Berry Aguelira adalah seorang wanita pembunuh bayaran yang sudah berumur 35 tahun.
Berry ingin pensiun dari pekerjaan gelap nya karena dia ingin menikmati sisa hidup nya untuk kegiatan normal. Seperti mencari kekasih dan menikah lalu hidup bahagia bersama anak-anak nya nanti.
Namun siapa sangka, keinginan sederhana nya itu harus hancur ketika musuh-musuh nya datang dan membunuh nya karena balas dendam.
Berry pun mati di tangan mereka tapi bukan nya mati dengan tenang. Wanita itu malah bertransmigrasi ke tubuh seorang anak SMA. Yang ternyata adalah seorang figuran dalam sebuah novel.
Berry pikir ini adalah kesempatan nya untuk menikmati hidup yang ia mau tapi sekali lagi ternyata dia salah. Tubuh figuran yang ia tempati ternyata memiliki banyak sekali masalah yang tidak dapat Berry bayangkan.
Apa yang harus dilakukan oleh seorang mantan pembunuh bayaran ditubuh seorang gadis SMA? Mampukah Berry menjalani hidup dengan baik atau malah menyerah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilnaarifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pagi-pagi sekali, sekolah Alice sudah sangat ramai. Tentu saja karena pertandingan antar sekolah akan diadakan.
Lima sekolah terdekat dengan Dominic school di undang, mereka sudah melakukan acara ini setiap dua tahun sekali.
Dan kali ini, sekolah nya menjadi tuan rumah. Alice menghela nafas malas, dia memakai pakaian olahraga yang entah apa gunanya.
Alice curiga gurunya akan menulis nama nya untuk mengikuti pertandingan basket putri sebagai perwakilan kelas sebelas.
Awas saja, dia akan menyimpan dendam pada guru sialan itu, jika guru itu berani-beraninya mengikut sertakan Alice dalam pertandingan.
Perutnya lapar, dia tidak sempat sarapan. Harus datang ke sekolah lebih cepat dari biasanya, ini sungguh penyiksaan bagi para murid yang malas.
Termasuk, dirinya. Saat ini Alice ada di lapangan, di pinggir sebenarnya, duduk di bangku yang tersedia disana. Dia sedang memperhatikan anak-anak OSIS yang sibuk memasang ini dan itu di lapangan.
Belum lagi, mereka jika membuat beberapa stand penjualan sebagai hiburan agar tidak terlalu bosan selama berada di sekolah nya.
Yang Alice dengar, pertandingan ini akan di laksanakan tiga hari berturut-turut.
"Keamanan udah gue perketat, terus gue juga masang beberapa kamera di tempat-tempat tertentu. Untuk, jaga-jaga aja." Ucap Dian pada Gama ketika mereka berjalan di sekitar pinggir lapangan.
Alice menggoyangkan kaki nya sambil menatap mereka. "Itu bagus." Jawab Gama datar.
Mata tajam nya fokus menatap lapangan, dia menyuruh anggota nya untuk mengecek lantai agar tidak ada terjadi kecelakaan, di sengaja maupun tidak di sengaja.
Dian terus berbicara sampai kakinya tidak sengaja menginjak sesuatu, dia segera berbalik dan terkejut ketika melihat Alice yang menatap kosong kaki nya yang di pijak oleh Dian.
Pemuda itu tergagap, apa lagi saat Gama ikut berbalik bingung karena tidak mendengar suara Dian.
Pemuda itu melihat kaki Alice yang di injak oleh Dian, dia menatap tajam pada teman nya itu. Semakin bingung lah, Dian ingin membuka suara.
Dengan pelan Dian mengangkat kaki nya dari atas kaki Alice, terdapat bekas cetakan kotoran di sepatu gadis itu.
"Kotor." Gumam Alice pelan sambil menggoyang kaki nya yang di injak, sedikit nyeri sih tapi tidak sakit.
"Ahaha...ha. Eh maafin gue ya, nggak ngelihat tadi kalau ada orang disini." Ucap Dian sambil tersenyum canggung, meski keringat sudah membasahi kening nya karena Gama menatap nya tajam sedari tadi.
