"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keinginan Elma
"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami membutuhkan bantuanmu," kata Elma berpesan padaku.
Aku menggeleng seraya melepas jari-jarinya. "Elma, kamu sedang sakit, makanya kamu berpikir macam-macam. Mana bisa aku melakukan itu? Niklas itu suami kamu dan nggak mungkin aku ...."
"Niklas pasti mau melakukannya, Tsania." Elma memotong kalimatku dengan cepat.
Aku nggak yakin dan kalaupun Niklas bersedia, aku yang nggak mau. Aku yang nggak bersedia, batinku.
Senyum tipis Elma terlukis sebelum aku beranjak dari tepi kasur. Tangannya menepuk-nepuk punggung tanganku. Sorot matanya yang redup seakan-akan berkata aku harus mematuhi keinginannya.
"Maaf, San. Bahkan di sisa usiaku, kamu harus mengalah untukku," ujar Elma.
"El, apa yang kamu bicarakan ...."
"Kumohon, San ... ini yang terakhir. Aku janji, aku nggak akan meminta apa pun lagi. Aku juga nggak akan membuatmu mengalah lagi." Sorot mata Elma yang sayu tampak berkaca-kaca saat menatapnya. "Aku minta maaf Tsania karena aku baru bisa mengembalikannya sekarang. Maksudku, hal-hal yang seharusnya jadi milikmu."
Tak sanggup lagi aku mendengar kata-kata Elma. Aku bergegas keluar setelah merapikan selimutnya.
Pintu kamar Elma tertutup pelan sesaat setelah aku keluar dari sana. Tanganku yang memegang kenop pintu terlepas dengan gerakan lesu dari benda itu. Kakiku masih lemas dan sedikit bergetar tatkala mendengar permintaan Elma.
"Ini nggak mungkin. Elma seharusnya nggak memintaku melakukan hal yang seperti itu. Kenapa dia menginginkan itu? Sampai kapan kamu akan menyakiti aku, El?"
Bahkan sampai detik ini aku masih merasa sedih setiap kali mengingat masa lalu. Bibirku mungkin berkata tak perlu mengungkit masa yang telah lewat, tetapi rasanya hal itu bukan sesuatu yang bisa aku abaikan dalam satu dua bulan.
Aku menyeret langkah hendak turun menuju lantai utama, di mana para orang tua mungkin sedang menanti dengan cemas. Mesin mobil Niklas baru saja terdengar dan aku yakin dia sedang menyapa ayahku yang datang hari ini.
"Jangan gila, Ibu!"
Suara keras dari arah lorong ruang laundry membuatku terhenyak di ujung anak tangga. Tak ada ayah di ruang tengah, tetapi beliau juga tidak bergabung di lorong itu. Hanya ada Niklas, Tante Julia, dan Om Sandy. Mereka sepertinya tidak menyadari keberadaanku.
"Bagaimana bisa saya menikah dengan keadaan Elma sekarang? Ibu dan Ayah jangan harap saya akan mengiakan permintaan aneh ini," kata Niklas lagi.
"Nik, istrimu sudah tidak bisa apa-apa lagi. Hanya bisa berbaring melawan kankernya. Dia bahkan nggak mau kemoterapi. Oh, kemoterapi juga sebenarnya nggak akan membantu banyak, Elma menyerah, Elma gagal, Niklas!" Suara Tante Julia terdengar menyusul suara berat Niklas.
Giliran Om Sandy yang ikut bersuara. "Benar kata ibumu, Niklas. Apa lagi yang kamu harapkan dari Elma? Dia sudah tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga kita. Elma sudah berjuang, tapi sampai di sinilah perjuangannya. Terima saja kenyataan yang ada, Niklas dan kamu adalah satu-satunya anak kami, hanya kamulah yang akan memberikan kami cucu untuk melanjutkan keturunan kita."
"Kalian benar-benar nggak punya hati. Lihat Elma sekarang, dia sedang sakit. Lalu, kalian meminta saya untuk menikahi perempuan lain dengan kondisinya yang seperti ini?" Niklas lagi-lagi memprotes.
"Itu dia!" Tante Julia berteriak keras. Aku yakin mungkin Elma mendengar teriakan itu. "Dari awal Ibu nggak pernah suka kamu menikah dengannya. Kamu tahu bagaimana ibunya Elma, Niklas!"
"Lalu apa? Apa bedanya Elma dengan perempuan itu? Apa bedanya Elma dengan Tsania?!"
