Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelang Gayam
Suasana di seminar di hotel Grand Canyon ibarat lautan manusia berlabuh; riuh rendah suara canda dan obrolan anggota IDI Jawa Timur yang bertemu kembali menciptakan suasana seperti pesta reuni. Kusuma, yang biasanya tampil sederhana, kini bak permata tersembunyi yang bersinar terang. Penampilannya berhasil mengelabui Shaka, meski Kusuma bisa merasakan sesuatu yang asing dari pria itu. Aura gelap menguar dari tubuh Shaka, seperti kabut tipis yang sulit diterjemahkan.
“Oh iya, Mbak. Kenalan dulu, namanya siapa?” sapa Shaka dengan penuh penasaran.
“Namaku Alya,” jawab Kusuma dengan tenang, menyembunyikan jati dirinya.
“Nama yang secantik pemiliknya,” puji Shaka, senyumnya sedikit heran, “tapi aneh... seperti sudah lama aku mengenalmu.”
“Kebiasaan kamu ya, Shaka, kalau lihat wanita cantik selalu langsung akrab. Apa kurang Dokter Shela untukmu?” seloroh Viko, menggoda sambil melirik.
“Ah, Shela sudah setahun lebih di pedalaman bersama Jesy!” balas Shaka, tertawa, meski matanya sedikit menerawang ke tempat yang jauh.
“Sudahlah, ayo kita masuk,” ajak Viko sambil menepuk bahu Shaka.
Di dalam ruangan seminar, kursi-kursi telah terisi penuh oleh para peserta yang sibuk mencatat dan berbincang. Kusuma terkejut mendapati pria tampan yang tadi duduk di sampingnya ternyata adalah seorang dokter, berdiri di samping Shaka.
“Ini Abdi, kamu ingat nggak?” tanya Shaka kepada Viko.
“Abdi?” Viko mengernyit, berusaha mengingat.
“Iya, Abdi,” kata Abdi tersenyum lebar, menunggu diakui.
“Oh, iya aku ingat sekarang! Bukankah kamu satu angkatan dengan Shela dulu?” Viko tersenyum, akhirnya mengenali.
“Betul sekali,” balas Abdi, santai, sebelum memasang headset dan larut kembali dalam dunianya.
Kusuma merasa sedikit tersisih, seperti daun yang tersangkut di aliran sungai, hanya mengikuti arah percakapan tanpa terlibat. “Aku di sini seperti pupuk bawang,” batinnya, sedikit merenung sambil memperhatikan mereka bertukar cerita masa lalu.
Setelah dua jam, seminar pun berakhir. Viko, setia dengan janjinya, mengajak Kusuma untuk menjelajahi Surabaya.
“Shaka, sibuk nggak? Aku janji mau ajak Alya keliling kota,” kata Viko santai.
“Maaf, aku padat banget hari ini,” jawab Shaka sambil tersenyum kecil, menunjukkan kesibukannya yang tak bisa ditawar.
Tanpa menunda waktu, Viko membawa Kusuma ke Tunjungan Plaza, menyusuri lorong-lorong pusat perbelanjaan yang gemerlap. Setelahnya, mereka pun melanjutkan perjalanan kembali ke Jombang, Kusuma merasa Surabaya masih bersembunyi dalam sisi yang tak sempat sepenuhnya ia lihat, meski ada rasa hangat yang terus membekas dari hari itu.
Dalam perjalanan pulang, dering ponsel Kusuma memecah keheningan. Suaranya menggema seperti panggilan dari masa lalu yang lama terpendam.
“Kusuma!” suara lembut namun tegas di seberang sana.
“Bu Lista!” balas Kusuma, sedikit kaget namun penuh hormat.
“Kusuma, saya butuh bantuanmu. Ada sesuatu yang hilang... gelang gayam itu, kamu masih ingat, kan?”
Gelang gayam? Pikiran Kusuma seketika mengembara pada benda kecil namun penuh misteri itu. Benda berbahaya yang, dalam kesederhanaannya, seperti membawa beban dari alam lain.
“Apakah Ibu memiliki fotonya?” tanya Kusuma, berusaha menggali sedikit ingatan.
“Foto? Barang macam itu mana mungkin aku punya fotonya, Kusuma. Kamu tahu kan, gelang itu bukan sembarang benda.”
Kusuma terdiam, membiarkan pikiran mencoba meraba ingatan yang mungkin bisa membawanya pada petunjuk.
“Baiklah, Bu. Nanti saya coba ingat-ingat lagi,” jawab Kusuma dengan nada penuh tekad, sambil merasakan beratnya tanggung jawab yang tiba-tiba menyelimuti.
**
Meskipun seorang perawat, Kusuma menyimpan harta yang diam-diam bertumbuh dari hasil kerja kerasnya, seperti biji yang tak terlihat namun terus bersemi di bawah permukaan tanah. Tabungannya cukup untuk membangun masa depan, bahkan kini ia sudah bisa membeli rumah sendiri—buah dari keuletan dan kerja siang-malam, baik di dunia nyata maupun di ranah yang tak kasat mata. Dulu, ia biasa membantu arwah gentayangan yang mengembara, mencari jalan pulang. Namun, sejak pindah ke kota, ia sering membantu Lista dalam menangani kasus-kasus gaib milik klien, yang selalu disertai imbalan cukup besar.
