Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 28 ~
Menarik napas dalam-dalam, rasa sesak di dada ku rasakan semakin kuat, sampai oksigen yang ku salurkan ke paru-paru justru menyakitiku hingga ke sel-sel tubuhku. Aku berfikir, rasa sakit itu pula yang mampu menghentikan laju air mataku untuk keluar.
Saking sakitnya hati ini, aku sampai tak bisa menangis lagi.
Dua tahun aku di jadikan pengasuh untuk putrinya, pantas saja mas Bima tak pernah tergoda denganku karena sudah ada Gesya yang menuntaskan kebutuhan biologisnya.
Jahat kamu mas, tega kamu sama aku yang sudah tulus mencintai dan merawat putrimu sepenuh hati.
Tak hanya padaku, kamu juga jahat pada putrimu, jelas-jelas putrimu tak mau kehilanganku, tapi kenapa kamu membuatku harus pergi dari putrimu.
Selain tega, kamu juga egois mas, hanya mementingkan perasaanmu.
Mendesah pelan, aku kembali menarik napas panjang, merasakan sesuatu yang seakan meledak-ledak di dalam sana.
Sesakit inikah mencintai seseorang terlalu dalam?
Dengan gontai, aku mengarahkan kaki menuju tempat parkir di mana mobilku berada.
Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum Lala pulang, sebelum itu aku akan ke kantor untuk melanjutkan sisa pekerjaanku yang tertunda.
Hingga mobil ku lajukan, tak terasa tahu-tahu mobilku sudah sampai di pelataran kantor tempat aku bekerja.
Sejujurnya aku sudah tak ada semangat kembali ke sini, tapi masih ada perekapan mingguan yang harus ku selesaikan setiap hari sabtu, selain itu, jika tak kembali ke kantor, lantas mau kemana lagi?
Saat aku hendak memasuki ruanganku, aku berpapasan dengan pak Raska, polisi yang bertugas di bagian pembuatan plat nomor kendaraan.
"Bi?" Dia memang selalu menyebut namaku saja jika sedang berdua seperti ini. Tapi jika ada rekan kerja yang lain, tentu saja ada embel-embel 'Bu '
"I-iya pak" Aku agak sedikit mendongak sebab level mata kami tak sejajar.
"Kamu nangis?"
"Enggak"
"Kamu nggak bisa bohongin aku, Bi!"
"Aku hanya sedikit ngantuk, semalam suamiku menenlfonku hingga larut malam, jadi nggak cukup tidur"
"Yakin?" Tanyanya penuh selidik lengkap dengan alis yang saling bertaut.
"Iya" Aku mengangguk tanpa ragu.
"Riska mana, nggak kelihatan?"
"Dia sudah pulang setelah jam makan siang, mertuanya masuk rumah sakit"
"Oh"
"Aku permisi, pak"
"Oh ya Bi" Cegahnya saat aku hendak melangkah. "Tadi aku meeting, aku dapat nasi kotak, burger sama salad buah, nasi kotaknya ku makan, burger dan saladnya ku taruh di meja kamu"
"Kenapa repot-repot, pak? Pak Raska bisa memakannya"
"Nggak apa-apa Bi, aku tahu kamu suka burger dan salad buah, jadi ku bawakan buatmu"
"Makasih, pak"
"Hmm.."
"Saya permisi pak"
Pria yang pernah mengutarakan cinta padaku mengangguk.
Raska adalah seorang pria yang dingin seperti mas Bima, tapi dadaku tak bergetar sama sekali jika bicara dengannya. Aku bahkan berani membalas tatapannya jika sedang mengobrol seperti barusan.
Duduk di meja kerja, aku melakukan pekerjaan sembari menunggu mas Bima menelfonku, namun hingga pekerjaanku selesai, pria itu tak kunjung menelfon.
Jika memang mas Bima sudah kembali dari dinasnya, dia pasti akan menelfon dan janjian di sekolah Lala agar bisa sama-sama menjemputnya.
Tapi hingga jam menunjuk hampir di angka empat, ponselku sama sekali tak berdering.
Aku kalah, aku akan menjemput Lala karena takut mas Bima lupa dengan janjinya. Sementara aku pribadi, jelas tak akan membiarkan Lala menungguku di sekolah.
"Kalau kamu ngantuk, biar ku antar Bi, mobilmu tinggal saja di kantor" Aku langsung berbalik begitu mendengar kalimat dari pria yang sudah menjadi rekan kerjaku selama tiga tahun.
Ku temukan wajah pak Raska yang menyorot lelah karena seharian sudah bekerja.
"Nggak usah pak, saya bisa sendiri"
"Yakin?"
Aku mengangguk mengiyakan.
"Hati-hati, jangan ngebut!"
"Iya" Sahutku kemudian kembali membalikkan badan.
***
Setibanya di sekolah Lala, aku melihat mas Bima sudah berada di sana sedang duduk di bangku dengan pandangan tertunduk sambil memainkan gawai.
Aku meraih ponsel dari dalam tas, berharap mas Bima menelfon atau mengirimkan pesan singkat. Namun zonk, sama sekali tak ada panggilan atau notif chat masuk ke ponselku dari nomor mas Bima.
Menepis semua bayang-bayang mas Bima yang berbagi peluh dengan Gesya, aku menguatkan diri untuk turun dari mobil.
Baru saja melepas seatbelt, aku melihat Gesya datang dari arah toilet umum di sekolah Lala, dia berjalan dengan senyum sumringah menghampiri mas Bima.
Otomatis, jantungku berdetak liar melihat pemandangan di ujung sana.
Jadi mas Bima tak menelfonku karena dia mengajak Gesya untuk ikut menjemput Lala?
Mataku menghangat, siap meluncurkan titik bening yang sudah membendung memenuhi sepasang penglihatanku.
Menelan ludah, aku kembali melajukan mobil sebab tak ingin mas Bima tahu aku juga ada di sekolah Lala saat ini.
Dan kali ini, aku akan membiarkan egoku menang dengan kekanak-kanakkan, aku tak peduli lagi dengan Lala, tak peduli lagi dengan cintaku pada mas Bima.
Ini terlalu sakit untukku. Aku tidak mau lagi berjuang sendirian, aku menyerah, benar-benar menyerah.
Benar kata Riska, Lala akan baik-baik saja tanpaku. Dia memiliki ayah yang sayang padanya, memiliki opa dan oma yang siap mengorbankan nyawanya. Mbak Za dan mbak Kanes juga menyayanginya seperti ibu kandungnya. Kekhawatiranku pada Lala seharusnya bisa ku patahkan.
Terus melajukan mobil membelah jalanan yang basah karena tiba-tiba cuaca hujan, entah ke arah mana aku mengendarai mobilku. Yang jelas, aku ingin menenangkan diri untuk sesaat.
Bersambung...
Semangat berkarya