Saat Niklas membawa-bawa namaku, aku lagi-lagi terhenyak kaget. Rupanya permintaan Elma sudah sampai juga pada keluarga besar Niklas dan aku yakin, ayahku juga pasti sudah tahu akan hal ini. Kakiku lagi-lagi bergetar karena pertengkaran itu. Ternyata hanya aku yang baru mengetahui permintaan terakhir Elma.
"Elma gagal, Niklas. Elma bermasalah, nggak bisa memberimu anak!" Lagi-lagi Tante Julia berteriak.
"Jangan menyebutnya seperti itu. Saya menikahinya bukan semata hanya karena menginginkan keturunan, tapi saya mencintainya."
"Niklas," kata Om Sandy. Suaranya terdengar jauh lebih tenang. "Elma yang meminta hal ini. Apa salahnya menikah dengan Tsania? Elma menyetujui ini dan ...."
"Makanya, saya tanya apa bedanya Tsania dan Elma kalau kalian sangat membenci Elma?" Niklas memotong ucapan ayah dan ibunya.
"TSANIA BUKAN ANAK KANDUNG OM IRFAN! INGAT, ITU!" Teriakan Tante Julia lagi-lagi memicu detak jantungku sehingga berdegup lebih kencang.
Fakta yang terlontar dari bibir Tante Julia membuat hatiku perih seketika. Begitulah kebenarannya. Aku dan Elma bukan saudara kandung. Kata ayah, aku resmi menjadi anak mereka secara hukum saat menemukanku di panti asuhan.
Hanya karena Elma butuh seorang adik karena mendiang ibu kami tidak bisa mengandung lagi, mereka pun mengangkatku sebagai anak. Meski begitu, aku menyayangi Elma selayaknya kakak kandung. Dia mencintai, memperhatikan, dan memperlakukan aku dengan baik.
Saudara tak harus sedarah, 'kan?
"Apa maksud kalian?" tanya Niklas dengan suara yang sedikit rendah dan berat.
"Begitulah kebenarannya. Tsania masih bisa hamil, Niklas, masih ada harapan. Itulah yang diinginkan juga oleh Elma," ucap Tante Julia.
Tak ada jawaban apa pun dari Niklas. Beberapa saat berikutnya, terdengar suara langkah lebar Niklas mendekat. Aku tidak sempat menjauh karena masih terlalu syok oleh pertengkaran itu.
Selama ini ternyata Tante Julia tidak menyukai Elma? Dia tak pernah menyetujui kemauan Niklas untuk menikahi Elma? Begitu, kah?
Niklas berhenti di depan anak tangga saat mata kami bertatapan. Aku terkesiap, lalu menghindar dari tatapannya. Pria itu mendekat, memamerkan tatapan tidak bersahabat terhadapku. Dia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata pun.
Asing sekali. Rasanya menyakitkan ... sungguh.
"Tsania?" Tante Julia tiba-tiba muncul dari lorong, ditemani oleh Om Sandy. Wanita itu mendekatiku. "Elma pasti sudah membicarakannya dengan kamu, 'kan?"
"Kenapa, Tante?"
"Apa maksudmu? Tentu saja itu keinginan Elma," kata Tante Julia.
"Benarkah? Bukan karena kalian yang memintanya untuk membuat keputusan seperti itu? Niklas benar, mana mungkin dia harus menikah dengan perempuan lain di saat kondisi Elma seperti itu, Om, Tante." Aku melirik Om Sandy yang tampak frustrasi.
Tante Julia mendekat dan memelukku selama sekian detik. "Kamu tau, Tsania. Hanya kamulah yang kami harapkan sejak dulu."
"Tante ...." Aku berusaha memprotes, tetapi kata-kataku tertahan di tenggorokan.
Kini Om Sandy yang mendekat dan menepuk-nepuk pundakku. "Ayahmu juga tidak keberatan. Jadi, untuk apa mengeluh? Elma sudah memberikan kalian izin."
"Ini nggak semudah yang kalian pikirkan," ucapku.
Kata-kataku diabaikan lagi oleh mereka. Tante Julia meraih jari-jariku, lalu menggenggamnya dengan erat. Sepasang mata Tante Julia menatap lekat, sorotnya menyala penuh harapan.
"Jujur saja, Tsania. Kamu juga masih menginginkan Niklas, 'kan?" tanya Tante Julia.