seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 27
Mereka tengah berada pada sebuah Pengadilan Keluarga, di dalam Ruang Mediasi Devano dengan wajah tegang, tangannya meremas dokumen hukum yang sudah disiapkannya. Di sisi lain, Ayana terlihat dingin, tatapan matanya kosong seolah tak ingin lagi terjebak dalam percakapan panjang. Di antara mereka, mediator mencoba memulai percakapan.
Mediator:
"Baik, mari kita mulai dengan mendengar pendapat dari kedua pihak. Nona Ayana, Anda mengajukan gugatan cerai. Bisa Anda jelaskan alasannya?"
Ayana suara tenang tapi tegas menjawab
"Selama tujuh tahun, saya sudah mencoba. Tapi pernikahan ini adalah sebuah kekeliruan sejak awal. Saya tidak mencintai Devano, dan saya tidak akan pernah bisa. Semakin lama kami bersama, semakin banyak luka yang kami ciptakan untuk diri kami masing-masing. Ini harus diakhiri."
Devano menyela seketika emosinya memuncak
"Tapi aku mencintaimu, Ayana! Aku tidak peduli seberapa sulitnya, aku percaya kita masih bisa memperbaiki semuanya. Aku sudah berkonsultasi dengan pengacara, dan aku akan berjuang agar pernikahan ini tidak berakhir."
Mendengar perkataan devano Ayana memandangnya dengan tatapan terluka
"Berjuang? Berjuang untuk apa, Devano? Untuk terus memaksaku berada di sampingmu meskipun hatiku tidak pernah ada di sini? Kita hanya menyiksa diri sendiri."
Devano kembali berusaha menenangkan diri, suaranya melembut melihat ekspresi Ayana yang menganggu perasaannya
"Aku tahu aku salah karena memulai ini dengan paksaan. Tapi selama tujuh tahun ini, aku mencoba memberikan yang terbaik untukmu. Aku tahu kau masih mencintai Biantara, tapi Aku yakin kita bisa memulai dari awal, Ayana."
Ayana menggeleng pelan, air mata mulai mengalir
"Kau tidak mengerti. Aku sudah mencoba, Devano. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa aku bisa mencintaimu. Tapi hati ini tidak bisa dipaksa. Aku tidak ingin terus hidup dalam kebohongan, baik untuk diriku maupun untukmu."
Devano menahan air mata, meremas dokumen di tangannya
"Kalau kau pikir ini mudah untukku, kau salah. Aku tahu kau tidak pernah mencintaiku, tapi aku mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku sudah menyiapkan langkah hukum untuk melawan gugatan ini, bukan karena aku ingin memaksamu, tapi karena aku percaya kita masih bisa menemukan jalan."
Ayana menatapnya dengan rasa bersalah dan putus asa
"Langkah hukum? Kau ingin memperpanjang penderitaan ini, Devano? Aku ingin kau bahagia, aku ingin aku juga bahagia, tapi itu tidak mungkin jika kita terus bersama."
Mediator:
"Baik, sepertinya ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Pernikahan membutuhkan dua hati yang saling setuju. Namun, jika satu pihak sudah tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan, maka..."
Devano memotong dengan penuh emosi
"Tapi aku tidak menyerah begitu saja! Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu berubah pikiran, Ayana."
Ayana berdiri, berbisik dengan nada putus asa
"Kadang cinta tidak cukup, Devano. Lepaskan aku... sebelum kita saling menghancurkan lebih dalam."
Devano tertegun, menggenggam dokumen hukum di tangannya lebih erat, terlihat seperti pria yang berjuang melawan takdir
"Aku tidak tahu bagaimana cara menyerah, Ayana."
____
Ayana meninggalkan ruang mediasi dengan langkah berat, sementara Devano tetap duduk di sana, matanya berkaca-kaca, penuh tekad untuk memperjuangkan pernikahan yang ia anggap sebagai segalanya.
Ayana melangkah keluar dari ruang mediasi dengan raut wajah lelah dan frustrasi. Tatapannya kosong, napasnya berat. Raka, kakaknya, berdiri menunggu bersama Iris, istrinya, yang terlihat cemas. Di sisi lain, Jihan, sahabat Ayana sejak kecil, berdiri tak jauh darinya, memberi senyuman kecil yang penuh dukungan. Tak lama setelah itu, langkah sepatu terdengar di belakang mereka—Biantara muncul, membawa aura tenang namun penuh perhatian. Ayana berhenti sejenak, sedikit terkejut melihat kehadirannya.
Raka melangkah mendekat, memegang bahu Ayana dengan lembut
"Ayana, bagaimana tadi di dalam? Kamu baik-baik saja?"
