Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Jam Tangan
Airin menuntun Kaivan kembali ke kamar, lalu mencari celana bersih di lemari. Ia menyerahkannya pada Kaivan. "Ini, pakai dulu celananya. Aku akan mengambil air untuk membersihkan tubuhmu," katanya seraya berlalu.
Kaivan hanya menanggapi dengan gumaman pelan, merasa sedikit bingung dengan sikap gugup Airin yang tadi ia tangkap. Setelah memastikan Kaivan sudah mulai memakai celananya, Airin pergi mengambil baskom berisi air hangat dan kain bersih.
"Kak, sudah selesai memakai celananya?" tanya Airin sambil mengetuk pintu pelan sebelum masuk.
"Sudah," jawab Kaivan dari dalam.
Airin masuk, meletakkan baskom di meja kecil dekat ranjang. "Baiklah, sekarang duduk tenang. Aku akan membersihkan luka-lukamu," ucapnya dengan nada lembut.
Kaivan menuruti, duduk dengan punggung tegap di tepi ranjang. Airin merendam kain ke dalam air hangat, memerasnya, lalu mulai menyeka wajah Kaivan dengan hati-hati. Ia mengusap pelipis, leher, hingga lengan Kaivan dengan gerakan lembut namun terampil, meskipun fokusnya agak terganggu melihat tubuh atletis Kaivan.
"Maaf kalau terasa sakit," kata Airin pelan saat ia menyeka luka kecil di bahu Kaivan.
"Tidak apa-apa. Kau melakukannya dengan sangat telaten," jawab Kaivan. Meski biasanya ia tidak nyaman diurus orang lain, namun perhatian Airin terasa berbeda.
Airin tersenyum kecil mendengar pujian itu, tetapi ia tetap berusaha fokus. Airin memandangi wajah Kaivan dengan ragu, jemarinya meremas kain basah yang baru saja ia gunakan untuk menyeka luka di wajah pria itu. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara.
"Emm... Kak," akhirnya Airin memberanikan diri, suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Rambut dan brewokmu, apa perlu dicukur?"
Kaivan, yang awalnya sedang memikirkan sesuatu, langsung tersentak. Ia menoleh ke arah suara Airin, meski matanya masih sulit menangkap dengan jelas. Pertanyaan itu membuatnya terdiam sesaat.
Brewok dan rambutnya memang sengaja dibiarkan tumbuh lebat. Baginya, itu seperti tameng. Tameng untuk menutupi wajahnya yang selama ini menjadi daya tarik bagi banyak wanita. Ia benci saat orang mendekatinya hanya karena tampangnya dan statusnya sebagai anak konglomerat.
Airin menatapnya dengan bingung. "Kak? Kenapa diam? Maaf, kalau pertanyaanku..."
Kaivan menghela napas panjang, membuang pikirannya yang sempat melayang ke masa lalu. Ia menatap ke arah Airin, samar-samar menangkap gerakan gadis itu. "Kau merasa terganggu dengan rambut, brewok, dan kumisku?" tanyanya datar, suaranya terdengar serius.
Airin menggeleng cepat, refleks. "Tidak, tidak sama sekali! Aku hanya berpikir mungkin akan lebih nyaman kalau... maksudku, kalau dicukur sedikit, tapi aku benar-benar tidak masalah kalau Kakak tetap begini," jawabnya buru-buru.
Kaivan sedikit tersenyum mendengar nada panik Airin, meskipun senyumnya sangat tipis. "Aku tidak bisa melihatmu, tapi kau menggeleng, 'kan?"
Airin terkejut. "Eh? Kakak tahu?" tanyanya dengan nada heran.
"Samar. Aku bisa melihat sedikit bayanganmu bergerak," jawab Kaivan, nada suaranya berubah lebih lembut.
Airin menahan napas sejenak, lalu tersenyum lega. "Itu... bagus kalau Kakak bisa melihat bayangan. Mungkin penglihatan Kakak akan membaik."
Kaivan hanya mengangguk pelan. "Tentang rambut dan brewokku... kalau kau tak keberatan, biarkan saja seperti ini dulu."
Airin tersenyum lagi, meskipun Kaivan tidak bisa melihatnya dengan jelas. "Baik, Kak. Aku tak keberatan, sungguh."
Kaivan merasa ada kehangatan dalam nada bicara Airin. Tanpa sadar, perasaannya sedikit melunak. Di depan wanita ini, ia merasa tidak perlu menyembunyikan siapa dirinya, meskipun masa lalunya masih menjadi bayang-bayang.
Setelah selesai menyeka tubuh Kaivan, ia mengambil kotak P3K kecil dari sudut kamar dan mulai mengobati luka-luka Kaivan dengan perlahan.
"Apa semua ini hasil kecelakaan itu?" tanya Airin pelan, masih sibuk membersihkan luka di siku Kaivan.
Kaivan mengangguk, suaranya datar. "Kebanyakan, ya. Tapi mungkin juga dari hal-hal lain yang aku lupa."
Airin menatap wajah Kaivan yang terlihat lelah namun tetap tenang. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Airin merasa ingin terus merawat pria ini, meski ia sendiri tidak tahu kenapa.