Beberapa kali, Kusuma bahkan menjadi penyelamat bagi para pedagang yang merasa usahanya terganggu oleh jin-jin pengganggu. Ia membawa kedamaian ke dalam lapak-lapak mereka yang nyaris roboh oleh kekuatan tak terlihat, menjadi pelindung mereka dari ancaman halus yang tak kasat mata.
“Kusuma!” panggil Dinda tiba-tiba, suaranya memecah keheningan ruang meditasi tempat Kusuma tengah berkonsentrasi mencari keberadaan gelang gayam yang hilang, sebuah misi yang diberikan langsung oleh Dokter Lista.
Sekali lagi Dinda memanggil, membuat konsentrasinya buyar seketika.
“Kusuma!”
Kusuma membuka matanya perlahan, menyembunyikan kelelahan dalam tatapan tenangnya. “Ada apa sih?” tanyanya dengan nada menahan kesal.
“Temanku, Putra, butuh bantuanmu. Bisa kan, semalam saja jagain neneknya yang sedang sakit? Dia ada acara penting dan harus menginap. Aku juga nggak bisa bantu karena harus kerja malam.”
Kusuma merenung sejenak, merasakan beban di hatinya sedikit mereda. Esok hari adalah hari liburnya, tak ada tanggung jawab yang mendesak.
Ia pun akhirnya mengangguk. "Baiklah, Dinda. Untuk malam ini, aku akan bantu jagain nenek temanmu.”
Kusuma menggantikan Putra sebagai perawat di Desa Bancak, meskipun langit malam semakin muram dan gelap seolah menelan keberanian di setiap kelokan jalan. Jalanan yang terjal dan penuh liku itu seakan membisikkan ancaman di sepanjang perjalanan. Dengan hanya kabut tebal yang menari mengaburkan pandangan, Kusuma terpaksa berhenti sejenak, memperhatikan peta di layar ponselnya yang masih menunjukkan sisa waktu tiga puluh lima menit lagi.
Tak lama, sosok mobil berhenti di pinggir jalan muncul samar-samar di balik kabut. Hatinya tergelitik oleh kekhawatiran. Wanita berambut panjang itu turun dengan tenang dan menghampiri, memanggil pria tua di kursi pengemudi dengan senyum simpul yang meneduhkan.
"Pak, ada yang bisa saya bantu?" tawar Kusuma lembut kepada pria tua berambut ikal, yang langsung menatapnya penuh harap. Di belakang pria itu, seorang wanita tampak memangku anak kecil yang menggigil, ketakutan.
"Mbak, kami terjebak di dalam mobil. Tolong bantu kami keluar," ucap si pria tua dengan nada lemah namun penuh harap.
Kusuma mencoba menarik gagang pintu, namun semuanya terkunci. Tiba-tiba, tangisan gadis kecil di dalam mobil kian keras, seolah memanggil bantuan dari siapa saja yang bisa mendengar. Kusuma pun terpaksa kembali ke mobilnya, mencari sesuatu yang bisa membantu membuka pintu itu.
Udara semakin dingin saat kabut makin pekat melingkupi segala penjuru. Kusuma menyalakan fog lamp, menembus tirai kabut yang menyeramkan. Namun, dari sudut matanya, samar-samar terlihat sosok wanita berpakaian kebaya putih berdiri di belakang mobilnya. Kebaya yang kotor, penuh bercak darah yang sudah mengering, dan rambut yang tergerai panjang menutupi wajahnya, membuat jantung Kusuma berdetak kencang. Angin dingin berhembus menusuk tulang, namun Kusuma tetap bergeming, berusaha mengambil linggis dari tumpukan barang di bagasi.
“Lumayan dingin malam ini,” batin Kusuma singkat, tanpa menyadari dingin yang ia rasakan bukanlah sekadar sentuhan angin malam, melainkan kehadiran bayangan sunyi yang seolah muncul dari dunia yang tak tersentuh oleh manusia.
Dengan susah payah, Kusuma menarik linggis, kemudian menutup bagasi. Begitu berbalik, sosok wanita berkebaya itu telah berada hanya beberapa langkah darinya, wajahnya yang pucat kebiruan dan penuh bercak darah menyiratkan ketakutan yang tak terdefinisikan. Mata merahnya menatap dalam, giginya yang hitam terlihat dari bibirnya yang menganga.
Kusuma berdiri mematung, merasakan hawa dingin menusuk tulangnya. Tangisan anak kecil di dalam mobil terdengar kian memilukan, namun Kusuma hanya mampu berdiri kaku, menatap makhluk menyeramkan di hadapannya yang semakin mendekat. Dengan napas tercekat, ia mengangkat linggis dan mengacungkannya ke arah sosok itu.
"Kamu siapa?! Jangan mendekat!" serunya dengan suara bergetar, melangkah mundur hingga punggungnya menabrak bumper mobil.