Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Peluk Aku Untuk Terakhir Kalinya
Matahari pagi tampak enggan menampakkan diri, seolah malu pada mendung yang menggantung di langit.
Naura duduk di ruang tamu, ditemani sunyi yang terasa menghimpit.
Tangan mungilnya memegang cangkir teh yang sudah dingin, tapi ia tidak meminumnya.
Pikirannya melayang, hatinya cemas menanti kedatangan Bimo.
"Masih belum ada kabar?" tanya Ayah Naura dengan nada dingin, memecah keheningan.
Naura hanya menggeleng pelan tanpa menoleh. Hatinya terhimpit rasa bersalah dan takut. Ia tahu, pertemuan ini tidak akan berakhir baik.
Beberapa jam kemudian, suara mesin mobil terdengar di depan rumah.
Naura langsung menegakkan tubuhnya, hatinya berdegup kencang. Ia tahu itu Bimo.
Bimo melangkah masuk ke rumah dengan wajah tegang. Ia tampak berbeda, lebih dingin, lebih jauh.
Naura bangkit berdiri, tubuhnya gemetar. Matanya langsung mencari-cari tanda-tanda yang biasa ia kenal dari lelaki yang pernah dicintainya sepenuh hati.
Namun, kali ini, ia hanya melihat sosok asing.
"Ayah, Ibu, saya minta maaf atas semua ini," ucap Bimo memulai, suaranya tenang tapi tajam, seperti pisau yang menusuk.
Ayah Naura berdiri di hadapannya, matanya menyala penuh amarah.
"Kau minta maaf? Setelah menghancurkan hidup anakku? Setelah mempermainkan kehormatannya?"
Naura mencoba menahan tangis, tapi air matanya tumpah. Ia melangkah maju, berdiri di depan Bimo.
"Mas, tolong jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan ini baik-baik, kan? Aku mohon ...." Bimo memalingkan wajah, tidak sanggup menatap mata Naura yang penuh luka.
"Naura," ucapnya pelan, tapi tajam. "Aku menceraikan kamu."
Kalimat itu jatuh seperti petir di telinga Naura. Tangannya gemetar hebat, air matanya semakin deras.
"Apa ... apa maksud Mas? Aku ini istrimu. Kita sudah menikah, Mas. Aku ...."
Bimo memotongnya. "Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Ruang tamu seketika sunyi. Hanya isak tangis Naura yang terdengar, semakin lama semakin pilu.
Ia jatuh terduduk, tidak peduli pada pandangan keluarganya.
"Mas Bimo ... bagaimana mungkin? Setelah semua yang kita lalui? Setelah aku menyerahkan segalanya untukmu?" Suaranya pecah di antara tangis.
Bimo mengepalkan tangannya, seolah mencoba menahan emosi.
"Aku tahu ini salahku. Aku tahu aku egois. Tapi aku tidak bisa berpura-pura lagi. Aku mencintai dia, Naura. Dan aku tidak ingin terus menyakitimu dengan kebohongan ini."
Naura mendongak, wajahnya basah oleh air mata.
"Lalu aku ini apa, Mas? Mainanmu? Badut yang kau manfaatkan untuk mengisi kekosonganmu?"
Bimo tidak menjawab. Wajahnya tetap dingin, seolah sudah membangun tembok tebal untuk melindungi dirinya dari rasa bersalah.
Ayah Naura tidak bisa lagi menahan emosinya.
"Keluar dari rumahku, sekarang juga! Dan jangan pernah kembali!"
Bimo mengangguk pelan, lalu melangkah ke pintu.
Namun, sebelum ia pergi, Naura berdiri dan berteriak.
"Mas Bimo, tunggu!"
Ia mendekat, tubuhnya lunglai, tangannya bergetar saat memegang lengan Bimo.
"Peluk aku ... untuk terakhir kalinya. Kumohon."
Bimo terdiam, matanya terlihat berkaca-kaca, tapi ia tidak berkata apa-apa.
Ia hanya menarik Naura ke dalam pelukannya, erat tapi singkat.
"Maafkan aku, Naura," bisiknya.
Namun tiba-tiba Ayah Naura berteriak lantang. Seolah sengaja meluapkan kekesalannya.
"Naura, masuk! Kamu sudah tidak dianggap. Buat apa mengemis sama pria yang tidak bertanggung jawab! Kamu sudah dibuang, Nak!"
Bimo perlahan merenggangkan pelukannya. Ia menatap sendu ke arah orang tua Naura.
Pagi itu terasa berat, seperti langit yang enggan menyingkirkan mendung.
