Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Adik Naya
Malam itu, setelah hari panjang yang dihabiskan dengan berbelanja dan bersenang-senang, Naya dan Widuri akhirnya tiba di rumah. Mereka baru saja masuk ke dalam rumah ketika jam menunjukkan tengah malam. Keduanya tampak lelah namun puas, dengan senyum yang masih tersisa di wajah masing-masing.
"Fiuh, akhirnya sampai juga. Capek banget," keluh Naya sambil melepas sepatunya dan meletakkan tas belanjaan di lantai.
"Capek, tapi worth it, kan?" sahut Widuri sambil tertawa kecil. Ia menaruh barang-barangnya di sofa dan berjalan menuju dapur. "Mau minum dulu sebelum tidur?"
"Kayaknya enak kalau minum teh hangat. Biar tidur nyenyak," jawab Naya yang masih duduk di lantai, memijat-mijat kakinya yang pegal setelah seharian berjalan di mal.
Setelah menyiapkan teh, mereka duduk di meja makan kecil sambil berbicara ringan. Gelak tawa sesekali terdengar di antara keheningan malam. Hari yang penuh keceriaan itu mulai terasa tenang, dan kelelahan perlahan mengambil alih. Setelah minum, mereka memutuskan untuk tidur di kamar Naya.
Namun, ketika Naya baru saja merebahkan tubuhnya di tempat tidur, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Getaran singkat dan bunyi notifikasi itu membuat Naya mengernyit, merasa sedikit terganggu. Ia mengangkat ponselnya dan melihat pesan masuk dari adiknya, Andre, yang masih duduk di bangku SMA.
Andre: "Kak Naya, tolong aku dong. Besok kakak bisa nggak wakilin Ibu buat datang ke sekolah? Andre terlibat perkelahian dengan seseorang."
Naya yang semula setengah mengantuk, tiba-tiba bangun dengan cepat, matanya melebar karena terkejut. "Ya ampun, Andre!" gumamnya kesal.
Widuri yang sudah berada di kasur di samping Naya menoleh. "Ada apa, Nay?"
Naya menghela napas panjang, lalu menunjukkan pesan dari adiknya kepada Widuri. "Lihat ini. Adik aku lagi-lagi bikin masalah. Terlibat perkelahian di sekolah, dan sekarang dia minta aku yang datang besok ke sekolah wakilin Ibu."
Widuri mengerutkan dahi, ikut membaca pesan itu. "Perkelahian? Aduh, anak-anak SMA zaman sekarang... Kenapa dia bisa berkelahi?"
"Itu dia! Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi Andre selalu bikin masalah akhir-akhir ini. Dan sekarang aku harus menghadapi gurunya? Kenapa selalu aku yang harus diberi masalah seperti ini?" Naya mulai mengomel, merasa kesal dan lelah dengan ulah adiknya.
Dengan ekspresi kelelahan, Naya segera mengetik balasan dengan cepat, meskipun masih diliputi kekesalan.
Naya: "Andre! Apa-apaan kamu ini? Kenapa bisa berkelahi? Besok kakak akan datang, tapi kamu harus jelasin semuanya. Ini udah keterlaluan!"
Setelah mengirim pesan itu, Naya melemparkan ponselnya ke samping dengan kesal. Ia memijat pelipisnya, mencoba menenangkan diri dari perasaan marah dan lelah yang tiba-tiba melanda.
"Aku benar-benar nggak tahu lagi harus gimana sama Andre," ujar Naya, mencoba mengatur napasnya. "Ibu lagi sibuk, dan sekarang aku yang harus berurusan sama masalah di sekolahnya. Belum lagi kerjaan dengan Dante, sekarang ini."
Widuri, yang memahami perasaan sahabatnya, duduk lebih dekat dan menepuk bahu Naya. "Nay, tenang dulu. Aku tahu kamu lelah, tapi besok pasti bisa diatasi. Kamu cuma perlu dengar dulu penjelasan Andre, dan mungkin dia ada alasan kenapa sampai terlibat perkelahian."
Naya mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya masih merasa frustrasi. "Iya, mungkin. Tapi tetap aja rasanya capek, Wid. Sepertinya masalah nggak pernah berhenti menghampiri."
Widuri tersenyum lembut, mencoba memberi sedikit hiburan. "Nggak semua masalah harus kamu hadapi sendiri, Nay. Besok aku temani kamu ke sekolah, biar kamu nggak sendirian menghadapi ini."
Naya tersenyum tipis, merasa sedikit lega dengan kehadiran Widuri yang selalu mendukungnya. "Thanks, Wid. Kayaknya aku benar-benar butuh kamu buat hadapi ini."
"Kapan sih aku nggak ada buat kamu?" jawab Widuri dengan senyum menggoda.
Malam itu, meskipun Naya masih dihantui kekhawatiran tentang pertemuan di sekolah esok hari, kehadiran Widuri di sisinya memberinya sedikit ketenangan. Mereka akhirnya tertidur, berharap hari esok membawa solusi atas masalah yang tak terduga ini.
Pagi itu, Naya sedang sibuk menyiapkan beberapa berkas di studionya. Setelah semalam mendapat pesan dari Andre, ia tahu bahwa hari ini akan cukup panjang. Dengan perasaan sedikit tertekan, Naya menyiapkan arahan untuk Tika, rekan kerjanya, sebelum ia berangkat ke sekolah Andre.
“Tika, aku perlu kamu bantu lanjutkan konsep ini. Pastikan semua sesuai dengan brief yang kita diskusikan kemarin. Aku harus ke sekolah adikku, ada masalah yang harus aku selesaikan,” ujar Naya sambil memberikan beberapa berkas kepada Tika.
Tika mengangguk paham. “Tenang aja, Kak Naya. Aku bakal urus semuanya. Semoga masalah di sekolah cepat selesai.”
