Naya yang tak pernah mendapatkan kasih sayang dari keluarganya harus mengalami malam kelam bersama dokter Mahesa, dokter bedah syaraf sekaligus direktur rumah sakit tempatnya bekerja sebagai seorang perawat.
Naya yang sadar akan dirinya yang hanya orang dari kelas bawah selalu berusaha menolak ajakan dokter Hesa untuk menikah.
Namun apa jadinya jika benih dari dokter tampan itu tumbuh di rahimnya, apakah Naya akan tetap menolak?
Tapi kalau mereka menikah, Naya takut jika pernikahan hanya akan membawa derita karena pernikahan mereka tanpa di landasi dengan cinta.
Namun bagaimana jadinya jika dokter yang terlihat dingin di luar sana justru selalu memperlakukan Naya dengan manis setelah pernikahan mereka?
Apakah Naya akhirnya akan jatuh cinta pada suaminya itu?
Follow ig otor @ekaadhamasanti_santi.santi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi.santi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu hamil?
"Kita kenal?" Mama Ina penasaran.
"Dia teman Gisel yang dulu pernah di ajak ke sini beberapa kali. Dulu kata Gisel dia jualan nasi bungkus di sekolahnya untuk biaya sekolah" Jelas Hesa tanpa menyebutkan nama Naya.
"Naya? Kamu meniduri Naya Kak??!!!" Mama Ina sampai berdiri karena amat sangat terkejut.
"Iya Ma"
"Ya Allah" Mama Ina kembali terduduk sambil mengatur nafasnya.
"Mama nggak papa?" Gandhi memeriksa keadaan istrinya. Dia yang dulu seorang dokter spesialis jantung tentu paham dengan apa yang di alami istrinya saat ini.
"Malang sekali nasib anak itu Pa. Dulu dia bekerja keras untuk menyambung hidup. Dia juga mengambil sekolah perawat atas beasiswa dari kita. Tapi sekarang setelah lulus dan mulai bekerja, masa depannya malah hancur karena anak kita Pa" Mama Ina menangis di pelukan suaminya.
"Apa maksud Mama? Mama yang memberinya beasiswa?" Hesa ikut mendekati Mamanya. Dia bersimpuh di hadapan Mamanya.
"Iya Kak, dulu Mama dan Papa ingin sekali membatunya, tapi anak itu selalu menolak. Makanya secara diam-diam Mama memberinya beasiswa untuk sekolah perawat karena itu memang cita-citanya dari dulu"
Hesa menelungkupkan wajahnya di pangkuan Mamanya.
"Maafkan Kakak Ma. Kakak sudah mengecewakan Mama dan Papa" Bahu Hesa bergetar meski dia tak mengeluarkan suara tangisannya.
"Bujuk Naya Kak, luluhkan hatinya biar dia menerima niat baikmu. Kamu harus menikahinya. Mama percaya kamu anak Mama yang baik" Mama Ina mengusap lembut kepala Hesa yang ada di pangkuannya.
"Perlu bantuan Papa Sa?"
"Enggak Pa. Biar Kakak sendiri yang membujuknya. Kakak takut kalau Naya semakin tertekan karena banyak yang tau tentang kejadian tadi malam.
"Baiklah kalau begitu, tapi kalau bisa kalian harus secepatnya menikah"
"Iya Pa, Kakak akan berusaha. Makasih ya Pa, Ma, karena sudah memaafkan Kakak"
"Papa dan Mama percaya kalau kamu tidak akan melakukan hal itu jika dalam keadaan sadar. Kamu putra Mama yang baik"
Sekarang Hesa sudah merasa tenang karena restu dari kedua orang tuanya sudah di dapat. Beban di punggungnya juga sudah sedikit terangkat saat ini. Masalahnya hanya tinggal satu saat ini, yaitu membujuk Naya yang begitu keras kepala.
🌹🌹🌹
Hari pun berlalu hingga kini sudah satu bulan dari kejadian kelam malam itu. Tanpa sepengetahuan Naya, Hesa terus mengawasinya. Bahkan Hesa meminta salinan jadwal dari bangsal penyakit dalam hanya untuk menyamakan jadwalnya dengan Naya. Dengan begitu, Hesa akan lebih leluasa untuk mengawasi Naya.
Kehadiran Hesa saat Naya dan Gisel makan siang juga sudah membuat Naya terbiasa. Dia membiarkan dokter itu ada di sana agar Gisel tak mencurigainya. Toh selama satu bulan ini Hesa juga tak mengungkit maslaah malam kelam mereka lagi. Jadi Naya sedikit merasa tenang.
"Ini soto daging buat Naya dan Gisel. Buat Kak Hesa bakso tanpa mie sesuai request" Rendra datang membawa pesanan mereka semua.
Mereka memang sedang makan siang berempat di kantin rumah sakit.