"Saya juga dilema, Pak. Saya tahu jika perbuatan terhadap anak Bapak tidak bisa dibenarkan. Semua sudah terjadi," keluh Bimo dengan tatapan nanar.
Bimo masuk dan mendekati lagi keluarga Naura dengan wajah tegang. Tubuhnya terlihat kaku, tapi sorot matanya memancarkan kelelahan yang dalam.
Ia menunduk hormat kepada Ayah dan Ibu Naura. Ia berusaha mengesampingkan egonya.
Mungkin karena baginya ini pertemuan yang terakhir.
"Pak, Bu, saya minta maaf atas semua ini," kata Bimo pelan, suaranya serak seperti menahan beban besar.
"Minta maaf? Setelah menghancurkan hidup anakku? Setelah mempermainkan pernikahan kalian? Kau pikir semudah itu meminta maaf?" Ayah Naura menatapnya tajam.
Naura berdiri, tubuhnya gemetar, menatap Bimo dengan mata penuh harap dan luka.
"Mas Bimo..." panggilnya lemah, suaranya hampir tenggelam dalam air mata.
Bimo menoleh ke arahnya, dan seketika sorot matanya berubah. Ada rasa bersalah yang mendalam di sana.
Ia menghela napas panjang, lalu berkata, "Pak, Bu, saya mohon izin berbicara dengan Naura. Hanya berdua. Saya ingin menyelesaikan semuanya dengan jelas."
Ayah Naura hendak membantah, tapi Ibu Naura memegang lengannya, mengisyaratkan untuk membiarkan mereka.
Dengan berat hati, orang tua Naura keluar, meninggalkan keduanya di ruang tamu.
Bimo duduk di sofa, menunduk, lalu mengusap wajahnya yang kusut.
"Naura, aku tahu aku salah. Aku tahu aku telah menyakitimu ... tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi."
Naura mendekat, duduk di seberangnya, matanya merah oleh air mata.
"Mas, apa maksud semua ini? Kenapa? Aku tidak mengerti ... apa salahku?"
Bimo mendongak, menatap wajah Naura yang basah oleh air mata.
"Kamu nggak salah, Naura. Semua ini terjadi karena aku ... karena aku lemah. Eyangku memaksaku untuk menikah dengan wanita lain. Dia mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku tetap bersamamu. Aku nggak sanggup melihat eyangku sakit seperti itu."
Naura terdiam. Kata-kata Bimo bagai tamparan keras. Tubuhnya terasa kaku, sulit bernapas.
"Jadi ... jadi aku ini apa, Mas? Kamu menikahiku hanya karena ... kamu butuh pelarian?"
Bimo menggeleng cepat, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Bukan begitu, Naura. Aku sungguh mencintaimu. Aku mencintaimu lebih dari apa pun. Tapi aku ... aku nggak punya pilihan. Eyangku adalah segalanya untuk keluargaku. Aku harus menuruti keinginannya."
Naura menggelengkan kepala, air mata terus mengalir.
"Tapi Mas, bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kita? Aku sudah menyerahkan segalanya untukmu. Apa artinya semua itu?"
Bimo tidak bisa menjawab. Ia hanya menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, lalu menangis untuk pertama kalinya di depan Naura.
"Aku minta maaf, Naura. Aku sungguh minta maaf. Kalau saja aku bisa memilih ... aku ingin tetap bersamamu."
Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara isakan mereka. Lalu Bimo berbicara pelan, dengan suara bergetar.
"Peluk aku, Naura. Untuk terakhir kalinya."
Naura menatapnya, hatinya hancur, tapi ia tidak bisa menolak.
Dengan air mata yang terus mengalir, ia maju dan memeluk Bimo erat-erat. Tangis mereka pecah bersamaan, menyatu dalam keheningan yang pilu.
"Maafkan aku, Naura," bisik Bimo di telinganya. "Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa melawan takdir ini."
Naura hanya bisa menangis di pelukannya, menyadari bahwa pelukan itu adalah yang terakhir.
Pelukan yang sekaligus membawa rasa cinta dan perpisahan.
"Aku pamit, semoga kamu bahagia dan menemukan pengganti yang lebih baik," kata Bimo lalu pergi meninggalkan rumah Naura.
Kali ini, ia tidak mungkin kembali.
Naura berdiri mematung di ambang pintu, menatap punggung Bimo yang semakin menjauh.
Hujan mulai turun, membasahi tanah seperti ikut menangisi kehancuran hatinya.
Ia merasa kosong, seperti seluruh hidupnya telah direnggut dalam sekejap. Hanya suara isakan dari bibirnya yang terdengar di tengah derasnya hujan.
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan