Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Temukan, siapapun!
"Aku akan bertanya sekali. Apa kau masih mencintainya?"
"Jangan bicarakan itu. Kita obati, kakimu."
"JAWAB!" teriak Sandra.
"Aku masih mencintainya, tapi aku tidak bisa menerimanya kembali."
"Hahahaha...." Sandra tertawa, bercampur tangis. Tak peduli, dengan kakinya yang sudah berdarah. "Aku akan memberitahumu. Malam itu, aku bersama Maya!"
"Ap-apa?" Zamar mematung, tiba-tiba tenggorokannya tercekat.
"Malam itu, aku bersamanya. Aku mengajaknya minum dan dia minum segelas. Hah, temanku yang malang, memang tidak bisa minum.
"Katakan, apa yang kau bicarakan? Katakan, Sandra!" Zamar mencengkram dengan kuat kedua bahu Sandra.
"Kenapa? Apa kau akan membenciku? Karena terus diam atau karena kau tidak percaya padaku?" Nada suara yang sudah berubah menjadi lirih dan bercampur isak.
"Sebenarnya, apa maksudmu? Malam itu, kau bersamanya? Katakan, apa yang terjadi?" bentak Zamar, dengan wajah memerah dan kedua tangannya semakin kuat mencengkram kedua bahu istrinya.
Sandra tidak menjawab, ia hanya tertawa, dengan menggeleng-gelengkan kepalanya, dan salah satu tangannya, menghapus air mata. Ia bergumam kecil, yang tidak terdengar dan tidak dimengerti oleh Zamar.
"Tuan, kita harus mengobati kakinya."
Zamar tidak bergerak. Ia masih menunggu jawaban Sandra.
"San, Sandra."
Sandra menghempaskan tangan Zamar. Mundur selangkah, oleng dan akhirnya jatuh dalam pelukan Huan, yang menangkap tubuhnya.
"Obati, dia!"
Zamar memilih keluar, duduk dibangku kayu depan rumah. Ditemani suara deru ombak dan tiupan angin yang menerpa wajahnya.
"Aku mohon, percaya padaku, Za. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Semalam aku bersama Sandra. Dia berada di apartemen, saat aku pulang dari rumah ibumu. Ia mabuk dan setelah itu, aku sungguh tidak tahu lagi,"
Zamar teringat akan ucapan Maya, saat itu. Gadis itu menangis dan memohon, saat menyebut nama Sandra. Tapi, bagaimana bisa ia percaya, karena sepengetahuannya gadis itu pergi keluar negeri.
"Apa tidak percaya padanya? Mungkin saja, dia dijebak?"
"Siapa yang akan menjebaknya? Aku tidak punya kekasih lain dan orang tuaku menerimanya dengan baik. ."
Zamar mengusap wajahnya dengan kasar. Bingung, apakah perkataan orang mabuk bisa dipercaya? Jika iya, entahlah, dia tidak sanggup untuk mengatakannya.
"Kau mendengar, apa yang ia katakan?" Huan tiba-tiba muncul dari arah belakang.
"Iya, Tuan."
"Apa perkataan orang yang sedang mabuk bisa dipercaya?"
"Menurut saya. Terkadang, seseorang akan berkata jujur, saat keadaan mabuk. Anda ingat, ucapan nona Maya, saat itu?" Zamar mengangguk. "Dan malam ini, nona Sandra mengatakan hal yang sama."
"Tapi, kenapa? Kenapa dia diam selama ini? Dia marah, karena sikapku pada Maya. Tapi, kenapa dia diam?"
"Bagaimana jika Anda menanyakannya langsung?"
"Tidak. Dia tidak akan bicara jujur. Bersikap biasalah, anggap tidak terjadi apa-apa."
"Lalu, apa yang harus saya lakukan? Saya sudah pernah memeriksa keberadaan nona Sandra, saat itu. Apa perlu, saya melakukannya kembali?"
"Baik, mari lakukan kembali. Tapi, jangan pernah bertanya, pada orang yang sama, Huan."
"Saya mengerti, Tuan."
"Baiklah. Kau istirahatlah!"
Zamar berjalan-jalan dipinggir laut, tanpa alas kaki. Sorot matanya, mengarah pada kedai yang masih buka, namun sepi pengunjung. Hanya ada, karyawan yang sedang mengerjakan sesuatu.
"Selamat malam, Tuan. Maaf, kami sudah tutup."
"Kau punya kopi?"
"Ada. Silahkan, duduk."
"Tunggu!" panggil Zamar. "Apa Aira dan Khay, sudah tidur?"
"Oh, mereka sudah pulang, Tuan."
"Pulang? Kemana?"
"Ke kota. Sepertinya, tuan Ansel dan istrinya, punya kerjaan mendadak."
"Oh, baiklah. Terima kasih."
Secangkir kopi panas, sudah mendarat diatas meja. Zamar menyeruput, sambil memperhatikan kesibukan mereka. Ada yang membersihkan ikan, ayam dan kerang. Sebagian memetik sayur dan menyiapkan bumbu.
"Kalian tinggal disini?"
"Iya, Tuan. Dibelakang, ada bangunan untuk tempat tinggal."
"Lalu, apa kalian tidak pernah libur untuk bertemu keluarga?"
"Kami bergantian, setiap minggunya."
"Kalian memiliki boss yang pengertian dan bijaksana."
"Anda memang benar. Dia sangat pengertian."
Perlahan, kopi dalam cangkir, menyisakan setengah. Berbincang-bincang, bisa membuatnya merasa lebih baik. Zamar memilih pulang, kerena udara semakin dingin.
Didalam kamar, Sandra terlelap, dengan kedua kaki yang sudah diperban. Zamar hanya mengambil pakaian, lalu kembali keluar. Diruang tengah, tampak foto Maya bersandar di dinding dengan bingkai tanpa kaca.
"Kau belum tidur?" Zamar menemukan sang sekretaris berada didapur, dengan segelas susu di tangannya.
"Belum, Tuan. Saya terbiasa, tidur larut malam." Huan meletakkan gelasnya diatas meja makan dan duduk.
Zamar melangkah, mengambil segelas air putih dan meminumnya sampai tandas. Lalu, duduk bergabung dimeja makan.
"Aku tidak tenang, Huan."
Huan tidak menjawab. Ia membiarkan Zamar, mengeluarkan unek-unek dalam hatinya. Ia juga belum mau memberitahu, tentang pencariannya selama ini. Karena, belum menemukan bukti, untuk mengetahui dalang semuanya.
"Jika benar, Sandra bersama dengan Maya malam itu. Aku akan sangat menyesal dan aku tidak mampu menghadapinya. Apalagi, ini sudah dua tahun lebih, berlalu," lanjut Zamar.
Huan meneguk susunya, masih enggan berkomentar. Mungkin, kadang penyesalan itu perlu, sebagai hukuman atas kesalahan. Dan penyesalan, bisa membuat seseorang, bisa menghargai, orang yang dicintainya.
"Dan pria bajingan itu, kenapa dia mengaku sebagai kekasih Maya? Kenapa waktu itu, aku melepaskannya? Seharusnya, aku mengurungnya," Zamar terus meracau.
"Tuan, sudah larut. Sebaiknya, Anda tidur."
"Aku tidak bisa tidur, Huan. Kepalaku seakan mau pecah. Cari kembali pria itu! Temukan dia! Bagaimanapun, caranya."
"Akan saya usahakan, Tuan."
Huan sudah menghabiskan segelas susunya dan dia masih harus bekerja dengan layar komputernya. Belum lagi, anak buahnya yang terus menelpon. Untungnya, ponsel Huan dalam. mode silent.
"Maya? Apa sudah ada kabar?"
"Belum Tuan. Nomor ponsel yang Anda berikan saat itu, terdeteksi berada di terminal bus."
"Tujuan? Tujuannya kemana?"
"Kami belum menemukannya."
Zamar menghela napas panjang. Ingin menggebrak dan membanting meja didepannya. Dua tahun, kenapa belum ada kabar, sampai hari ini? Maya tidak punya siapa-siapa, tidak mungkin ia pergi sejauh itu. Ia juga tidak memiliki uang dan barang berharga.
"Dua hari, Huan. Temukan siapapun, entah itu Maya atau pria itu. Beri aku sesuatu, agar aku tenang." Zamar melangkah pergi, tanpa menunggu jawaban sang sekretaris.
Huan hanya menatap, lalu bangkit mencuci gelasnya.
Zamar masuk dalam kamar, disebelah kamar sang istri. Sementara, Huan memilih kamar yang paling ujung.
"Ada apa?" Huan setengah berbisik, karena pintu kamar belum ia tutup.
"Wanita itu, adalah pelayan di rumah nona Sandra. Dia berasal dari panti asuhan yang sama dengan nona Maya."
"Terus?"
"Dia bekerja sebagai pelayan, lima tahun lalu."
"Selidiki hubungan nona dengan pelayan di rumahnya? Kalau perlu, selidiki mereka semua?"
"Baik, Pak. Kami usahakan."
Sambungan terputus. Huan menyalakan komputer, melanjutkan pekerjaan yang seharusnya, sudah selesai di kantor.
🍋 Bersambung
Penggambaran suasana slain tokoh2nya detil & aku suka bahasanya.
Tapi sayang kayaknya kurang promo deh dr NT.
Tetaplah semangat berkarya thor, yakinlah rezeki ga kemana..
Tengkyu n lap yu thor...
biar jd penyesalan