Alice menepuk sepatu nya, "Aman." Jawab nya santai, dia tidak masalah. Toh, ini hanya masalah kecil, lagian pemuda itu sudah meminta maaf. Tapi, sepertinya Gama tidak berpikir seperti itu.
"Lo ngapain disini?"Tanya Gama pada Alice.
Gadis itu mengangkat bahu acuh, "Bosan di kelas, gue juga lapar. Tapi, malas ke kantin." Kata nya sambil masih menepuk sepatu nya agar kotoran nya hilang.
Gama menatap Dian, "Udah tahu kan, harus apa?"Bisik Gama dingin.
Dian segera mengangguk kaku, Gama pun tersenyum tipis, dia mengeluarkan dompet nya dan memberikan uang pada Dian.
"Beli juga buat anak-anak lain, pasti ada juga yang belum sarapan." Lanjut Gama sambil memasukkan kembali dompetnya.
"Oke." Jawab Dian, dia pun berjalan menjauh dari kedua orang itu dan menarik tangan salah satu pemuda OSIS yang sedang memasang tali di pinggir lapangan. Pemaksaan, pikir Alice.
Gama ikut duduk di samping Alice. Gadis itu tidak keberatan tapi mereka jadi bahan tontonan murid-murid sekitar. Sangat jarang kan, ketua OSIS dingin mereka dekat dengan perempuan.
"Gue dengar-dengar, nanti bakalan ada anak geng motor ikut pertandingan, ya?"Tanya Alice basa-basi, meski dia sudah tahu jawaban nya.
Gama mengangguk dan berdehem, "Kenapa? Lo takut?"Ucap Gama sedikit mengejek. Alice menatap pemuda itu julid.
"Gue nggak takut." Ucap gadis itu, dia terdiam sesaat seperti menimbang ingin memberi tahu Gama atau tidak. Dan dia memutuskan untuk bercerita, sedikit pada pemuda ini.
Entah lah, dia hanya merasa nyaman dan bisa menjadi terbuka hanya saat bersama pemuda ini.
"Lalu?"Tanya Gama bingung. Dia melihat gadis ini membuka tutup bibir nya, seperti ingin berbicara namun selalu tidak jadi. Tidak masalah, Gama tetap menunggu nya.
"Em... sebenarnya. Kemarin, gue sedikit terlibat masalah dengan mereka. Mungkin, sekarang mereka pasti sudah tahu gue sekolah disini." Akhir nya Alice pun bercerita, tidak banyak yang ia beri tahu pada Gama, kan tidak mungkin dia mengatakan kalau dia telah membunuh empat anggota Jupiter. Bisa habis dia.
"Hanya tidak mau terjadi keributan, gue malas keluar dari kelas nanti." Lanjut nya pelan, kakinya kembali bergoyang kesana kemari untuk menghilangkan kecanggungannya.
Gama mengangguk paham, dia tersenyum tipis namun segera hilang ketika Alice melihat ke arah nya. "Menurut mu, bagaimana?"
Gama berdehem, "Mereka lihat muka Lo?" Gama balik bertanya, Alice terdiam sebentar, dia pun menghela nafas pasrah.
"Iya." Jawab nya lemah.
Gadis itu, mengerut kan kening nya, "Gue
nggak takut, cuman mereka pasti akan buat masalah disini."
"Jangan khawatir, gue udah buat keamanan ketat disini. Mereka nggak akan bisa buat keributan dia tersenyum tipis namun segera hilang ketika Alice melihat ke arah nya.
"Menurut mu, bagaimana?"
Gama berdehem, "Mereka lihat muka Lo?" Gama balik bertanya, Alice terdiam sebentar, dia pun menghela nafas pasrah.
"Iya." Jawab nya lemah. Gadis itu, mengerut kan kening nya, "Gue nggak takut, cuman mereka pasti akan buat masalah disini."
"Jangan khawatir, gue udah buat keamanan ketat disini. Mereka nggak akan bisa buat keributan nanti." Ucap Gama datar, jika anak-anak Jupiter membuat keributan disekolah nya, terutama berani menyentuh Alice sedikit saja, dia tidak akan bersikap lembut pada mereka.
