana cara mencuci pakaian kepada Aisyah. “Begini, ... lebih baik lagi direndam sebentar.”
“Kan, Ibu lebih jago cuci baju, ya sudah Ibu saja yang cuci!” kesal Aisyah nyaris kabur, tapi ibu Siti sengaja menahan sebelah tangan Aisyah kemudian menyeretnya.
“Kamu, ya! Bisa-bisanya enggak sopan gini ke mertua!” omel ibu Siti.
“Ya Alloh, mamahnya mas Ilham jahat banget!” batin Aisyah. Tanpa kembali berbicara, ia mencuci pakaiannya dengan caranya. Cara bar-bar semacam dihantam-hantamkan hingga air berikut pakaiannya menimpa ibu Siti. Cara yang sengaja ia lakukan agar ibu Siti pergi.
“Katanya anak kyai, tapi kelakuannya enggak waras!” kesal ibu Siti memutuskan pergi dari sana.
Ditinggalkan sang ibu mertua, Aisyah langsung memantapkan niatnya untuk mengundang teman-temannya yang notabene anak punk. Anak punk berkelakuan brutal lebih parah dari dirinya.
“Biar Arimbi tahu rasa! Biar semua orang jijikk ke dia!” mantap Aisyah. Namun, baru Aisyah sadari, gamis yang ia pakai merupakan pakaian terakhirnya dan itu pun sudah basah parah. “Duh, gimana dong? Apa kata orang, bahkan kata ibu Siti kalau dia tahu sebenarnya aku ...,” batin Aisyah yang menjadi ketar-ketir sendiri. Lagi, ia menjadikan Arimbi sebagai penyebabnya. “Semua ini gara-gara Arimbi! Andai dia enggak sok cantik dan terus merasa lebih baik dari aku!” batinnya lagi yang buru-buru menutupi tangannya lantaran ia refleks menyingsing bagian lengan ke atas. Membuat tato yang menjadi saksi perjalanan hidupnya dan ada di sana, terlihat sangat jelas.
***
“Ingat yah, Mas. Ini jadi yang terakhir. Kalau istrimu berulah lagi, tolong bawa dia pergi dari kampung sini! Karena andai beneran sampai terjadi, aku enggak segan mengkasus ulahnya!” kesal Arimbi wanti-wanti sambil bersiap dibonceng pak Sukir yang masih menemani. Mereka berpisah setelah Ilham mengangguk walau pria itu melakukannya sambil memalingkan wajah.
Setelah melewati perjalanan terbilang panjang lantaran klinik yang ia kunjungi lebih jauh dari pasar biasa ia jualan, akhirnya Arimbi sampai rumah. Hanya saja, kenyataan motor mas Rio yang ada di depan rumah, sudah langsung membuat Arimbi merasa sangat tidak nyaman. Ditambah lagi, ternyata mas Rio tengah ikut membantu menganyam besi untuk dijadikan bahan pondasi rumah. Walau ketika mendapati kepulangan Arimbi, pria yang jalannya masih belum normal itu buru-buru menghampiri.
“Dek, jujur ...,” ucap mas Rio ketika akhirnya mereka hanya berdua di ruang tamu kediaman orang tua Arimbi. Mereka duduk berhadapan di risban dan dipisahkan oleh meja kayu kokoh berbentuk persegi panjang.
“Ada apa sih, Mas? Saya perhatikan, ada hal sangat serius yang ingin Mas katakan?” tanya Arimbi yang kemudian juga berkata, “Harusnya saya sudah tidak ada sangkutan tanggung jawab karena saya sudah enggak bekerja ke Mas, kan?”
Mas Rio berangsur menggeleng. Pria berwajah manis yang juga memiliki senyum sangat manis itu, menghela napas dalam seiring senyuman yang tetap dipertahankan.
“Aku sudah tahu semuanya. Mengenai alasan kamu sampai diboyong ke klinik. Gara-gara istrinya si Ilham yang sampai meminta kamu buat buru-buru menikah, kan?” ucap mas Rio lirih dan sangat lembut. Sangat berbeda dengan ibu Irma yang setiap berbicara dengan Arimbi akan menjadi lebih mirip kerasukan arwah jahat.
“Terus ...?” lirih Arimbi yang jujur saja sudah curiga, Rio memang menyukainya. Rio ingin menjalin hubungan nyata dengannya. Lihat saja, pria itu menghela napas dalam, seolah tengah mengumpulkan kesungguhan bahkan nyawa agar ia percaya.
“Mbi ..., aku ....”