Ayana menghela napas, suaranya bergetar
"Aku sudah mencoba menjelaskan, tapi Devano... dia tidak mau melepaskan. Dia masih ingin mempertahankan sesuatu yang tidak pernah bisa."
Iris mengusap punggung Ayana, suaranya lembut
"Kamu sudah berbuat yang terbaik, Ayana. Ini bukan salahmu. Kami semua ada di sini untukmu."
Biantara mendekat perlahan, berdiri di belakang rombongan dengan sikap tenang. Ia memandang Ayana dengan sorot mata yang penuh perhatian, tapi tidak ingin membuatnya semakin tertekan.
Jihan pun menggenggam tangan Ayana, mencoba mengalihkan perhatian
"Kamu nggak sendiri, ay. Semua ini akan selesai, dan kamu akan bebas. Kamu layak mendapatkan kebahagiaanmu."
Ayana menatap Jihan dengan air mata yang mulai mengalir, suaranya lirih
"Aku lelah, Ji. Rasanya aku ingin berhenti... aku nggak tahu apakah aku punya kekuatan untuk terus melawan."
Biantara akhirnya angkat bicara, suaranya dalam tapi lembut
"Ayana, kamu sudah melangkah sejauh ini. Jangan berhenti sekarang. Aku tahu ini berat, tapi kamu tidak sendiri. Kami semua ada di sini untukmu."
Ayana menoleh ke arah Biantara, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan sekaligus haru. Ia mengangguk pelan, tapi matanya dipenuhi keraguan.
"Kenapa kamu masih mau membantuku, Bi? Semua ini bukan tanggung jawabmu." tanya Ayana dengan suara bergetar
Biantara mencoba sedikit melangkah mendekat, menatapnya dengan tulus
"Ayana, Aku melakukan ini karena aku tahu kamu butuh kebebasan. Kamu berhak untuk menentukan hidupmu sendiri. Aku tahu bagaimana kamu menderita, dan aku nggak bisa diam saja."
Ayana menunduk, air matanya mulai mengalir lebih deras. Kenangan masa kecilnya, perlakuan ibunya yang terlalu mendominasi, dan paksaan pernikahan tujuh tahun lalu seolah terputar kembali di pikirannya. Jihan menggenggam tangannya lebih erat, memberikan dukungan tanpa kata-kata.
Raka dengan nada serius tapi juga hangat berkata
"Kami semua tahu kamu kuat, Ayana. Kamu sudah bertahan terlalu lama. Sekarang waktunya kamu keluar dari bayang-bayang ini."
tersenyum tipis terukir dari bibir biantara, mencoba memberikan rasa tenang
"Pengacara yang kamu punya adalah salah satu yang terbaik. Dia sahabatku dari Beijing, dan dia tidak akan menyerah sampai semuanya selesai."
Ayana menatap Biantara dengan raut wajah yang penuh emosi. Ia ingin berbicara, tapi hanya air mata yang keluar. Dalam hati, ia merasa ada secercah harapan, namun rasa bersalah terhadap Devano dan ibunya terus membayangi.
"Kalau saja aku bisa memilih hidupku sendiri sejak awal... mungkin semua ini nggak akan terjadi." ucap ayana dengan nada yang hampir berbisik
dengan nada penuh keyakinan bian mencoba menenangkan
"Kamu masih bisa memilih, Ayana. Ini belum terlambat. Hiduplah untuk dirimu sendiri, bukan untuk orang lain."
Ayana menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tidak sendirian. Dengan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, ia mulai percaya bahwa kebebasan dan kebahagiaan mungkin masih bisa diraih.
Iris tersenyum hangat lalu berkata
"Kamu punya keluarga, sahabat, dan teman yang selalu mendukungmu, Ayana. Jangan ragu untuk meminta bantuan."
Ayana mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih berat. Biantara yang terlihat terus memandangnya, terlihat tulus dan tanpa pamrih. Ayana melangkah perlahan menuju mobil, dikelilingi orang-orang yang peduli padanya.
Ketika Ayana hendak memasuki mobil raka bian berkata" besok saya akan membawa pengacara untuk berdiskusi kerumah bang raka" tutur bian meminta izin kepada sang pemilik rumah raka.
Raka pun mengangguk isyarat setuju,terlebih pengacara hebat seperti apa yang bersanding di samping biantara tentunya bukanlah orang sederhana, raka berfikir bantuan biantara pastilah berpengaruh terhadap perkembangan kasus adiknya itu.
Bian menatap ayana yang juga Ayana menatapnya dari jendela penumpang dengan tatapan tak bisa di artikan sebelum akhirnya mobil melaju pergi.