Dia melirik gadis di samping nya diam-diam, Alice masih saja memasang wajah cemberut nya.
Gama yang melihat itu, merasa lucu. Ingin sekali dia mencubit pipi tembem gadis itu.
"Gue tahu." Ucap Alice, tangannya sedikit bergerak gelisah.
"Tapi, gue punya firasat yang nggak baik." Lanjut nya kebingungan.
Gama menaruh tangan nya di atas kepala Alice dan mengacak-acak rambut gadis itu pelan.
"Ada gue." Kata nya singkat. Alice menatap kosong pemuda di samping nya, namun,
dia tidak keberatan pada perlakuan Gama. Seperti nya, jiwa nya sudah kembali muda,
haha.
Tidak lama Dian kembali sambil membawa plastik besar di tangan nya, tentu saja isi nya adalah makanan. Gama menarik tangan nya dari kepala Alice, yang mana membuat gadis itu sedikit merasa hampa. Namun, saat melihat makanan, pikiran nya kembali normal.
Gama memberikan pada Alice sebungkus nasi. "Makan, kata nya tadi lapar kan."
Alice mengangguk semangat dan menerima nasi bungkus itu. Hehe, tidak ada rugi nya dia berdekatan dengan Gama.
Lumayan, bisa dapat nasi gratis. Gama juga mengambil satu dan memberikan sisa nya pada Dian.
"Ambil, dan berikan pada yang lain nya." Suruh nya pada Dian. Tentu saja, Dian melakukan nya dengan senang hati.
Dia memanggil teman-teman OSIS nya dan memberikan sarapan itu pada mereka. Yah, pagi yang cukup baik untuk awal keributan.
***
Suara peluit kembali terdengar di lapangan ketika kedua tim mulai bertanding. Banyak sorakan dari sekitar lapangan sekolah yang mendukung kelas dan sekolah mereka masing-masing.
Kali ini yang bertanding anak kelas sepuluh, dari sekolah Dominic dan sekolah tetangga.
Alice memasang earphone nya karena suara di luar sangat berisik, seperti keinginan nya tadi. Dia akan bersembunyi kelas dan tidak ingin keluar.
Sudah ada empat jam pertandingan di mulai. Setelah istirahat nanti, pertandingan kelas sebelas akan di lakukan.
Banyak murid dari sekolah lain yang datang, entah sebagai pemain atau penonton yang ingin mendukung.
Dia tidak suka keramaian. Alice lebih
memilih berada di kelas sendirian, dari pada ikut berdesak-desakkan dengan yang lain nya.
Meski Karla sudah memaksa nya untuk ikut menonton tapi dia tetap tidak ingin dan segera melarikan diri dari gadis gila itu.
Dia sempat melihat anak-anak Jupiter tadi, pemuda yang terluka itu tidak terlihat. Seperti nya, ketua mereka tidak mengizinkan nya datang, takut malu mungkin.
Tidak ada yang mencurigakan, mereka tiba dengan biasa dan bertingkah layak nya murid sekolah normal, meski Alice tahu sebenarnya tidak normal.
Mereka hanya sekumpulan orang-orang gila yang kekurangan vitamin saat masih bayi, makanya menjadi brengsek.
Dia tidak dapat menebak siapa ketua geng Jupiter. Melihat mereka saja sudah membuat nya muak karena tidak ingin berlama lama di bawah tadi, Alice tidak sempat mencari tahu siapa otak geng itu.
Hah, sudah lah, dia aman disini. Alice memilih menelungkupkan kepalanya dan tidur. Dia cukup mengantuk.
Disisi lain,
Bagas duduk sambil menonton pertandingan basket dengan santai. Dia mendapatkan telepon dari Guntur tadi, yang mengatakan kalau pemuda itu masih belum mengetahui
keberadaan musuh kecil mereka.
Hanya saja, dia melihat Karla, gadis yang selalu menempeli Darrel. Setidaknya, laporan Guntur ada yang berguna sedikit.
Dia tidak akan mengganggu gadis itu dulu, fokus nya saat ini hanya pada pertandingan tapi bukan berarti dia tidak melakukan apapun.
