Calista Izora, seorang mahasiswi, terjerumus ke dalam malam yang kelam saat dia diajak teman-temannya ke klub malam. Dalam keadaan mabuk, keputusan buruk membuatnya terbangun di hotel bersama Kenneth, seorang pria asing. Ketika kabar kehamilan Calista muncul, dunia mereka terbalik.
Orang tua Calista, terutama papa Artama, sangat marah dan kecewa, sedangkan Kenneth berusaha menunjukkan tanggung jawab. Di tengah ketegangan keluarga, Calista merasa hancur dan bersalah, namun dukungan keluarga Kenneth dan kakak-kakaknya memberi harapan baru.
Dengan rencana pernikahan yang mendesak dan tanggung jawab baru sebagai calon ibu, Calista berjuang untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Dalam perjalanan ini, Calista belajar bahwa setiap kesalahan bisa menjadi langkah menuju pertumbuhan dan harapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rrnsnti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penjelasan Calista
Artama memandang Calista dengan tatapan marah. "Calista, kamu harus menjelaskan bagaimana bisa sampai hamil. Ceritakan semua kejadiannya!" Suara papa Artama menggelegar di ruang tamu, membuat suasana menjadi tegang.
Calista menunduk, air mata mengalir di pipinya. Ia teringat malam itu, ketika semua ini dimulai. “Sebenarnya… aku diajak ke klub malam oleh teman-temanku,” ucapnya pelan. “Lily, Jehana, dan Riana. Aku merasa pusing dengan kuliah, jadi aku berpikir tidak ada salahnya bersenang-senang sejenak.”
"Klub malam?" mama Yesa mengernyitkan dahi, tidak bisa percaya anaknya yang selama ini dijaga dengan ketat bisa terjerumus ke tempat seperti itu. "Kenapa kamu bisa pergi ke tempat yang tidak pantas seperti itu, Calista?"
Calista menggigit bibirnya, merasa sangat bersalah. "Mereka memaksa aku, Mama. Di sana, Jehana dan Riana terus mencekoki aku dengan minuman. Aku tidak bisa menolak karena sudah terlanjur mabuk. Badanku merasa panas, dan semua terasa tidak jelas."
"Mama kecewa, Calista," mama Yesa berkata, suaranya bergetar. "Sebagai seorang ibu, mama tidak menyangka kamu bisa melakukan hal seperti ini."
Riana, yang merupakan teman dekat Calista, tampak tidak menyadari betapa besar dampak dari tindakan mereka. "Tenang saja, Calista, kita hanya bersenang-senang," ujarnya sambil tersenyum, namun tidak ada rasa penyesalan di matanya.
Calista melanjutkan ceritanya, "Ketika aku sudah tidak sadar, Riana memesankan taksi untukku. Tapi saat aku diantar oleh Lily, dia masih mabuk dan mengira Kenneth adalah sopir taksi. Akhirnya kami pergi ke hotel terdekat tanpa menyadari apa yang terjadi."
Suasana semakin tegang. Kenneth, yang duduk di sudut ruang tamu, tidak bisa menyembunyikan perasaannya. “Kami berdua tidak pernah mengenal satu sama lain sebelumnya,” ujarnya, “dan pagi harinya kami terbangun di kamar hotel saya. Kami terkejut melihat keadaan kami.” Kenneth menatap Calista, berusaha menunjukkan rasa tanggung jawabnya.
Papa Artama mengerutkan keningnya, marah dan bingung. "Nikahi Calista secepatnya! Bawa dia pergi dari sini! Keluarga saya tidak akan menerima anak yang kurang ajar dan tidak berpendidikan. Wanita seharusnya menjaga harga dirinya, bukan seperti ini!" Papa Artama beranjak dari kursi dan pergi meninggalkan ruang tamu.
"Ma… maafin Calista, Ma…" Calista merintih sambil memeluk kaki mama Yesa, berharap mendapatkan pengertian dan kasih sayang.
"Lepaskan, Calista. Mama kecewa sama kamu..." Mama Yesa berbalik dan mengikuti langkah papa Artama dengan air mata menggenang di matanya.