Naya tersenyum tipis, meskipun pikirannya masih berkecamuk tentang masalah Andre. "Makasih, Tika. Kalau ada yang perlu, langsung hubungi aku, ya."
Setelah memastikan pekerjaan di studio berjalan lancar, Naya dan Widuri segera berangkat menuju sekolah Andre. Di perjalanan, Naya merasa cemas. “Aku benar-benar nggak ngerti kenapa Andre bisa terlibat perkelahian. Dia bukan tipe anak yang gampang cari masalah, tapi akhir-akhir ini dia jadi aneh.”
Widuri yang sedang menyetir menatap Naya sekilas. "Mungkin ada tekanan di sekolah, atau masalah dengan teman-temannya. Kita lihat saja nanti setelah bicara dengan gurunya."
Setibanya di sekolah, Naya segera diarahkan menuju ruang kepala sekolah. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu, berusaha menenangkan diri agar bisa menghadapi situasi ini dengan kepala dingin. Namun, begitu pintu terbuka, langkah Naya langsung terhenti. Di dalam ruangan itu, duduklah seseorang yang tak pernah ia sangka akan ditemui di sana—Dante.
Dante, yang juga terlihat terkejut, langsung menatap Naya dengan ekspresi canggung yang jarang ia tunjukkan. Untuk sesaat, mereka hanya saling memandang tanpa berkata apa-apa, terdiam dalam keheranan.
“Dante?” ucap Naya pelan, setengah tidak percaya.
“Naya?” jawab Dante, alisnya terangkat. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Naya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Aku… aku ke sini karena adikku, Andre. Dia terlibat perkelahian di sekolah, dan aku dipanggil untuk menemui kepala sekolah.”
Wajah Dante tampak sedikit tegang mendengar jawaban Naya. "Kebetulan sekali," katanya sambil menoleh ke arah kepala sekolah yang duduk di meja besar di depan mereka. “Aku juga di sini karena adikku. Sepertinya adik kita yang terlibat dalam masalah yang sama.”
Naya tercengang. “Maksudmu… adikmu yang berkelahi dengan Andre?”
Kepala sekolah, yang sejak tadi diam menyaksikan interaksi itu, akhirnya angkat bicara. “Benar sekali. Adik Anda berdua, Andre dan Reno, terlibat dalam sebuah perkelahian kemarin di halaman sekolah. Kami memanggil Anda berdua untuk membahas situasi ini, dan mencari solusi terbaik bagi mereka.”
Naya merasa pipinya mulai memanas karena situasi ini. Bertemu Dante di tempat kerja sudah cukup membuatnya tegang, namun sekarang, mereka harus berhadapan dalam situasi yang jauh lebih pribadi. Perkelahian antara adik mereka berdua sungguh di luar dugaannya.
Dante, yang biasanya selalu tenang dan profesional, kini tampak sedikit gelisah. "Aku benar-benar nggak menyangka Reno bisa terlibat masalah seperti ini," gumamnya, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.
Naya mengangguk pelan. "Aku juga kaget. Andre biasanya nggak pernah cari masalah. Aku nggak tahu apa yang terjadi sampai mereka bisa berkelahi."
Kepala sekolah kemudian menjelaskan lebih lanjut tentang insiden tersebut. Ternyata, perkelahian antara Andre dan Reno bermula dari kesalahpahaman kecil yang membesar, hingga akhirnya memanas dan berujung pada konflik fisik.
“Yang saya ingin tekankan adalah, kami berharap Anda sebagai keluarga bisa membantu menyelesaikan masalah ini dengan bijaksana. Sekolah sudah memberikan hukuman yang setimpal, tapi kami berharap masalah ini tidak berlanjut,” kata kepala sekolah dengan nada tegas namun tenang.
Naya dan Dante saling bertukar pandang. Situasi ini terasa canggung bagi keduanya, terutama karena hubungan kerja mereka yang profesional sekarang terseret ke dalam masalah keluarga. Namun, mereka tahu bahwa masalah ini harus diselesaikan dengan kepala dingin.
Setelah kepala sekolah memberikan beberapa arahan, pertemuan itu selesai. Naya dan Dante keluar dari ruang kepala sekolah, berjalan berdampingan dengan sedikit kikuk. Mereka masih memikirkan situasi yang baru saja terjadi.
“Ini benar-benar di luar dugaan, ya,” kata Naya akhirnya, memecah keheningan.
“Iya, aku juga nggak menyangka Reno bisa sampai berkelahi. Dia biasanya anak yang pendiam,” jawab Dante sambil menghela napas.
Naya merasa sedikit lega bahwa Dante juga merasakan hal yang sama—kebingungan dan ketidakpastian tentang apa yang terjadi dengan adik mereka masing-masing.
“Kita harus bicara dengan mereka, jelas,” kata Naya sambil memikirkan langkah selanjutnya. “Semoga ini bisa diselesaikan dengan baik.”
Dante mengangguk setuju. “Ya, kita harus pastikan mereka nggak terlibat masalah seperti ini lagi.”
Meski situasi terasa aneh dan tidak nyaman, Naya merasakan sedikit kelegaan bahwa Dante juga berada di pihak yang sama. Mereka berdua ingin menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik, demi adik-adik mereka.
Saat mereka berpisah di pintu gerbang sekolah, Naya melihat Widuri yang menunggunya di depan dengan mobil. Sementara Dante berjalan ke arah mobilnya sendiri, Naya tersenyum tipis, mencoba melepaskan perasaan canggung yang masih menggantung di antara mereka.
“Semoga masalah ini segera selesai,” gumam Naya pada dirinya sendiri, lalu melangkah menuju Widuri yang sudah bersiap menjemputnya.