"Kak Ivan, mulai sekarang, apa pun yang terjadi, kau bisa mengandalkanku. Aku akan selalu ada," katanya spontan, tanpa berpikir panjang.
Kaivan terdiam sejenak, hatinya terasa hangat mendengar janji itu. Meskipun ia belum sepenuhnya percaya pada orang lain, ia bisa merasakan ketulusan Airin. "Terima kasih, Airin. Aku menghargai itu."
Setelah selesai, Airin merapikan baskom dan kain. Ia melirik Kaivan yang kini tampak lebih segar meski belum terlalu sehat. Dalam hati, ia berdoa agar kebersamaan mereka membawa kebaikan, meski jalan hidup mereka baru saja dimulai.
Setelah selesai menyuapi Kaivan, Airin menyodorkan segelas air dan obat kepada Kaivan sambil berkata lembut, "Minum obatnya dulu, Kak."
Kaivan mengangguk pelan, menerima segelas air dan obat dari Airin. "Terima kasih," ucapnya singkat sebelum menelan obatnya.
Airin tersenyum kecil. "Kak Ivan, aku pikir nanti aku akan membelikan baju baru untukmu. Baju mendiang ayahku ternyata kekecilan di tubuhmu. Kakak pasti nggak nyaman."
Kaivan terkejut mendengar itu, tetapi tetap menjaga nada suaranya. "Tidak perlu repot, Airin. Aku baik-baik saja dengan baju ini."
"Tidak apa-apa, Kak. Aku ingin kau merasa nyaman," jawab Airin tulus.
Kaivan tersenyum samar. Namun tiba-tiba, pikirannya teringat pada sesuatu. "Airin, ngomong-ngomong, jam tanganku kemarin... Apa kau melihatnya?"
Airin teringat bahwa ia melepas jam tangan Kaivan saat membersihkan tangan pria itu kemarin. "Oh, jam tangan itu. Aku melepasnya waktu membersihkan tangan Kakak. Tunggu sebentar, aku ambilkan," katanya sebelum berjalan ke lemari kecil di sudut kamar.
Ia kembali beberapa saat kemudian sambil menyerahkan jam tangan itu kepada Kaivan. "Ini, Kak. Maaf aku lupa mengembalikannya."
Kaivan meraba jam tangannya, memegangnya dengan hati-hati seolah itu barang yang sangat berarti. Kemudian ia bertanya ragu, "Airin, di sini... ada toko yang menjual jam tangan, tidak?"
Airin terlihat berpikir sejenak. "Ada, tapi tokonya di kota. Tempatnya lumayan jauh dari sini."
Kaivan mengangguk pelan, menyembunyikan kegelisahannya. "Kalau begitu, apa kau bisa mengantarku ke sana nanti?"
Airin menatapnya, sedikit terkejut. "Ke kota? Apa kau butuh sesuatu, Kak?"
Kaivan mengusap jam tangannya dengan ekspresi yang sulit diterka. Ia menghela napas pelan sebelum berkata, "Airin, aku ingin menjual jam tangan ini."
Airin terkejut mendengar itu. "Menjualnya? Tapi kenapa, Kak?"
Kaivan tersenyum tipis, meskipun ada rasa berat di hatinya. "Aku tidak ingin terlalu banyak menghabiskan uangmu untuk kebutuhanku. Kau sudah cukup berkorban, Airin."
Airin segera menggeleng, mencoba membantah. "Kak, kau tidak perlu melakukan itu. Aku ikhlas membantu. Lagipula, ini kewajibanku sebagai istri."
Kaivan menundukkan kepala sejenak, lalu menatap ke arah Airin meskipun samar. Suaranya terdengar tegas, namun lembut. "Airin, aku ini suamimu. Seharusnya akulah yang menafkahimu, bukan sebaliknya. Jangan membuatku merasa tak berarti."
Kata-kata itu membuat Airin terdiam. Ia menatap Kaivan yang wajahnya tampak penuh keyakinan. Dalam hatinya, ia tahu Kaivan hanya ingin menjaga harga dirinya sebagai seorang pria dan suami.
Akhirnya, Airin menghela napas panjang, menyerah pada keinginan Kaivan. "Baiklah, Kak. Kalau itu yang kau inginkan, nanti kalau Kakak sudah merasa lebih baik, kita bisa pergi ke sana."
Kaivan tersenyum kecil, merasa lega. "Terima kasih, Airin."
Airin mengangguk pelan. Meskipun hatinya khawatir, ia memilih untuk mendukung keputusan Kaivan. Baginya, menjaga perasaan suaminya lebih penting daripada memaksakan kehendaknya sendiri.
Dalam hati, Kaivan berharap rencananya untuk menjual jam tangan itu berjalan lancar. Ia ingin menggunakan uang hasil penjualan itu untuk membeli pakaian baru dan, yang lebih penting, membayar biaya berobat ke dokter mata. "Aku tak boleh mengabaikan pengobatan mataku, aku tak ingin buta selamanya." batinnya. Namun, ia memutuskan untuk merahasiakan tujuannya agar tidak membuat Airin khawatir.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso