Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Apa Ini Rasanya Merindu?
Akhirnya kunjungan ke tempat usaha Ajeng berakhir jam tiga sore bertepatan dengan alunan kumandang azan Asar di depan masjid Nurul Huda yang letaknya 100 meter dari kediaman Ajeng.
“Sekalian Asar yok ... “ kembali Wisnu menepuk pundak Bisma yang akan berjalan menyusul Ibnu ke mobilnya.
“Baiklah,” Bisma tak menolak dan menganggukkan kepala mengikuti langkah kaki Wisnu.
Melihat atasannya yang berbalik menuju masjid yang berada tak jauh dari parkiran mobil atasannya, membuat Ibnu pun menyusul Bisma yang kini telah menghilang masuk ke dalam halaman masjid.
Sesampai di rumah dinasnya jam telah menunjukkan pukul lima sore. Dengan perasaan enggan Bisma membuka seluruh pakaian yang menutupi tubuhnya untuk membersihkan diri.
Sudah dua hari Deby menghubunginya untuk mengajak bertemu. Padahal sudah jelas dan tegas ia mengatakan bahwa hubungan mereka telah berakhir. Tapi Deby terus mengganggunya dengan mengirim pesan mesra serta foto-foto kebersamaan mereka saat melakukan perjalanan dinas.
Bisma memblokir nomor perempuan yang terus memberikan perhatian padanya saat di kantor. Untung saja Ibnu dapat diandalkan dalam meng-handle urusan Deby yang masih tak terima keputusan yang ia buat.
Setelah berganti baju kaos rumahan, Bisma kembali duduk menghadapi laptop di ruang kerjanya. Ia membuka wa-web melalui laptop sambil memeriksa pekerjaan. Foto-foto kiriman Ibnu berseliweran di layar laptopnya.
Dengan santai ia memandang satu demi satu foto-foto yang masuk. Saat foto Ajeng yang sedang menyampaikan sepatah dua kata di kafenya tadi muncul langsung ia perbesar.
Bisma menghela nafas. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi. Wajah itu begitu cantik dalam balutan jilbab motif bunga dan baju biru navi. Pandangannya tak teralihkan, fokus memandang wajah ayu yang tampak anggun dan bersahaja.
Perasaan sunyi tiba-tiba hadir melingkupi hatinya. Terasa ada yang kurang dan baru ia rasakan saat ini. Bisma menangkupkan kedua tangan ke wajahnya dengan tatapan tetap fokus pada monitor yang terpampang wajah Ajeng.
Padahal sudah berbulan-bulan ia lalui. Dan ia begitu menikmati kesendirian itu dengan fokus pada pekerjaannya sebagai staf ahli diskopindag dan selalu bepergian mendampingi kepala dinas melakukan lawatan ke beberapa daerah.
Kehadiran Deby cukup mewarnai harinya dan membuatnya merasakan debaran yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya membuatnya menikmati setiap detik kedekatan mereka berdua..
Ia yakin, bahwa yang ia alami pada Deby adalah jatuh cinta yang sesungguhnya. Rasa yang begitu ia damba dan telah ia rasakan dalam usianya yang telah dewasa.
Tidak ada yang salah. Semua mengalir begitu saja. Ia begitu menikmati setiap kedekatan yang terjalin. Keceriaan dan kemanjaan Deby membuatnya jadi lelaki yang sangat dibutuhkan.
Deby adalah tipe perempuan yang diidamkan setiap lelaki dan selalu ingin berada di dekatnya. Perhatian dan kelembutannya dalam bersikap, membuatnya ingin menapak masa depan dan menjalani masa tua bersamanya.
Ia tidak pernah memperhitungkan berapa nominal yang telah ia habiskan saat kedekatan mereka mulai terjalin. Baginya sangat wajar mengeluarkan uang untuk menyenangkan perempuan yang membuatnya bahagia..
Tapi kini ....
Deringan ponsel menghentikan lamunan Bisma. Ia meraih ponsel yang berada di samping laptop. Nama Deby terlihat memanggil. Latar fotonya yang cantik dengan bibir merah merona membuatnya meletakkan kembali tanpa ada keinginan untuk menjawab panggilannya.
Bisma menggeser foto Ajeng dan menemukan yang ia inginkan. Tampak fotonya yang menggendong Lala yang berhasil diabadikan Ibnu. Dengan cepat ia memperbesarnya.
Perasaan sesak kembali menghimpit jiwanya. Bisma tidak tau apa yang terjadi pada dirinya. Aroma wangi lembut bayi masih terasa di indera penciumannya. Padahal selama ini ia tidak pernah merasakan semua yang tiba-tiba ia alami saat ini. Ia memejamkan mata mengingat semua yang pernah terjadi.
Bagaimana kesibukan Ajeng di pagi hari dengan mengurus Lala yang masih bayi merah dan mempersiapkan keperluannya untuk berangkat bekerja. Hingga hubungan intim yang sangat jarang mereka lakukan.
Dengan tanpa perasaan berdosa ia sering menolak keinginan Ajeng. Alasan kelelahan karena pekerjaan membuat ia menomorduakan salah satu hal yang paling penting dalam ikatan rumah tangga mereka yang baru seumur jagung.
Mata Bisma terasa menghangat mengingat semua perlakuannya pada Ajeng selama ikatan yang terjadi diantara mereka berdua. Tidak pernah sedikit pun ia bersikap manis. Ia pulang di akhir pekan hanya sekedar untuk memenuhi tanggung jawab sebagai seorang kepala rumah tangga.
Tidak pernah ia bertanya hal-hal sepele yang dilakukan istrinya, atau pun mengajaknya keluar untuk menghabiskan waktu bersama. Ia menganggap materi yang telah ia berikan lebih dari mencukupi dari pada sekedar basa-basi tak berarti.
Bisma mengingat percakapan yang terjadi antara dirinya dan Mayang saat ia berkunjung tiga bulan yang lalu.
Ia pun mendengarkan cerita mamanya yang mengatakan bahwa Ajeng telah berpamitan untuk pindah ke Malang bersama Lala. Dalam hati kecilnya Bisma kecewa, karena Ajeng tidak berterus terang akan semua keputusan yang telah ia ambil.
Saat menemani mamanya ke bank tempat Ajeng bekerja, ia pun dibuat terkejut untuk kedua kalinya. Ternyata keputusan Ajeng untuk resign pun mamanya tidak tau.
Ajeng ternyata menutupi jati dirinya dan keluarganya, sehingga rekan kerjanya sendiri tidak tau, bahwa ia telah menikah dengan salah satu konglomerat di kota Surabaya ini.
Rasa amarah dan egonya sebagai seorang suami seperti diremehkan. Ajeng tidak melibatkan dirinya dalam mengambil keputusan besar dalam hidupnya.
“Maaf ya mbak, ibu gak tau kalau mbak Ajeng sudah resign ... “ Nurita hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala ketika Intan berbicara sekilas padanya saat menanyakan keberadaan Ajeng.
“Gak pa-pa bu .... “ Intan tersenyum ramah, “Ada yang lain lagi bu?”
Nurita menggelengkan kepala berusaha mengimbangi sikap ramah Intan yang masih memandangnya dengan penuh perhatian.
“Terima kasih atas bantuannya mbak ... “ Nurita pamit dan menganggukkan kepala begitu meninggalkan meja teller.
“Ajeng gak cerita sama mama kalau ia sudah mengundurkan diri dan keluar dari bank,” raut kekecewaan tergambar di wajah Nurita saat keduanya sudah di dalam mobil Bisma.
Rahang Bisma mengeras. Tindakan Ajeng telah membuat kecewa mamanya. Ia tak terima dengan kelakuan Ajeng.
“Atau mungkin ia lupa mengatakannya .... “ Nurita akhirnya berkata pelan melihat wajah tegang Bisma, “Apa pun keputusan Ajeng, mama akan selalu mendukungnya.”
Ia tidak ingin Bisma semakin tidak suka dengan Ajeng. Walau bagaimana pun ia tak menyalahkan semua keputusan yang diambil Ajeng. Semua tindakan yang ia lakukan akibat sikap Bisma sendiri.
Walau pun kini Ajeng dan Lala tidak tinggal satu kota, tetapi mereka tetap rutin mengunjunginya. Jadi Nurita tak mempermasalahkan pilihan Ajeng.
Dari nada suara mamanya Bisma merasa bahwa mamanya memaklumi keputusan Ajeng.
“Mama selalu membelanya .... “ nada suara Bisma terdengar sinis saat menjawab perkataan mamanya.
“Walau bagaimana pun Ajeng adalah mamanya Lala. Dia perempuan yang baik. Mama selalu sayang padanya .... “ suara lirih mamanya membuat Bisma terdiam.
Serasa ada yang menggores di sudut hatinya saat mamanya mengatakan itu dengan perasaan sedih.
“Mayang pun menyayangi Lala. Kehadirannya membuat mbak-mu melupakan kesedihannya atas pernikahannya yang kandas.”
Bisma terdiam tak mengomentari ucapan mamanya. Mengingat saat memasuki bank tempat keluarganya mempercayakan penyimpanan uang mereka, membuatnya mengingat sosok Ajeng yang selalu tampil dengan sikap ramah dan santunnya.
Ia tidak tau apa yang terjadi dengan dirinya saat ini. Rasa ingin bertemu dan bercengkerama dengan keluarga kecilnya tiba-tiba menyeruak memenuhi rongga dada.
Bayangan wajah Ajeng saat pertemuan mereka serta Lala yang sempat ia gendong tadi pagi kini memenuhi benaknya membuat ia tak bisa memikirkan hal lain.
Bisma membiarkan ponselnya yang berdering tanpa henti. Sempat melihat sekilas bahwa yang menghubungi adalah Debby, membuatnya enggan untuk mengangkat. Ia tetap melanjutkan lamunan yang membawa kembali di masa ia dan Ajeng masih tinggal satu atap.
Saat malam semakin larut, Bisma menghenyakkan tubuh ke pembaringan. Ia baru selesai melaksanakan salat Isya. Makanan yang baru ia pesan dan datang saat ia selesai salat Magrib belum tersentuh sama sekali. Rasa laparnya menguap entah kemana.
Aroma masakan rumah yang selalu disiapkan Ajeng saat keberadaannya di akhir pekan tiba-tiba memasuki indera penciumannya. Tidak ada yang istimewa, tapi semuanya cocok di lidah dan Bisma sangat hafal rasanya.
Matanya tak bisa terpejam.
Wajah Ajeng dan Lala kini terus mengganggu pikirannya. Bisma merasa resah, tapi ia tidak tau harus berbuat apa. Yang ia tau, keinginannya untuk bertemu dua orang yang pernah begitu dekat dengannya begitu kuat. Kalau tidak mengingat tentang apa yang terjadi antara ia dan Ajeng, rasanya saat ini juga ia ingin terbang mendatangi keduanya hanya untuk memandang wajah mereka.
Sesakit inikah rasanya menahan rindu?