800 setelah perang nuklir dahsyat yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, dunia telah berubah menjadi bayangan suram dari masa lalunya. Peradaban runtuh, teknologi menjadi mitos yang terlupakan, dan umat manusia kembali ke era primitif di mana kekerasan dan kelangkaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah reruntuhan ini, legenda tentang The Mockingbird menyebar seperti bisikan di antara para penyintas. Simbol harapan ini diyakini menyimpan rahasia untuk membangun kembali dunia, namun tak seorang pun tahu apakah legenda itu nyata. Athena, seorang wanita muda yang keras hati dan yatim piatu, menemukan dirinya berada di tengah takdir besar ini. Membawa warisan rahasia dari dunia lama yang tersimpan dalam dirinya, Athena memulai perjalanan berbahaya untuk mengungkap kebenaran di balik simbol legendaris itu.
Dalam perjalanan ini, Athena bergabung dengan kelompok pejuang yang memiliki latar belakang & keyakinan berbeda, menghadapi ancaman mematikan dari sisa-s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Nyala Api Revolusi
Di tengah pegunungan yang tersembunyi, sebuah kamp mulai terbentuk. Puluhan tenda berdiri di bawah langit yang dipenuhi bintang, dikelilingi oleh tebing-tebing curam yang melindungi mereka dari pandangan musuh. Orang-orang dari berbagai penjuru negeri yang tertekan di bawah kekuasaan Atlantis berdatangan, membawa peralatan seadanya, senjata-senjata tua, bahkan hanya niat untuk berjuang.
Athena berdiri di tengah kamp, memandang sekeliling. Wajah-wajah yang penuh kelelahan menatapnya, namun di baliknya ada harapan yang perlahan tumbuh. Harapan yang rapuh, tetapi nyata.
Kaiden berjalan mendekatinya, membawa daftar nama-nama yang telah bergabung. “Kita sudah punya 200 orang,” katanya. “Tapi mereka ini bukan tentara. Banyak dari mereka bahkan belum pernah menyentuh senjata sebelumnya.”
Athena mengangguk, menyadari kebenaran kata-kata Kaiden. “Mereka tidak harus menjadi tentara sekarang,” jawabnya. “Mereka hanya harus percaya bahwa mereka bisa melawan. Kita akan melatih mereka.”
Kaiden menghela napas. “Kau tahu, Athena, ini tidak akan mudah. Atlantis punya ribuan pasukan terlatih, senjata canggih, dan sumber daya yang tak terbatas. Sedangkan kita… kita punya harapan, dan itu tidak selalu cukup.”
Athena menatap Kaiden dengan tegas. “Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi aku juga tahu bahwa jika kita tidak melawan sekarang, tidak akan ada yang tersisa untuk dilawan. Kita harus mulai dari sesuatu, sekecil apa pun.”
Latihan dimulai keesokan harinya. Di tengah lapangan yang dingin, Kaiden melatih para rekrutan menggunakan pedang kayu, tombak tua, dan senapan kuno yang seringkali macet. Elora, meskipun masih muda, memilih ikut bergabung, berlatih dengan penuh semangat meskipun tubuh kecilnya sering jatuh ke tanah.
“Kenapa kau ingin ikut?” tanya salah seorang rekrutan kepada Elora ketika mereka istirahat.
Elora mengangkat wajahnya, matanya penuh tekad. “Aku ingin memastikan tidak ada lagi orang yang kehilangan seperti aku. Kalau aku bisa membantu walau sedikit, itu sudah cukup.”
Kata-katanya menyentuh hati semua orang di sana. Athena yang mendengar itu dari kejauhan merasa semakin yakin bahwa Elora adalah simbol yang mereka butuhkan.
Namun, membangun pasukan revolusi tidak hanya tentang melatih fisik. Athena tahu bahwa ia harus mendapatkan kepercayaan orang-orang di sekitarnya, terutama mereka yang skeptis terhadap kemampuannya memimpin.
“Apa yang membuatmu begitu yakin, Athena?” tanya seorang pria tua bernama Arlan, salah satu pemimpin kelompok dari desa lain. “Apa yang membuatmu berpikir bahwa kita punya peluang melawan Atlantis?”
Athena menatap pria itu dengan mata penuh emosi. “Karena aku tidak bisa menerima dunia seperti ini lagi. Karena aku tahu rasa sakit kehilangan. Karena aku percaya kita semua, bersama-sama, lebih kuat dari tirani apa pun. Kita mungkin tidak punya banyak, tapi kita punya sesuatu yang tidak mereka miliki: keberanian untuk berdiri melawan.”
Tentu saja, tidak semua berjalan mulus. Ketegangan muncul di dalam kamp ketika beberapa orang mulai mempertanyakan rencana Athena.
“Kita butuh lebih dari sekadar keberanian,” seru seorang pria muda bernama Larin dalam sebuah pertemuan. “Kita butuh strategi, senjata, dan sekutu. Jika kita bergerak sekarang, kita semua akan mati!”
Athena mengangkat tangannya, meminta ketenangan. “Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita sedang membangun sesuatu. Ini bukan soal satu pertempuran, tapi soal perjalanan panjang. Jika kita tidak memulai sekarang, kapan lagi?”
Namun, keraguan Larin menular pada sebagian orang. Beberapa rekrutan meninggalkan kamp malam itu, membawa ketakutan dan pesimisme mereka. Athena melihat mereka pergi, merasa dadanya sesak.
Kaiden mendekatinya. “Kau tidak bisa menyalahkan mereka. Tidak semua orang seberani dirimu.”
“Aku tidak menyalahkan mereka,” kata Athena pelan. “Tapi aku merasa gagal. Bagaimana aku bisa memimpin revolusi jika aku bahkan tidak bisa menjaga kepercayaan mereka?”
Kaiden menepuk bahunya. “Kau tidak akan pernah bisa memuaskan semua orang. Yang harus kau lakukan adalah tetap maju. Orang-orang yang percaya padamu akan mengikuti.”
Malam itu, Athena mengumpulkan orang-orang yang tersisa di tengah kamp. Api unggun menyala, memberikan cahaya hangat di tengah dinginnya malam.
“Kalian semua yang ada di sini adalah orang-orang yang percaya pada sesuatu yang lebih besar dari diri kalian sendiri,” kata Athena lantang. “Kalian adalah inti dari revolusi ini. Dan aku ingin kalian tahu bahwa aku tidak akan pernah meninggalkan kalian. Aku tidak akan pernah menyerah, apa pun yang terjadi.”
Ia mengeluarkan belati kecil dari pinggangnya dan memotong telapak tangannya. Darah mengalir dari lukanya, jatuh ke tanah.
“Ini sumpahku,” lanjut Athena. “Aku akan memperjuangkan kebebasan kita, bahkan jika aku harus mengorbankan nyawaku sendiri. Dan aku harap kalian semua bersedia bersumpah bersamaku.”
Satu per satu, orang-orang di sekitar api unggun melangkah maju, mengikuti jejak Athena. Mereka memotong telapak tangan mereka dan membiarkan darah mereka jatuh ke tanah, menyatukan tekad mereka dalam sumpah darah yang tidak bisa dibatalkan.
Elora adalah yang terakhir maju. Dengan tangan kecilnya, ia memotong telapak tangannya sendiri dan menatap Athena dengan mata penuh keyakinan.
“Kita akan melakukannya bersama-sama,” katanya pelan, tetapi suaranya terdengar jelas di tengah keheningan malam.
Keesokan harinya, kamp terasa hidup dengan semangat baru. Orang-orang bekerja lebih keras, berlatih lebih gigih, dan mulai merancang strategi bersama Athena dan Kaiden.
“Ini bukan hanya tentang pertempuran,” kata Athena kepada kelompok pemimpin kecil mereka. “Ini tentang membuat mereka percaya bahwa Atlantis tidak tak terkalahkan. Kita harus menunjukkan bahwa mereka bisa kalah.”
Kaiden mengangguk. “Kita butuh kemenangan kecil. Sesuatu yang bisa menjadi simbol.”
Athena berpikir sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Aku tahu harus mulai dari mana. Kita akan mengambil kembali apa yang mereka ambil dari kita.”
Dengan rencana di tangan dan semangat yang tak tergoyahkan, Athena memulai langkah pertama revolusinya. Tapi ia tahu, jalan di depan penuh dengan bahaya, pengkhianatan, dan pengorbanan. Namun, di tengah semua itu, nyala api harapan tetap hidup, membimbing mereka menuju kebebasan.