Vherolla yang akrab disapa Vhe, adalah seorang wanita setia yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kekasihnya, Romi. Meski Romi dalam keadaan sulit tanpa pekerjaan, Vherolla tidak pernah mengeluh dan terus mencukupi kebutuhannya. Namun, pengorbanan Vherolla tidak berbuah manis. Romi justru diam-diam menggoda wanita-wanita lain melalui berbagai aplikasi media sosial.
Dalam menghadapi pengkhianatan ini, Vherolla sering mendapatkan dukungan dari Runi, adik Romi yang selalu berusaha menenangkan hatinya ketika kakaknya bersikap semena-mena. Sementara itu, Yasmin, sahabat akrab Vherolla, selalu siap mendengarkan curahan hati dan menjaga rahasianya. Ketika Vherolla mulai menyadari bahwa cintanya tidak dihargai, ia harus berjuang untuk menemukan jalan keluar dari hubungan yang menyakitkan ini.
warning : Dilarang plagiat karena inti cerita ini mengandung kisah pribadi author
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jhulie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkurung Cinta Buta
Di kamarnya, Vherolla termenung. Pikirannya masih terganggu oleh pertengkaran sebelumnya dengan Romi. Seringkali, setelah mereka bertengkar, dia merasa lelah dan ingin menyerah. Namun, perasaan itu selalu berlalu begitu saja setiap kali Romi menghubunginya lagi. Seolah ada yang memaksanya untuk tetap bertahan meski hatinya terluka.
Ponsel Vherolla bergetar, menampilkan pesan dari Romi yang memintanya datang ke rumahnya. Meski hatinya masih terasa ganjil, dia memutuskan untuk pergi. Dalam hati, ia masih berharap Romi akan berubah. Dia ingin percaya bahwa semua yang mereka lalui bersama akan berujung baik.
Begitu sampai di depan rumah Romi, Vherolla menarik napas panjang. Rumah itu begitu akrab baginya, sering kali dia berkunjung ke sini, disambut oleh keluarganya yang ramah. Dia mengetuk pintu, dan tak lama kemudian Romi yang membukakan pintu.
"Kamu udah makan?" tanya Romi dengan nada datar.
"Oh… belum," jawab Vherolla.
"Ya udah, sini duduk dulu. Ntar aku bikinin teh," jawab Romi singkat sambil berbalik masuk ke dalam.
Vherolla menunggu di ruang tamu, sambil berusaha meyakinkan dirinya bahwa kali ini Romi mungkin akan lebih perhatian padanya. Namun, dia mendengar suara ponsel Romi berdering. Dari nada bicara dan tawanya, terdengar Romi tengah asyik berbalas pesan dengan orang lain, yang kemungkinan besar bukanlah hal penting.
Vherolla mencoba menenangkan diri. Tapi rasa sesak itu terus membesar di dadanya. Ketika Romi kembali dengan secangkir teh, dia mencoba tersenyum. "Terima kasih ya, Rom. Udah repot-repot bikinin teh," ujarnya.
Romi hanya mengangguk, lalu duduk di sebelahnya sambil mengecek ponselnya. Hatinya terasa tertusuk saat melihat Romi begitu teralihkan. Tanpa bisa menahan diri, dia pun mencoba membuka percakapan.
"Rom, tadi kamu bilang nggak suka aku posting foto yang kamu bilang 'kurang sopan' itu. Tapi kenapa kamu sendiri posting foto yang… ya, kamu tahu kan, itu juga tebar pesona?"
Romi tertawa kecil sambil menatapnya dengan pandangan meremehkan. “Vhe, aku ini cowok. Tebar pesona sedikit itu biasa. Beda sama cewek. Kalau kamu foto-foto yang terlalu vulgar, ya kamu bakal dinilai jelek sama orang lain."
"Tapi aku cuma posting foto biasa, Rom. Itu kan nggak lebih dari sekadar foto, lagian hiburanku cuma sosmed."
Romi menghela napas, seolah lelah mendengarkan. "Udahlah, kamu nggak akan ngerti. Pokoknya, cowok sama cewek beda. Kalau aku yang posting, wajar. Tapi kalau kamu, ya mending nggak usah."
Vherolla terdiam, hatinya semakin sakit. Baginya, itu terasa sangat tidak adil. Namun, seolah terhipnotis, dia akhirnya hanya mengangguk, mengiyakan permintaan Romi, meskipun dia tahu dalam hati bahwa semua ini terasa salah.
Setelah berbicara beberapa saat, Romi akhirnya mengantarkan Vherolla pulang. Di perjalanan, Vherolla kembali terpikir akan semua perlakuan Romi. Meski dia tahu Romi seringkali menyakitinya, ia masih sulit untuk melepaskan diri. Entah kenapa, semakin dia disakiti, semakin dalam perasaannya terhadap Romi.
Setibanya di kamar, Vherolla merebahkan diri di tempat tidur sambil merenungi perasaannya yang terjebak. Cinta yang dia rasakan terhadap Romi semakin membuatnya merasa bodoh dan tak berdaya, namun dia merasa tak sanggup untuk pergi.