Calista merasa hancur. Dia tahu bahwa malam itu telah mengubah hidupnya selamanya. Dia berharap bisa mengulang waktu dan menghindari semua yang terjadi. "Aku tidak bermaksud untuk membuat semua ini terjadi," ujarnya, suaranya hampir tak terdengar.
"Sudah, Calista. Kamu nanti bisa tinggal sama Kenneth saja berdua," papa Damar mencoba menghiburnya sambil membantunya berdiri. "Karena saya sudah membeli rumah untuk Kenneth dan Calista, agar mereka bisa mulai hidup baru."
Mama Jessy juga bergabung dalam pelukan, "Jangan khawatir, Calista. Kami akan mendukungmu." Dia berusaha menenangkan Calista yang masih sangat ketakutan dan bingung.
Resa dan Juan, yang menyaksikan semuanya, merasa terharu. Keluarga Kenneth menerima Calista dengan sangat baik. Resa menghampiri adiknya dan merangkulnya erat, “Kak Ren, Bang Juan, maafin Calista ya,” ucap Calista sambil terisak.
“Sudah, sayang, tidak apa-apa. Yang penting kamu berani mengakui dan bertanggung jawab,” kata Resa dengan lembut, berusaha memberi semangat kepada adiknya.
“Cal, tidak apa-apa. Setiap orang pernah melakukan kesalahan, dan kalian berdua hebat bisa mengakuinya,” ujar Juan, menatap Kenneth dengan empati.
“Kenneth, kamu bisa kerja di kantor saya sebagai asisten, ya?” lanjut Juan, mengulurkan tawaran yang berarti untuk Kenneth.
“Iya, terima kasih, Bang,” balas Kenneth, senyumnya mengembang. Momen ini memberi harapan baru bagi semua yang terlibat.
Setelah semua itu, mereka mulai membicarakan rencana pernikahan Calista dan Kenneth. Juan dan Resa benar-benar berperan sebagai orang tua pengganti bagi Calista, membantu menyiapkan segala sesuatunya. Pernikahan mereka akan digelar sesegera mungkin dengan sederhana, agar Calista tidak merasa tertekan. Calista akan ditemani oleh Resa, Kania, dan mama Jessy untuk pergi ke dokter kandungan.
Calista sangat beruntung memiliki calon mertua dan kakak ipar yang baik seperti mereka. Namun, di dalam hatinya, dia masih merasa bersalah atas kelakuannya yang mengakibatkan semua ini terjadi. Setiap kali dia melihat senyum tulus di wajah Kenneth, rasa bersalah itu semakin menghimpit hatinya.
Malam harinya, suasana di rumah sangat tegang. Calista terus berusaha berbicara dengan kedua orang tuanya, tetapi mereka tetap mengabaikannya, seolah Calista tidak ada. Rasa sedihnya semakin dalam. "Kenapa semua ini bisa terjadi, ya?" pikirnya dalam hati.
Resa melihat kesedihan adiknya dan berusaha menghibur, “Calista, kamu harus kuat. Kamu akan jadi ibu, dan itu adalah tanggung jawab besar. Ingat, Junkyu ada di dalam rahimmu, dan kamu harus menjaganya.”
Juan, yang melihat Calista terdiam, terus menggoda adiknya agar tidak merenung. “Ayo, Calista, ingat kembali semua keceriaan kita. Ini saatnya untuk melangkah maju dan menjadi lebih baik.”
Kenneth juga berusaha menghibur Calista melalui telepon. “Calista, aku di sini untukmu. Kita akan melewati semua ini bersama. Jangan terlalu stres, ya. Kita punya masa depan yang harus kita bangun bersama.”
Mendengar kata-kata Kenneth, Calista merasa sedikit lega. Dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangan ini. Meskipun semua yang terjadi begitu mendalam dan menyakitkan, ia bertekad untuk menjalani hidup barunya dengan penuh tanggung jawab.
Calista menatap langit malam dari jendela, menyadari bahwa hidupnya telah berubah. Ia bersumpah untuk menjadi orang tua yang baik bagi Junkyu, untuk menghapus rasa sakit yang disebabkan oleh kesalahannya. Dengan dukungan keluarga dan cintanya terhadap Kenneth, Calista berusaha membangun harapan baru dari puing-puing masa lalunya.