Bagas sudah menyuruh beberapa murid perempuan sekolah nya untuk mencari Karla dan sedikit memberikan beberapa kejutan untuk gadis itu.
Tidak terlalu parah, hanya luka sana sini.
Beberapa meter dari samping, ada Darrel dan teman-teman nya serta Ruby yang sudah bersiap ingin mengikuti pertandingan putri.
Setelah ini, sekolah mereka akan bertanding lagi dengan sekolah lain. Untuk tim putri kelas sebelas, Ruby sedikit ragu dengan tim nya.
Meski sudah latihan, dia masih merasa kurang. Mora menyentuh pundak gadis itu, "Nggak usah khawatir, kita pasti menang." Gumam nya pelan. Ruby hanya mengangguk asal.
"Sekolah kita pasti lebih unggul kalau melawan sekolah lain tapi kalau melawan sekolah Lorence... gue nggak terlalu yakin." Ucap Ditri pada Darrel dengan ragu.
Bukannya apa, dia tahu bagaimana brutal nya anak Jupiter. Bahkan tim putri mereka, sangat sangar.
Lima belas menit berlalu, untuk kali ini sekolah lain memenangkan pertandingan. Namun, tim putra kelas sepuluh tetap masuk semi final nanti.
Penanggung jawab lapangan mengatakan mereka akan berhenti untuk istirahat selama satu jam, setelah itu pertandingan akan kembali di lakukan.
Semua murid pun segera bubar dan menikmati stand yang tersedia di sekolah Dominic.
Bagas mendatangi Darrel dan teman-teman nya, tentu saja pemuda itu tidak sendiri. Anggota nya yang lain, mengikuti nya dari belakang, Darrel yang melihat kedatangan
Bagas pun langsung bersikap waspada.
Dia menarik Ruby agar bersembunyi di balik tubuh nya. Gadis itu sedikit bingung namun dia hanya diam saja.
"Mau apa Lo?"Ucap Darrel datar pada Bagas yang tersenyum sinis.
Tangan pemuda itu ingin mencolek Ruby tapi segera di tepis oleh Darrel. "Jangan sentuh dia." Kata nya dingin. Darrel mendorong Ruby agar bersama dengan teman gadis itu.
Bagas terkekeh geli melihat reaksi berlebihan dari Darrel. "Memang Lo siapa nya Ruby? Pacar juga bukan." Balas Bagas pedas.
Teman-teman nya tertawa di belakang mengejek Darrel yang sudah memasang
wajah datar.
Esa ingin sekali menghajar Bagas jika dia tidak mementingkan harga diri sekolah nya. Tangan nya sudah melayang dari tadi.
Noah sendiri menatap Bagas dengan tajam, dia benar-benar benci dengan kelompok pecundang seperti Jupiter.
"Bukan urusan Lo, gue pacar Ruby atau bukan." Balas Darrel sinis.
"Urus aja kelompok bajingan mu, sekolah kami tidak sudah mnenampung kalian lama-lama disini." Lanjut nya menghina Bagas.
Sepertinya itu berhasil menyulut amarah Bagas, pemuda itu mengepalkan tangannya menahan emosi yang sudah ingin meledak.
"Kita lihat saja, siapa yang bajingan disini." Ucap Bagas datar sebelum dia melangkah
pergi meninggalkan Darrel.
Dia sempat mengedipkan mata nya pada Ruby yang hanya menatap nya dengan pandangan jijik.
"Kalian harus berhati-hati dengan sekolah Lorence. Kita tidak tahu, rencana apa yang
mereka bawa kesini." Ucap Darrel pada teman-teman nya.
Mereka pun mengangguk paham atas instruksi dari kapten tim mereka. Sedangkan Ruby, dia hanya memikirkan perkataan Bagas yang sedikit menyinggung ego nya.
Sampai sekarang pun, Darrel masih belum meluruskan hubungan mereka yang akan
berjalan entah kemana. Dia mulai ragu dengan pemuda itu.
^^
tp yg baca ko dikit y..
yooo ramaikan hahhlah