Vherolla duduk termenung di atas kasurnya, masih terbayang senyum dan kata-kata Romi sebelum mereka berpisah tadi. Romi memang selalu tahu cara mengakhiri setiap perdebatan mereka dengan ciuman dan pelukan yang bisa membuat Vherolla lupa sejenak pada semua kekecewaannya. Namun, saat dia kembali sendirian, perasaan kecewa itu kembali menghantui.
Di satu sisi, dia tahu bahwa ada yang salah dalam hubungannya dengan Romi. Berkali-kali Romi menuntut hal-hal yang menurutnya tidak adil, tetapi di sisi lain, Vherolla merasa tak berdaya untuk keluar dari lingkaran ini. Setiap kali ia ingin bicara serius, Romi selalu bisa mengalihkan pembicaraan atau meyakinkannya bahwa semua itu hanyalah perasaannya saja.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan dari Yasmin muncul di layar.
"Hey Vhe, kamu sibuk nggak? Mau ngobrol bentar?"
Vherolla tahu bahwa Yasmin sudah cukup sering mendengar ceritanya tentang Romi. Meskipun Yasmin selalu menyarankan agar Vherolla berpikir ulang tentang hubungannya, dia tetap setia mendengarkan keluh kesah Vherolla.
Tanpa berpikir panjang, Vherolla membalas pesan Yasmin dan mengajaknya untuk video call. Hanya dalam hitungan detik, wajah Yasmin muncul di layar, tampak cemas namun penuh perhatian.
"Vhe, ada apa? Kelihatannya kamu lagi ada masalah," kata Yasmin dengan nada lembut.
Vherolla menghela napas, mencoba mengatur kata-katanya. "Yas, aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya hubunganku sama Romi bikin aku capek. Di satu sisi aku nggak bisa jauh dari Romi, tapi di sisi lain... ada banyak hal yang nggak bisa aku terima."
Yasmin mengangguk pelan. "Itu karena kamu udah terlalu sering ngalah, Vhe. Romi kayaknya tahu kalau kamu nggak bakal ninggalin dia, jadi dia ngerasa bisa ngelakuin apa aja."
Vherolla hanya terdiam, mengingat kembali kejadian-kejadian yang sering membuatnya kecewa. Kata-kata Yasmin terasa benar, namun dia merasa begitu terikat pada Romi hingga sulit baginya untuk mengambil keputusan yang tegas.
"Tapi dia sering bikin aku ngerasa spesial, Min. Kadang... dia bisa begitu manis dan perhatian. Pas aku sama dia, rasanya aku bahagia. Tapi setelah itu aku merasa capek dan kecewa," ungkap Vherolla lirih.
"Vhe, itu tanda kalau kamu ada di hubungan yang nggak sehat. Romi mungkin tahu cara membuat kamu merasa baik, tapi nggak selamanya itu berarti dia benar-benar peduli. Kamu nggak perlu terus-terusan bertahan hanya karena kamu takut kehilangan perasaan sesaat itu," kata Yasmin dengan tegas.
Kata-kata Yasmin menusuk hati Vherolla. Ia tahu bahwa Yasmin hanya ingin yang terbaik untuknya, namun memikirkan perpisahan dari Romi terasa begitu sulit dan menyakitkan. Bagaimana mungkin dia bisa melepaskan seseorang yang sudah menjadi bagian besar dari hidupnya?
"Vhe, coba pikirkan deh. Kalau Romi benar-benar sayang sama kamu, dia nggak akan terus-terusan bikin kamu ngerasa nggak nyaman. Dia bakal menjaga perasaan kamu, bukan justru memanfaatkan kesabaranmu," lanjut Yasmin.
Vherolla terdiam. Ia tahu Yasmin benar, tapi pikirannya terus berputar pada satu pertanyaan, apakah dia benar-benar bisa hidup tanpa Romi? Bagaimanapun juga, Romi adalah orang yang selalu ada di sampingnya, orang yang membuatnya merasa istimewa, walau kadang juga membuatnya merasa terluka.
"Aku... aku nggak tahu, Min. Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa dia. Dia terlalu penting buat aku," jawab Vherolla pelan, hampir berbisik.
Yasmin tersenyum simpul, seakan memahami kebimbangan sahabatnya. "Vhe, aku nggak maksa kamu buat ninggalin Romi sekarang juga. Tapi paling nggak, coba pikirkan lagi apa yang benar-benar kamu inginkan dalam hubungan ini. Jangan sampai kamu kehilangan dirimu sendiri hanya demi seseorang yang bahkan nggak mau menghargai kamu sepenuhnya."
Percakapan itu mengendap dalam pikiran Vherolla. Setelah panggilan berakhir, dia merebahkan diri dan menatap langit-langit kamar. Kata-kata Yasmin terus terngiang di telinganya, membuat hatinya semakin bergemuruh. Entah mengapa, dia merasa takut pada gagasan bahwa mungkin dia memang harus melepaskan Romi suatu saat nanti.
Namun, malam itu, semua perasaan ragu dan bimbangnya tertutupi lagi ketika ponselnya kembali bergetar, menunjukkan pesan baru dari Romi.
"Besok aku jemput kamu, kita jalan-jalan yuk."
Seperti biasa, hanya dengan pesan singkat itu, Vherolla kembali terbuai dalam euforia sesaat, seolah semua rasa sakit dan kebimbangannya hilang begitu saja.