"Makasih ya dokter Rendra"
"Sama-sama suster Naya yang cantik"
"Cih" Gisel muak mendengar rayuan sepupunya itu.
"Apa sih, nggak asik lo!"
Mereka berdua memang selalu saja berdebat tanpa ada yang bisa menghentikan mereka. Hesa saja sudah malas untuk menegur kedua adiknya itu. Sehingga dia hanya diam saja menikmati makan siangnya sambil sesekali melirik Naya yang tersenyum karena mendengar perdebatan Gisel dan Rendra.
"Hmmbb" Naya tiba-tiba menutup hidungnya karena merasa aroma soto di hadapannya tak seperti biasanya.
"Kenapa Nay?" Heran Gisel.
"Aku ke toilet bentar ya" Naya tampak buru-buru meninggalkan kantin. Dia sudah tak tahan lagi ingin mengeluarkan isi perutnya.
"Huek..huek..." Naya menunduk di closet memuntahkan isi perutnya. Namun karena sejak pagi tadi Nata hanya sarapan sepotong roti, maka tak ada apapun yang keluar meski Naya sudah mencoba untuk memuntahkannya.
"Sebenarnya aku kenapa? Biasanya juga nggak kaya gini!"
Soto daging adalah makanan kesukaannya sama dengan Gisel. Tapi baru kali ini Naya merasa muak mencium baru bawang goreng serta kuah berminyak dari kuah sotonya.
Naya membasuh mulutnya kemudian keluar dari toilet itu.
Deg...
Jantung Naya hampir lepas kala mendapati seorang pria bertubuh tinggi tengah berdiri di depan pintu toilet.
"D-dokter?" Gugup Naya.
"Kamu hamil?"
Naya langsung melotot karena pertanyaan yang menurut Naya sangatlah sensitif itu. Dia juga langsung melihat ke kiri dan kanannya, takut jika ada orang lain di sana dan mendengar ucapan Hesa.
"Apa maksud dokter? Saya nggak hamil!" Sanggah Naya karena dirinya memang tidak merasa sedang hamil.
"Lalu kenapa kamu mual-mual?"
"Dokter, mual itu bisa terjadi pada siapapun termasuk dokter sendiri. Saya dari tadi pagi belum sarapan jadinya perut kosong dan mual. Jadi dokter jangan membahas tentang ini lagi, kita sudah sepakat loh Pak dokter!" Naya berusaha setenang mungkin karena dia juga lupa dengan kemungkinan itu.
"Baiklah kalau begitu ayo kita periksa saja biar lebih yakin. Kalau nggak salah ini sudah satu bulan sejak malam itu, jadi pasti sudah terlihat"
"Maaf dokter, tapi saya nggak mau karena memang saya tidak merasa ada yang aneh pada tubuh saya. Permisi dok!" Naya mecoba menghindar dari Hesa degan kembali ke kantin.
Meski di dalam hatinya bertanya-tanya, apa benar dia memang hamil saat ini?
Naya kembali ke kantin menghampiri Gisel dan Rendra yang masih ada di sana. Saat kakinya mulai memasuki kantin, telinganya tak sengaja mendengar sesuatu yang membuat hatinya tersentil.
"Kalau aku sih malu ya, apalagi mereka kan dokter semua terus keturunan Natawirya. Biarpun dokter Gisel itu teman sekolah, tapi kalau satu meja sama Direktur rumah sakit ya masih tau diri dong. Tapi kalau aku sih ya, nggak tau kalau dia. Mungkin urat malunya udah putus"
"Hmmm!!"
Suara Hesa berhasil membuat seorang perawat yang entah sedang mencibir Naya atau bukan itu langsung terdiam.
Sedangkan Naya cukup terkejut karena ternyata pria yang memiliki tinggi seratus delapan puluh lima senti itu sudah ada di belakangnya.
Naya yang tingginya hanya sebatas dada Hesa pun harus mendongak untuk menatap dokter tampan itu.
"Jangan dengarkan, ayo Gisel masih menunggumu di sana!"
Naya pun kembali berjalan menghampiri Gisel dan Rendra yang masih menyantap makan siangnya.
"Kalian lama banget sih?" Kesal Gisel.
"Maaf Sel. Ini kan jam makan siang, jadi toiletnya penuh"
"Tapi suster Naya tidak papa kan?" Rendra terlihat khawatir karena Naya yang tadi tiba-tiba berlari ke toilet.
"Saya nggak papa kok dokter Rendra" Naya menunjukkan senyum tipisnya.
"Lagian kamu sih Nay, kaya orang hamil aja yang tiba-tiba mual karena makanan" Celetukan Gisel membuat Naya dan Hesa saling memandang.
tapi pasti mamas dokter bisa bungkam mulut mereka.
👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻
Tapi itulaa n̈amanya pengikat kasih sayang ♥️♥️♥️♥️♥️